Jurnalis Prancis Minta Maaf Kepada Pemerintah Indonesia

id jurnalis prancis, minta maaf, kepada pemerintah indonesia

Jurnalis Prancis Minta Maaf Kepada Pemerintah Indonesia

Jakarta, (Antarariau.com) - Pengacara dua jurnalis Prancis yang ditahan di Papua, Aristo Pangaribuan, mengatakan kliennya membuat surat pemohonan maaf kepada pemerintah Indonesia terkait kegiatan peliputan mereka di Papua yang dianggap telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aristo Pangaribuan mewakili Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Bourrat, dua jurnalis Prancis yang ditangkap di Papua pada 6 Agustus 2014, menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers di Jakarta, Jumat.

"Thomas dan Valentine (nama panggilan dua jurnalis itu) secara pribadi telah membuat surat permohanan maaf kepada pemerintah Indonesia dan pihak-pihak terkait, serta berjanji untuk tidak menggunakan informasi apapun yang mereka peroleh di Papua dan bahwa mereka tidak melakukan liputan yang berbau propaganda," kata Aristo.

Aristo menjelaskan Thomas dan Valentine memulai aktivitas peliputan di Papua pada 30 Juli 2014 untuk riset pembuatan film dokumenter berjudul "Papua New Guinea" yang dibiayai oleh rumah produksi Memento dan Arte TV, stasiun televisi yang berbasis di Prancis.

Pada 3 Agustus, mereka merekam pemandangan dan berbagai lokasi di Raja Ampat, Papua Barat, secara umum, kemudian akan meliput Festival Lembah Baliem di Wamena, termasuk mengenai kejadian baku tembak di Distrik Pirime yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata.

Tak lama setelah menemui masyarakat lokal, pada 6 Agustus, Thomas dan Valentine ditangkap atas dugaan keterlibatan dengan kegiatan kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Namun hasil investigasi Polda Papua tidak menemukan bukti keterlibatan mereka dengan KKB di Papua, pihak berwenang hanya menyimpulkan dugaan penyalahgunaan fungsi visa.

Berdasarkan Pasal 122 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, Thomas dan Valentine telah menyalahgunakan visa turis untuk melakukan kegiatan jurnalistik.

Sejak 8 Agustus, kasus keduanya dilimpahkan kepada Kantor Imigrasi Papua dan pada 3 September, dan penahanan Thomas dan Valentine diperpanjang untuk 40 hari ke depan.

Oleh karena itu, Aristo menjelaskan tim kuasa hukum keduanya telah mengajukan penangguhan penahanan dan meminta agar Thomas dan Valentine tidak dikenai sanksi pidana karena berdasarkan Pasal 75, sanksi pidana dapat diterapkan apabila sanksi-sanksi lain tidak berdaya.

"Dalam kasus Thomas dan Valentine masih ada sanksi administratif, yakni memulangkan kedua jurnalis tersebut," kata Aristo.

Sikap yang diambil kuasa hukum dua jurnalis Prancis tersebut didukung oleh Dewan Pers Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang meminta pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan Thomas dan Valentine, serta mendeportasi keduanya.

"Dewan Pers meminta otoritas untuk membebaskan dan mendeportasi keduanya. Dewan Pers juga dengan sengaja membatasi masalah ini di ranah imigrasi sehingga deportasi sama dengan masalah selesai," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam kesempatan yang sama.