Perlunya Kebijakan Mendidik Penggunaan BBM Beroktan Tinggi

id perlunya kebijakan, mendidik penggunaan, bbm beroktan tinggi

Perlunya Kebijakan Mendidik Penggunaan BBM Beroktan Tinggi

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Aminah (35) warga Sigunggung Pekanbaru ini, tampak gelisah karena terjebak diantara antrian kendaraan yang mengular di SPBU Sigunggung untuk mengisi BBM bernama Premium. Ia resah dan tiap sebentar melirik jam tangan, karena harus menjemput anaknya yang bersekolah di salah satu SMP sudah seharusnya pulang pukul 14.00 WIB tadi.

Sudah setengah jam antri ia masih belum juga tiba di giliran. Sementara posisi motor sekuternya baru separuh dari panjangnya antrian mengular, padahal waktu sudah pukul 14.30 WIB. Dengan sigap ia berinisiatif keluar dari barisan dan pindah ke pompa SPBU bertuliskan Pertalite, yang bersebelahan persis . Lalu langsung mengisi BBM sebanyak Rp20.000, atau 2,5 liter dengan harga Pertalite Rp8.000 per liternya.

Alasan Masih Pakai Premium

Antrian untuk mendapatkan Premium sering terjadi belakangan ini pada setiap SPBU yang ada di seputar Kota Pekanbaru dengan waktu berbeda pada tiap tempat.

Diakui masih banyak masyarakat yang bertahan menggunakan Premium dengan alasan klasik karena kondisi ekonomi, karena lebih murah. Hal ini dibenarkan oleh pengamat Ekonomi Universitas Riau Dahlan Tampubolon.

Penyebab mengapa masyarakat saat ini masih saja mau antri dan menggunakan bahan bakar jenis bensin pertama jelas di balik penggunaan oktan rendah tersebut terdapat harga jual lebih murah dibandingkan dengan Pertalite. Selain Pertamina juga masih memproduksi Premium, lalu kurangnya pasokan oktan domestik juga menjadi kendala sehingga berakibat secara tidak langsung melindungi jenis kendaraan on-road yang sangat tua.

Masih Kurang Keperdulian

Diakui Dahlan kurangnya kepedulian masyarakat juga sering membuat kebijakan pemerintah untuk menegakkan aturan guna membangkitkan kesadaranan bersama melindungi dan menjaga ketahanan energi berkelanjutan dan mengurangi beban subsidi pemerintah juga jadi kendala besar.

Warga langsung panik saat pemerintah menyatakan terang-terangan akan mengurangi subsidi bahkan mencabutnya. Padahal sudah banyak hal yang salah dan pertimbangan lebih besar di dalamnya jika kebijakan itu diputuskan. Misalkan tidak lagi tepat sasaran dan justru dipolitisi oleh kepentingan sebahagian kalangan yang bukan pemilik hak.

Masyarakat sering menyalah artikan makna UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bumi dan air dan semua kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seolah ini semua senjata ampuh untuk menolak bahkan melarang pemerintah mengelola SDA lebih bijaksana demi keberlangsungan hingga anak cucu tanpa menguras dan menghabiskannya pada satu generasi.

Kembali saja kepada contoh nyata Aminah yang antri Premium di awal. Terkadang kita sering begitu, tampa disadari terbawa arus mengorbankan waktu dan sebagainya yang seharusnya juga berharga. Dengan tidak memperhitungkan keuntungan, ataupun kerugiaan diluar material tetap harus mengantri BBM bernama Premium hanya gara-gara selisih harga dengan Pertalite sekitar Rp2.000.

Berapa jam waktu yang terbuang oleh Aminah tadi hanya karena harus berebut mendapatkan Premium yang cuma lebih murah Rp2.000 ketimbang Pertalite. Sementara ada peluang didapatkan bisa lebih tepat waktu tiba di sekolah menjemput anak, dan tidak ada perasaan kecewa saat antri.

Pemahaman inilah yang meskinya disadari oleh masyarakat saat mereka rela antri mengular hanya demi seliter Premium, sementara disebelahnya persis cukup berlimpah Pertalite dengan harga yang masih terjangkau.

Seharusnya kesadaran ini juga tertanam bagi mereka yang mendapatkan rezeki dan kehidupannya lebih dari cukup hingga berlimpah kaya raya.

Sebab benar adanya bahwa pemerintah tidak bisa lepas tangan atas hajat hidup orang miskin, makanya disediakan BBM yang beroktan rendah dan paling murah Itu khusus peruntukannya bagi yang kurang mampu.

