BIEO 2026: Transformasi Fiskal Riau-Dari Dilema ke Pertumbuhan Berkelanjutan

id BIEO 2026

BIEO 2026: Transformasi Fiskal Riau-Dari Dilema ke Pertumbuhan Berkelanjutan

BIEO 2026: Transformasi Fiskal Riau-Dari Dilema ke Pertumbuhan Berkelanjutan (ANTARA/Vera Lusiana)

Pekanbaru (ANTARA) - Forum Bisnis Indonesia Economic Outlook 2026 yang jadi bagian dari Bisnis Indonesia Group (BIG) Conference, digelar di Pekanbaru guna mengupas tuntas dinamika ekonomi Riau yang pada 2026 akan memasuki fase penuh tantangan.

Diskusi dengan tema Dilema Fiskal Riau 2026: Peluang, Risiko, dan Strategi Pertumbuhan Berkelanjutan ini menghadirkan pemangku kepentingan strategis dari pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, legislatif dan stakeholder terkait lainnya.

Diskusi berlangsung dinamis, terutama setelah Pemerintah Provinsi Riau memastikan bahwa kapasitas fiskal daerah akan kembali tertekan tahun depan. Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD), merosotnya transfer pusat, serta meningkatnya kebutuhan belanja wajib menjadi sorotan utama.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau melalui Kabid Perekonomian dan SDA, Abdul Madian, mengungkapkan bahwa realisasi APBD 2025 sampai Novembet sudah mencapai Rp6,98 triliun dari total anggaran Rp9,4 triliun. Namun, pada 2026 nilai APBD dipastikan turun menjadi Rp8,3 triliun.

“Kita akan kembali seperti zaman Covid. Rapat-rapat mungkin harus melalui Zoom lagi karena efisiensi mesti dilakukan. Bahkan ada satu kabupaten yang sedang mempertimbangkan pola satu minggu masuk kantor, satu minggu WFH,” ujarnya Senin (8/12/2025).

Dia menyebutkan penurunan paling signifikan terjadi pada PAD sektor kendaraan bermotor. Dari potensi Rp3 triliun, realisasinya saat ini hanya mencapai Rp1,4 triliun atau masih di bawah 50%. Dia mencontohkan, bahkan DKI Jakarta kehilangan pajak kendaraan hingga Rp2 triliun akibat transisi cepat kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.

Menurutnya untuk realisasi APBD tahun ini hanya mencapai 85%–87% akibat penurunan transfer daerah. Kontribusi belanja pemerintah terhadap PDRB Riau juga terus turun, dari 1% pada 2015 menjadi hanya 0,6%–0,7% saat ini.

Kemudian di tengah meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi, dia menegaskan pentingnya memperbaiki ekosistem gambut dan kawasan pesisir. “Biaya perbaikan kerusakan jauh lebih mahal dibandingkan manfaat jangka panjangnya,” katanya.

Ia juga menyinggung potensi besar ekosistem MBG (Makan Bergizi Gratis) yang perputaran uangnya di Riau mencapai Rp7 triliun. “Harapannya, bahan bakunya berasal dari lokal sehingga ada kontribusi untuk daerah. Kalau tidak, ya kita hanya dapat sisa-sisanya saja,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Kadin Riau, Masuri, menyatakan bahwa penurunan PAD tidak hanya terjadi di Riau, tetapi menjadi fenomena nasional.

“Memang betul PAD Riau terus menurun, tetapi masih banyak sektor yang bisa dioptimalkan. Ini perlu diperhatikan serius,” katanya.

Dia berharap Pemprov dapat membentuk tim percepatan pertumbuhan ekonomi serta melobi pemerintah pusat agar lebih banyak anggaran strategis dialokasikan ke Riau. Dia juga menyoroti hambatan akses pembiayaan bagi pelaku usaha, khususnya KUR.

“Banyak pengusaha mengajukan KUR Rp500 juta hanya sekali, setelah itu tidak bisa lagi. Padahal ini penting bagi pengusaha pemula agar bisa naik kelas,” kata Masuri.

Di sisi lain Ekonom Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pihak, termasuk legislator pusat, untuk memperjuangkan alokasi anggaran bagi Riau.

“Baru kali ini pertumbuhan ekonomi Riau naik stabil. Biasanya triwulan III naik, tetapi triwulan IV turun lagi. Namun tahun ini berbeda,” ujarnya.

Dahlan menilai PR terbesar Riau pada 2026 adalah keterbatasan anggaran daerah. Dia mendorong agar pemerintah pusat memberikan dukungan likuiditas bagi perbankan daerah.

“Harapannya ada kucuran APBN hingga Rp200 triliun ke Bank Pembangunan Daerah agar efeknya masuk ke ekonomi regional,” jelasnya.

Ketua Pansus Optimalisasi Pendapatan Daerah DPRD Riau, Abdullah, memaparkan empat langkah strategis yang harus dilakukan Pemda Riau.

Pertama yakni efisiensi dan selektivitas belanja daerah. "Dengan APBD Rp8,3 triliun, kita harus jujur bahwa anggaran ini belum benar-benar terbaca secara menyeluruh. Pemprov dan DPRD harus sangat selektif,” ujarnya.

Kedua, inovasi dan digitalisasi PAD. Dia mendorong digitalisasi pajak kendaraan, termasuk pembayaran melalui QRIS. “Semua aset pemda harus menghasilkan pendapatan. BUMD harus direvitalisasi dan membuka usaha baru. Potensi maritim dan EBT juga harus digarap.”

Ketiga, menjemput APBN. Menurutnya program strategis nasional harus diperjuangkan masuk ke Riau. Jadi pemda dinilai tidak bisa menunggu tapi harus jemput bola. Keempat, memudahkan pelaku usaha dan memperkuat hilirisasi. “Pengusaha sudah hadir di ruangan ini. Perizinan harus dipermudah, hilirisasi harus terus berjalan.”

Kepala Bisnis Indonesia Perwakilan Pekanbaru, Aang Ananda Suherman, menegaskan bahwa forum ini sengaja mengambil tema dilema fiskal karena situasi ekonomi Riau yang unik.

“Dari tahun lalu ekonomi Riau naik, tetapi APBD justru turun. Dilema kedua, ada mandatori pembangunan yang terus naik seperti gaji pegawai, sementara pendapatan menurun,” katanya.

Dia menegaskan komitmen Bisnis Indonesia yang selama empat dekade telah menjadi bagian dari perjalanan kenegaraan dan ekonomi Indonesia seperti mengawal transisi minyak tanah ke LPG, hingga elektrifikasi.

Dengan kondisi yang kian menantang, seluruh narasumber sepakat bahwa Riau membutuhkan terobosan kebijakan, keberanian mengambil risiko, dan keseriusan menjemput peluang agar ekonomi daerah tetap tumbuh secara berkelanjutan pada 2026 dan seterusnya.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.