Kabul (ANTARA) - "Kami terpaksa meminjam uang selama musim dingin, dan ketika musim kerja dimulai, kami secara bertahap melunasi utang kami kepada pemilik toko," kata Habib Jan, seorang pekerja pabrik tungku berusia 60 tahun, dalam wawancara dengan Xinhua.
Di tengah perekonomian yang rapuh, Afghanistan yang dilanda perang terus bergulat dengan angka pengangguran yang melonjak..
Seperti ribuan buruh lainnya di seluruh negeri, Habib Jan bekerja keras setiap hari di bawah teriknya matahari di tempat pembakaran di Kabul timur laut, membanting tulang untuk mendapatkan penghasilan yang cukup demi menghidupi keluarganya yang beranggotakan 12 orang. "Saya menggunakan penghasilan saya untuk membeli tepung, minyak, dan obat-obatan," katanya sambil menatap sepatunya yang sudah usang.
Habib Jan telah bekerja di tempat pembakaran batu bata selama lima tahun, tetapi dirinya tetap tidak puas dengan penghasilannya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. "Terkadang (penghasilan saya) cukup, terkadang tidak. Kami tidak punya pilihan selain bertahan, karena tidak ada yang membayar kami dengan layak," katanya. Kepala dan wajahnya tampak penuh debu di penghujung hari yang panjang.
Mohammad Jan Nabizad, manajer sebuah pabrik pakaian di Kabul, mengatakan pabrik tersebut pernah mempekerjakan sekitar 1.200 pekerja, namun kini hanya ada 80 orang yang tersisa. Dia mengaitkan pemutusan hubungan kerja tersebut dengan kurangnya permintaan dan kontrak ekonomi.
Ketika angka pengangguran di negara itu semakin meningkat, seorang pengemudi truk bernama Dil Agha merasa yakin kelangkaan lapangan kerja yang memburuk telah memperparah kesulitan ekonomi di kalangan rakyat Afghanistan.
"Saya mengandalkan keahlian mengemudi untuk menafkahi keluarga, tetapi saya tidak mampu membeli barang yang berkualitas. Saya bahkan tidak bisa menambah pengeluaran harian kami," katanya.
Dil Agha telah menjalankan tugasnya mengangkut batu bata di Kabul selama 18 tahun dan menjadi pencari nafkah tunggal bagi keluarganya. Kisah hidupnya mewakili kisah banyak pekerja lainnya. "Pada musim dingin, saya meminjam antara 20.000 hingga 50.000 afghani (1 afghani = Rp230) dari pemilik tempat pembakaran batu bata, dan saya melunasinya setelah menyelesaikan pekerjaan saya pada musim semi," imbuhnya, seraya mengungkapkan kekhawatirannya yang semakin besar tentang berkurangnya kesempatan kerja.
Runtuhnya industri-industri utama dan kurangnya infrastruktur ekonomi membuat banyak pekerja Afghanistan berjuang keras untuk mencari nafkah.
Mohammad Jan Nabizad, manajer sebuah pabrik pakaian di Kabul, mengatakan pabrik tersebut pernah mempekerjakan sekitar 1.200 pekerja, namun kini hanya ada 80 orang yang tersisa. Dia mengaitkan pemutusan hubungan kerja tersebut dengan kurangnya permintaan dan kontrak ekonomi.
Menurut Samiullah Ibrahim, juru bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial pemerintah sementara Afghanistan, saat ini belum ada data resmi mengenai pengangguran, tetapi sebuah survei komprehensif telah direncanakan.
Shafiq Ullah, seorang pekerja tekstil muda di Kabul, menceritakan bahwa setelah lulus sekolah, dia tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena keterbatasan biaya. "Dahulu kami bekerja di sini siang dan malam. Dahulu kami berjumlah 17 orang, sekarang hanya ada 10 orang," katanya.
Ekonom Afghanistan Shakir Yaqubi menyuarakan kekhawatirannya terkait parahnya pengangguran dan kemiskinan, dan memperingatkan bahwa tingkat pengangguran telah mencapai level yang belum pernah tercatat sebelumnya.
Yaqubi menekankan jika kondisi tidak membaik, krisis kemanusiaan di Afghanistan akan semakin rapuh dan tidak stabil, dan ekonomi dapat jatuh ke level terburuknya.
Menurut Samiullah Ibrahim, juru bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial pemerintah sementara Afghanistan, saat ini belum ada data resmi mengenai pengangguran, tetapi sebuah survei komprehensif telah direncanakan.
Laporan Bank Dunia yang dirilis pada April mengungkap bahwa satu dari empat pemuda Afghanistan menganggur, mengindikasikan betapa tingkat pengangguran telah meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Libur Hari Buruh, China tangani 23,12 juta perjalanan penumpang kereta api
Baca juga: Pelabuhan Tanjung Priok macet, buruh transportasi desak Menteri BUMN pecat Dirut Pelindo