Bengkalis, 18/2 (ANTARA) - Seorang pengusaha terasi di Desa Meskom, Kabupaten Bengkalis, Riau, membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usahanya walau pun sebenarnya telah ada invetor dari Malaysia yang melirik usaha pembuatan terasinya. "Tambahan modal yang saya perlukan untuk kemasan dan merek dagang agar tidak diklaim pengusaha dari negeri jiran itu," ujar Rifai (55) saat ditemui ANTARA di Desa Meskom sekitar 50 kilometer dari pusat kota Bengkalis, Kamis. Menurut dia, usaha terasi telah lama dilakoninya, namun selama ini pemasarannya hanya sebatas di pulau Bengkalis dan jika pun ada pembeli dari luar itu pun orang Bengkalis yang tinggal di luar Kabupaten Bengkalis dan tidak ada yang membeli dalam jumlah besar. "Dana yang saya butuhkan hanya seklitar Rp30 juta. Dana tersebut selain untuk biaya produksi juga pengantian peralatan dan kemasan yang menarik," katanya. Ayah enam anak itu mengatakan, selama membuka usaha pembuatan terasi dia tidak pernah mendapatkan modal kerja dari pemerintah berupa uang tunai kecuali peralatan pendukung kerja seperti oven ataupun mesin pengiling udang rebon, bahan baku terasi. Sayangnya, lanjut dia, mesin peralatan kerja itu tidak terbuat dari "stainless" (baja tak berkarat), karena tidak lama dipakai mesin pengolahan terasi itu berkarat dan akhirnya tidak lagi dapat dipakai. Rifai mengatakan, usaha terasi yang telah dirintisnya selama dua puluh tahun itu merupakan sumber ekonominya dalam menghidupi keluarganya. Namun, ia merasa usahanya itu tidak berkembang. "Penghasilan yang diperoleh ya segitu-gitu juga karena tidak ada modal untuk memasarkannya jauh dari kampung," ungkap Rifai. Lelaki berperawakan kecil ini mengatakan, bahan baku terasi yakni udang pepai atau udang rebon di selat Bengkalis, perairan laut dibelakang rumahnya sangat banyak. Udang kecil-kecil itu ada selama enam bulan dalam setahun. "Biasanya udang pepai berlimpah saat bulan Februari hingga bulan Juni. Itu masa panen udang pepai," katanya. Udang tersebut dibelinya dari nelayan Rp1.500 per kilogram. Udang segar itu dijemur hingga kering lalu ditumbuk halus bersama garam dan kemudian dijemur lagi agar terasi yang dihasilkan tidak basah dan tahan lama. Penyedap rasa tradisional itu benar-benar dikerjakan secara alami tanpa ada campuran bahan pengawet. "Proses pembuatan terasi ini saya peroleh turun temurun. Bagi kami masyarakat nelayan Meskom terasi bukanlah hal yang baru. Tiap masyarakat dikampung ini pandai buat terasi," katanya. Saat musim udang ia bisa memproduksi 200 kilogram terasi per minggu. Namun ia terkendala pada pemasaran dan kemasannya pun masih sangat sederhana. Terasi yang dihasilkannya dijual Rp17.000 per kilogram. Ia mengakui, usaha terasinya itu dilirik oleh investor Malaysia yang menginginkan bahan penyedap rasa tradisional itu dipasarkan di negeri jiran tersebut. Namun, ia belum menyanggupinya karena kuatir jika hanya bahan baku terasi yang dikirimnya sedangkan kemasan dikerjakan oleh rekananya maka merek dagangnya "Terasi Meskom" bakal hilang berganti pula dengan terasi Malaysia. "Nama kampung saya ini saya abadikan sebagai merek terasi buatan saya. Nama Terasi Meskom telah melekat dan jika orang datang ke Meskom dan mencari belacan (sebutan masyarakat tempatan untuk terasi-Red), pastilah mereka akan datan kerumah saya ini," ujar Rifai seraya tertawa. Ia mengatakan, sangat berkeinginan mengembangkan usahanya itu karena dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat desanya. "Jika ada modal tentulah kemasan belacan saya menarik dan dapat pula dibawa keluar. Saya juga membuat belacan ini dalam bentuk bubuk dan ini sangat digemari di Malaysia," katanya. ***