Hak Masyarakat Adat Dilindungi, Skandal Busana Shopia Latjuba Terkesan Pelecehan Minangkabau??

id hak masyarakat, adat dilindungi, skandal busana, shopia latjuba, terkesan pelecehan minangkabau

Hak Masyarakat Adat Dilindungi, Skandal Busana Shopia Latjuba Terkesan Pelecehan Minangkabau??

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pemerhati masalah tradisi dan budaya dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Provinsi Sumbar, Adi Dharma Dt Pamoentjak mengatakan hak masyarakat adat dijamin dalam UUD 1945 khususnya pasal 18 B.

"Artinya hak masyarakat hukum adat memiliki basis konstitusional untuk mempertahankan hak-haknya sebagai yang dimuat dalam pasal tersebut sehingga bagi yang melanggarnya tentu harus diberi teguran," kata Adi Dharma Dt Pamoentjak dihubungi dari Pekanbaru, Selasa.

Pendapat demikian disampaikannya terkait masih ada hak masyarakat adat yang mendapat "pelecehan" dari sejumlah perancang seperti baru-baru ini menggunakan satuan perhiasan Suntiang Minangkabau yang dinilai tidak pada tempatnya.

Menurut Adi Dharma, untuk melindungi hak masyarakat adat itu telah ditempuh Pemerintah dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Ia mengatakan, ketentuan itu menghendaki bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat diatur dalam undang-undang, sehingga siapapun orangnya, sukunya patut menghargai budaya dan tradisi yang dimiliki suatu daerah.

"Secara gramatikal, frasa 'diatur dalam undang-undang' pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebenarnya bermakna bahwa pengaturan terhadap masyarakat adat tidak harus diatur di dalam undang-undang tersendiri, melainkan boleh diatur di dalam berbagai undang-undang," kata Adi Dharma yang juga Sekretaris Kerapatan Niniak Mamak atau kaum cerdik pandai dari Nagari Batuampa, Limapuluhkota Sumbar itu.

Hak Masyarakat

AdiDharma yang juga Ketua LKAAM Nagari Batuampa, Kabaupaten Limapuluhkota, Provinsi Sumbar itu menekankan, setiap orang harus menghormati hak masyarakat adat dalam berbagai kesempatan dan acara apapun juga. Termasuk dalam penampilan Suntiang dan busana dikenakan Sophia Latjuba, jelas tidak tepat terkesan melecehkan budaya Minangkabau.

"Sebab konsep berpakaian yang dibuat Anne Avantie dipisahkan dari konsep estetika dan akhlak, sebagian besar busananya 'bertelanjang' dan orang Minang Islam tidak boleh seperti itu. Konsep pakaian adat Minang sudah dilanggar oleh Anne Avantie, masyarakat Minang tentu merasa terhina dan dilecehkan," katanya.

Perhiasan kepala pengantin perempuan di Minangkabau itu, yakni Sunting merupakan tradisi yang sudah sesuai dengan kearifan lokal Minangkabau yang populer dengan filosofinya "Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah" sehingga tradisi ini tidak bisa sembarang mendapatkan sentuhan modifikasi.

"Karena itu, hak masyarakat adat Minangkabau terkait penggunaan tradisi berpakaian perempuan Minang lengkap dengan memakai suntiang tersebut harus dilindungi dan dipertahankan," katanya.

Dia menekankan, Anne Avantie dan Trans 7 perlu meminta maaf kepada Anak Nagari Minangkabau.

Ia menjelaskan bahwa pakaian adat perempuan Minangkabau setidaknya memiliki lima aksesoris yang masing-masing memiliki makna filosofi tersendiri mulai dari penutup kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau yang berumai emas atau loyang sepuhan, bermakna bahwa orang yang mengenakannya adalah seorang penguasa rumah gadang. Atap rumah gadang kelihatan seperti tanduk kerbau.

Kedua, baju kurung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi mansie yang bermakna bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya.

Ketiga kain balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri memiliki arti bahwa seorang perempuan bertanggung jawab untuk melanjutkan keturunan. Kain sarung bersulam yang bermakna simbolik kebijaksanaan, artinya seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.

"Perhiasan digunakan sebagai simbol yang mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Pakaian yang menutup aurat juga menunjukkan marwah perempuan Minangkabau dalam Adat matrilineal," katanya.

Tidak Semua

Di Kabupaten Limapuluh Kota, katanya, tidak semua orang Minangkabau boleh memakai pakaian adat. Apabila statusnya belum "tagak samo tinggi, duduak samo randah" (berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah) dengan orang kampung maka dalam prosesi adat dia tidak boleh memakai pakaian adat Minangkabau.

Jadi pakaian juga mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Berikutnya dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya.

Misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku adat berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya.

Demikian juga busana yang dikenakan oleh "bundo kanduang" berbeda dengan perempuan kebanyakan. "Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan," katanya.

Nilai-nilai tersebut adalah kepimpinan pada penutup kepala, keteguhan dan tanggungjawab (minsai dan balapak), kebijaksanaan (kain balapak), hemat (simbol dukuah nasura), kerja keras (simbolik dukuah=kalung palam) dan keteladan (simbolik dukuah uang dukat).

Selain itu ketaqwaan (disimbolkan dari pemakaian kalung rago-rago, kalung pinyaram, kaban ketek, kaban dan lainnya), pengayoman (makna simbolik gelang ula tigo balik) dan ketaatan (disimblokan dari pemakaian gelang besar).

"Banyak makna yang terkandung dalam pakaian adat perempuan Minang, sehingga tradisi ini tidak bisa dibuat atau dipakaikan pada sembarang tempat, pada sembarang kegiatan dan sembarang orang. Tradisi ini harus dihormati," katanya. ***4***