Namun tidak jarang naluri seseorang rela mengaku miskin padahal kenyataannya kaya demi berebut yang murah.

Coba perhatikan berapa banyak saat ini roda empat bermerek dengan CC besar ikut bersanding dengan motor roda dua yang sudah butut hanya untuk mengantri Premium. Dimana letak nuraninya.

PremiumTidak Digunakan Lagi Di Asia Tenggara

Upaya Indonesia untuk terus mengatur penggunaan BBM berkualitas belakangan ini perlu diacungkan jempol, walau penuh kritik dan pertentangan Presiden Joko Widodo tanggal 31 Desember 2014 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran.

Jenis BBM yang diatur dalam Perpres ini terdiri atas jenis BBM tertentu, BBM Khusus Penugasan dan jenis BBM Umum.

Jenis BBM Tertentu terdiri atas Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil), BBM Khusus Penugasan merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan (seluruh wilayah NKRI kecuali DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, DI Yogyakarta, dan Bali).

Sedangkan jenis BBM umum terdiri atas seluruh jenis BBM di luar jenis BBM Tertentu dan BBM Khusus Penugasan.

Ini artinya upaya pemerintah untuk membangun kemandirian peruntukan BBM sesuai kemampuan ekonomi masyarakat secara tidak langsung menjadi aturan yang tidak mengikat namun pasti. Dengan arah tujuan agar Indonesia secara bertahap bergeser pola konsumsi BBM nya dari yang beroktan rendah ke lebih tinggi.

Sebab kalau boleh mengutip pendapat Ekonom Faisal Basri pernah menyatakan bahwa bensin jenis Premium nyaris punah di dunia. Bahkan hanya Indonesia yang masih menggunakan RON 88 di Asia Tenggara. Negara- negara tetangga seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja sekalipun tidak lagi menggunakannya.

Di Malaysia, jangankan RON 88, jenis Pertamax (RON 92) saja sudah tak ada di pasaran. Kualitas paling rendah yang ada di pasar Malaysia adalah jenis RON 95. Selain itu, Filipina dan Vietnam juga sama- sama telah menghentikan penjualan BBM RON 81 dan 88, masing-masing sejak tahun 2013 dan 2014 lalu.

Faisal Basri juga menyebutkan jenis Premium sudah langka di pasar, harganya pun tidak tertera lagi di bursa minyak, termasuk di bursa minyak Singapura Mean of Platts Singapore (MOPS).

Namun demikian dari data yang terhimpun masih ada beberapa negara yang masih menggunakan Premium dengan pembatasan misalkan Mesir.

Hingga saat ini Mesir masih menggunakan BBM jenis RON 80, bahkan dengan kualitas yang lebih rendah dari BBM di Indonesia.

Pemerintah Mesir sebenarnya sudah membatasi pasokan BBM jenis RON 80 di sejumlah SPBU, namun demikian, berdasarkan berita yang dirilis Egypt Today pada Juli 2017, pasokan harian untuk BBM jenis RON 80 masih tercatat relatif tinggi, yakni mencapai 6 juta liter. Jumlah ini masih lebih banyak 3 kali lipat dari pasokan harian BBM jenis RON 92 yang hanya sebesar 2 juta liter.

Sebagai catatan, harga BBM di Mesir masih disubsidi oleh pemerintah. Akan tetapi, pada 29 Juni 2017, pemerintah Mesir memutuskan menaikkan harga BBM, menyusul kesepakatan dengan IMF terkait pinjaman sebesar US$ 12 Milyar. Harga BBM jenis RON 80 pun meningkat lebih dari 50 persen dari semula 2,35 LE menjadi 3,65 LE per liter (atau sekitar Rp2.760/liter) pada periode tersebut.

Lalu Negara Mongolia BBM jenis RON 80 juga masih digunakan dengan luas dengan nama A80, meskipun mulai terbatas pasokannya di beberapa stasiun pengisian bahan bakar. Berdasarkan The UB Post, saat ini BBM jenis RON 92 (setara Pertamax di Indonesia) merupakan jenis BBM yang paling banyak digunakan.

Kemudian Russia bahan bakar beroktan rendah hanya diproduksi dan dijual untuk keperluan terbatas, seperti militer atau kendaraan tua.

Bahkan Rusia mulai mengadopsi standar EURO 4 (RON 95), telah membatasi produksi bahan bakar beroktan rendah (RON 80).

Berdasarkan data dari Stratas Advisor, pada periode Agustus 2016, pangsa pasar BBM dengan RON di bawah 91 di Rusia, hanya tinggal sekitar 1 persen . Cukup kontras dengan kondisi di Indonesia yang mencapai 96 persen pada periode yang sama.

