Pekanbaru, (Antarariau.com) - Konfederasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Chevron Pacific Indonesia di Provinsi Riau menyatakan, perusahaan multi nasional tersebut mulai merealisasikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi 700 karyawan terhitung 31 Maret 2016.
"Terhitung mulai hari ini, 700 orang secara nasional tidak lagi bekerja di Chevron," papar Ketua Sarbumusi Basis Chevron Pacific Indonesia Riau, Nofel di Pekanbaru, Jumat.
Nofel mengklaim, total jumlah karyawan terkena PHK perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berasal dari Amerika Serikat tersebut 700 orang, terdiri dari 500 karyawan berada di Kalimantan dan 200 pekerja di Riau.
Namun pihaknya belum mendapatkan data kongkrit mengenai jumlah karyawan terkena PHK di Chevron menyusul melemahnya harga minyak dunia sekitar dua tahun terakhir dan perampingan organisasi perusahaan itu.
Usia rata-rata para pekerja yang di PHK oleh Chevron tersebut masih berusia produktif dan memilki tanggungan hidup yakni isteri dan anak karena mulai dari berusia 35 sampai 40 tahun ke atas.
"Seperti di Kalimantan, lebih banyak anak muda. Kalau di Riau, kita lihat usia karyawan di PHK pada saat mendaftar jadi anggota Sarbumusi, berusia di atas 40 tahun. Bagi mereka yang sudah punya niat ambil PHK, maka sudah punya tempat pelarian," terangnya.
"Tapi yang bermasalah sekarang, usia sudah 40 tahun. Dia ambil itu PHK, tapi setelah itu dia menyesal. Dia mengambil bukan karena pilihan, tetapi adanya keterpaksaan," ucap Nofel.
Sarbumusi sangat menyanyangkan dengan sikap Chevron dinilai tidak konsisten. Sebab karyaman sudah termakan janji bagi yang tidak ambil paket PHK, maka akan dipekerjakan kembali dalam organisasi perusahaan.
"Anehnya perusahaan sendiri tidak konsekuen. Mulanya terdapat paket ditawarkan bersamaan dengan organisasi baru. Pada organisasi lama, karyawan Chevro 6.500 orang, sedangkan organisasi baru hanya pakai 4.880 orang. Otomatis terdapat 1.600 orang kehilangan pekerjaan," katanya.
Senior Vice President, Policy, Government, and Public Affairs Chevron Indonesia, Yanto Sianipar sebelumnya mengatakan, perusahaan migas itu kini tengah melakukan kajian terhadap semua model bisnis dan operasi.
"Latar belakangnya bukan hanya karena harga minyak yang rendah, melainkan sejak tahun lalu kami sudah melakukan tinjauan terhadap bisnis dan operasi di lapangan," katanya.