Ketika Sinyal Ilmu Menembus Belantara Riau

id Internet

Ketika Sinyal Ilmu Menembus Belantara Riau

Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi) (1)

Pekanbaru (ANTARA) - Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya membuka matanya di ufuk timur, seorang anak kecil menapaki jalan tanah yang basah oleh embun. Namanya Rafi. Di pundaknya tergantung tas kain yang mulai pudar warnanya, di dalamnya hanya ada buku tulis, pensil pendek, dan secuil mimpi, ingin menjadi orang yang bisa mengajari orang lain membaca.

Jalan yang ia lalui bukan jalan biasa. Ada akar pohon besar yang mencuat seperti tangan bumi yang menggenggam masa lalu, ada genangan lumpur yang menjadi cermin langit di musim hujan. Kadang ia berjalan satu jam penuh, kadang dua, tergantung seberapa dalam roda truk sawit meninggalkan jejak di tanah itu.

Sesampainya di sekolah, Rafi tidak selalu mendengar suara guru. Kadang, ruang kelas hanya diisi bunyi daun bergesekan dan ayam hutan yang menyeberang halaman. Jika guru tak dating, karena harus menyeberangi sungai yang airnya meluap,Rafi dan teman-temannya hanya duduk sebentar, lalu pulang. Perjalanan panjang itu menjadi lingkaran yang kembali ke titik semula.

Namun, suatu hari, hal yang tak pernah ia bayangkan datang, bukan dalam bentuk orang, tapi kotak-kotak bercahaya yang bisa berbicara lewat jari. Komputer.

Di sekolahnya yang sederhana, kini berdiri sederet perangkat komputer dengan layar yang menampilkan dunia yang selama ini hanya ia dengar dari cerita. Sekolah mereka menjadi salah satu penerima program Cerdas Bersama dari salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perkebunan, sebuah inisiatif kepedulian perusahaan milik negaramelalui entitas usahanya yang beroperasi di Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau.

Dua puluh unit komputer lengkap dengan jaringan internet gratis setahun penuh kini hidup di sekolah-sekolah yang dulunya nyaris tak tersentuh sinyal. Program itu menjadi jembatan bagi anak-anak seperti Rafi untuk belajar, bahkan ketika guru berhalangan hadir.

“Alhamdulillah, masih dalam semangat kemerdekaan ini, kami telah mendistribusikan seluruh bantuan ke sekolah-sekolah di wilayah remote area,” ujar Region Head PTPN IV Regional III, Ahmad Gusmar Harahap, di Pekanbaru. “Tujuan utama kami adalah memerdekakan sekolah-sekolah dari keterbatasan literasi digital.”

Kata “memerdekakan” itu terasa begitu dalam. Di tengah hutan dan perkebunan sawit yang luas, anak-anak kini bisa bersentuhan dengan dunia yang sebelumnya hanya sebatas khayal. Melalui cyber education, mereka bisa membuka peta dunia, membaca kisah luar negeri, atau menonton cara membuat eksperimen sains sederhana, semua dari layar komputer yang sebelumnya tak pernah mereka sentuh.

Kepala SMPN 2 Tanjung Medan, Mutiara, menuturkan dengan mata berkaca, “Kami para guru di daerah terpencil sangat terbantu dengan bantuan ini. Mudah-mudahan kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan dengan baik.”

Bagi Mutiara, komputer bukan sekadar alat elektronik, melainkan jendela masa depan. Begitu pula bagi Bambang Asrita, Kepala SDN 006 Pendalian di Rokan Hulu. Ia mengaku selama ini harus menempuh perjalanan ke kota hanya untuk mengunduh bahan ajar. Kini, pengetahuan itu datang sendiri, melalui kabel dan sinyal yang menembus pepohonan.

Di ruang belajar yang dulu hanya berisi papan tulis dan kapur putih, kini terdengar bunyi ketikan. Anak-anak mulai belajar mencari informasi, menonton video pembelajaran, dan bahkan mengirimkan tugas secara daring. Di mata mereka, layar komputer itu bukan sekadar benda, melainkan cermin masa depan yang lebih terang.

Namun, di tengah derasnya arus informasi yang mengalir ke pedalaman, muncul pula kesadaran baru, bahwa dunia digital tidak hanya membawa terang, tapi juga bayangan.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengingatkan bahwa di era yang serba cepat ini, anak-anak tumbuh di tengah gempuran informasi yang tak selalu ramah bagi perkembangan mental mereka. Ia mengajak para orang tua untuk menunda pemberian akses media sosial kepada anak-anak di bawah umur, sambil memperkuat literasi digital di rumah dan di sekolah.

“Mari kita jaga anak-anak kita agar tetap terliterasi, tetapi di saat bersamaan, tunda dulu akses mereka ke media sosial sesuai dengan tingkat risiko yang akan kita evaluasi,” ujar Meutya.

Kebijakan itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas), yang menegaskan pentingnya perlindungan generasi muda dari paparan konten negatif.

“Sebagai orang dewasa saja, kita perlu mempersiapkan mental saat berinteraksi dengan orang tak dikenal di media sosial, apalagi anak-anak yang masih rentan,” katanya lagi.

Di lapangan, guru seperti Sumayati,yang juga seorang ibu, memahami benar makna peringatan itu. Ia sering mengingatkan murid dan orang tua agar bijak menggunakan gawai. “Guru-guru di daerah masih perlu banyak pelatihan. Literasi digital bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal akhlak dan ketahanan mental,” ujarnya.

Di antara riuh dunia maya yang sering kali tak berbelas kasih, kisah Rafi di pedalaman Riau adalah potret harapan. Ketika teknologi digunakan untuk membuka akses ilmu, bukan sekadar ruang sosial tanpa arah. Ketika komputer bukan alat hiburan, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih berpendidikan dan terlindungi.

Kini, setiap kali Rafi menyalakan komputer di sekolahnya, ia seperti membuka pintu ke semesta luas, di mana ilmu pengetahuan bersinar, tapi ia juga tahu, cahaya itu perlu dijaga agar tidak menyilaukan.

Karena di pedalaman Riau, di antara suara burung dan gemuruh mesin sawit, sinyal ilmu kini tak hanya menembus hutan, tapi juga menumbuhkan kesadaran: bahwa dunia digital yang cerdas, adalah dunia yang manusiawi.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.