Begitu juga di wilayah berkembang di Afrika, Amerika Latin, Rusia dan CIS serta sebagian Asia Pasifik dan Timur Tengah walau kini masih menunggu namun, dalam waktu dekat, sejumlah negara itu berencana untuk secara bertahap menghapus nilai bensin dengan tingkat oktan lebih rendah dari RON 90.

"Menggantinya dengan nilai oktan yang lebih tinggi. Negara-negara ini termasuk Ekuador, Indonesia, Tajikistan dan Uzbekistan," ujarnya.

Perlu Kebijakan Pemerintah

Diakui Dahlan sejauh ini belum ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang benar-benar tegas dan berpihak bagi mereka yang berhak atas BBM bernama Premium semisal dengan melarang jenis mobil dengan merek dan CC tertentu memakainya.

Atau kebijakan membatasi usia kendaraan yang boleh beroperasi di jalan Raya baik motor, angkutan pribadi hingga umum.

Padahal perilaku ini bisa diubah, dan tidak lagi terjadi jika kesadaran menggunakan bahan bakar beroktan rendah ini diketahui dengan jelas bahaya negatifnya oleh pengguna.

Padahal untuk membuat masyarakat sadar untuk mandiri menggunakan BBM beroktan tinggi sibutuhkan waktu serta sedikit kebijakan dan penekanan sehingga dikala mereka berkesempatan merasakan dan membandingkan manfaat Premium dan Pertalite jangka panjang bagi perawatan kendaraan san efisiensi serta dampak lingkungannya.

Apalagi saat Premium itu memang sudah tidak dijual lagi, tentunya mau tidak mau masyarakat akan menggunakan yang ada.

"Coba kalau ada kebijakan membatasi kendaraan yang beroperasi di Jalan Raya sesuai umur tahun produksi, misal angkutan umum hanya boleh 5 tahun dan pribadi 10 tahun, tentu orang akan memilih BBM oktan tinggi, " ujarnya mencontohkan.

Sementara disisi produksi mesin otomotif belakangan ini sudah maju selangkah dengan diterbitkannya rekomendasi penggunaan BBM beroktan tinggi oleh beberapa pabrik dan perusahaan.

Dua perusahaan mobil PT Toyota Astra Motor (TAM) dan PT Hyundai Mobil Indonesia (HMI) belum lama Indonesia merilis telah merekomendasikan penggunaan bahan bakar minyak yang lebih berkualitas, seperti Pertalite dan Pertamax.

Public Relation Manager TAM Rouli Sijabat menjelaskan, hal itu lantaran mesin-mesin mobil Toyota, terutama keluaran terbaru, memang disesuaikan dengan konsumsi BBM dengan oktan tinggi.

"Tentu saja kami rekomendasikan. Karena untuk emisi yang lebih bersih serta efisiensi bahan bakar yang lebih baik, salah satunya diperoleh melalui teknologi engine dengan kompresi yang tinggi, yang memerlukan persyaratan bahan bakar dengan angka oktan tinggi," kata Rouli .

Penggunaan BBM berkualitas tinggi, akan berdampak baik bagi performa kendaraan. Bahan bakar lebih efisien, power maksimal, dan mesin lebih bersih dalam jangka panjang. Sementara jika dipaksa memakai Premium, maka power tidak maksimal, karena titik pembakaran sedikit berbeda dan kinerja sensor, misal knock sensor akan mengelitik.

Senada dengan Presiden Direktur PT HMI Mukiat Sutikno juga mengamini kondisi itu. Menurut dia, berkurangnya Premium di berbagai wilayah tanah air, memang kendaraan tua dengan rasio kompresi yang rendah, tidak banyak meningkat kekuatannya dengan mengubah ke oktan yg lebih tinggi. Sebaliknya kendaraan dengan rasio kompresi tinggi akan kehilangan energi puncak jika menggunakan oktan rendah.

Kesimpulannya meningkatkan kesadaran masyarakat akan suatu manfaat keberlangsungan energi yang ramah lingkungan dengan merubah pola penggunaan BBM beroktan rendah ke tinggi masih perlu dorongan dan mengikat namun tidak dipaksakan sehingga secara alami dan tanpa sadar akan menggeser cara-cara lama yang kurang menguntungkan ke arah lebih baik. Tidak selamanya adanya aturan itu akan berkaitan dengan sanksi namun menggugah dan menyadarkan secara perlahan tetapi pasti.

Jika pemerintah mampu menerbitkan kebijakan yang mendidik maka orang akan meninggalkan bensin oktan rendah karena tidak efisien.