Bermula dari suka makanan seafood, bermuara pada ketahanan pangan

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, Sea food

Bermula dari suka makanan seafood, bermuara pada ketahanan pangan

Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Crustea Roikhanatun Nafi’ah ketika ditemui di Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) 2025, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Kamis (16/1/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri.)

Abu Dhabi (ANTARA) - Ketika menghadiri Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) 2025, ekspektasi yang menyertai keberangkatan dari Indonesia ke Uni Emirat Arab adalah ramainya pameran teknologi keberlanjutan dari berbagai negara.

Apakah ada yang berasal dari Indonesia? Pertanyaan tersebut terngiang-ngiang sepanjang perjalanan, dan perlahan-lahan berubah menjadi rasa penasaran yang menolak untuk diam bila tidak terjawab.

Alhasil, ketika tiba di lokasi gelaran ADSW 2025, denah pameran yang terletak di tengah-tengah koridor pun menjadi tujuan pertama. Harapan saat itu hanya satu, yakni menemukan ‘Indonesia’ dalam daftar yang dipenuhi oleh perusahaan asal Uni Emirat Arab, China, India, dan negara-negara lainnya.

Setelah menyisir ratusan perusahaan, akhirnya “Indonesia” pun ditemukan dalam kategori inovasi teknologi bersih, kategori yang didominasi oleh perusahaan asal India.

Adalah “Crustea”, salah satu perusahaan anak bangsa yang diundang untuk memperkenalkan produknya di ADSW 2025. Crustea membawa inovasi berupa teknologi akuakultur yang berkelanjutan.

Kecintaan pada makanan laut

“Karena kami memang semuanya suka seafood (makanan laut), jadi bangun tambak, " demikian Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Crustea Roikhanatun Nafi’ah menyampaikan hal tersebut ketika menceritakan awal mula berdirinya Crustea.

Nafi, sapaan akrabnya, mulai menjadi petambak udang bersama rekannya pada 2019. Perjalanannya menjadi petambak udang tidak berlangsung dengan mulus, sebab ketika musim panen tiba, ia justru mengalami gagal panen.

Kegagalan tersebut mengingatkan Nafi kepada berbagai interaksi sebelumnya dengan para petambak udang, khususnya yang ia temui sejak 2016, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Kerugian yang ditanggung pun bukan sekadar kerugian bibit udang, melainkan mahalnya bahan bakar untuk diesel, biaya operasional tambak, dan lain-lainnya.

Permasalahan gagal panen dan kerugian yang ditanggung oleh para petambak terus berulang selama tiga tahun.

Dari berbagai kegagalan tersebut, Nafi menyoroti permasalahan bahwa meskipun udang yang mereka budidayakan tidak terjangkit penyakit tertentu, keberhasilan budi daya udang serta hasil laut lainnya juga dipengaruhi oleh kualitas air.

Berangkat dari latar belakangnya di bidang teknologi, Nafi bersama rekannya pun fokus untuk menyelesaikan permasalahan gagal panen tersebut dengan jalur teknologi.

Ide untuk membangun perusahaan teknologi berkelanjutan di bidang akuakultur pun muncul pada tahun 2020, dan dieksekusi pada 2022.

Meningkatkan kualitas air untuk menjamin kesuksesan panen udang pun menjadi salah satu motivasi Nafi.

Inovasi untuk ketahanan pangan

Fokus dari inovasi Nafi adalah meningkatkan produktivitas petambak dan penurunan biaya operasional, khususnya listrik untuk operasional tambak.

Kedua fokus tersebut melahirkan dua jenis inovasi, yakni manajemen kualitas air untuk meningkatkan produktivitas petambak, serta efisiensi energi untuk menurunkan biaya listrik petambak.

Inovasi pertama adalah eco-aerator, sebuah sistem pemberian oksigen kepada ikan (khususnya udang) yang menghasilkan kadar oksigen lebih tinggi daripada teknologi kincir, yang masih digunakan oleh pembudi daya ikan maupun udang di Indonesia.

Selain itu, Nafi juga memiliki inovasi teknologi untuk memonitor dan mengontrol kualitas air bernama EBII System. Apabila kualitas air terdeteksi buruk, kata dia, maka eco-aerator akan menyala secara otomatis.

EBII System juga mendukung upaya untuk efisiensi energi, sebab petambak tidak perlu menyalakan alat selama 24 jam. Sedangkan, apabila petambak masih menggunakan kincir, mereka harus mengoperasikan kincir tersebut selama 24 jam.

Tidak terbatas pada kedua inovasi tersebut, Nafi juga mengintegrasikan eco-aerator dan EBII system dengan panel surya. Dengan panel surya, kata dia, petambak bisa menggunakan listrik hanya pada malam hari.

Selain itu, para petambak yang tidak memiliki akses listrik sama sekali, namun memiliki potensi yang tinggi untuk melakukan budi daya, dapat memperoleh listrik dengan panel surya.

Nafi menjelaskan bahwa berbagai inovasi tersebut telah mendatangkan perubahan, seperti meningkatkan kualitas udang menjadi 2 kali lipat lebih baik, dan penurunan biaya operasional listrik para petambak mencapai 80 persen.

Dari petambak yang rata-rata membayar biaya bahan bakar untuk diesel sebesar Rp8 juta per bulan, kini menjadi Rp2 juta per bulan.

Saat ini, Nafi mencatat sekitar 500 petambak yang berasal dari tiga provinsi sudah masuk ke ekosistem Crustea. Provinsi tersebut meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.

Dalam dua tahun ke depan, ia menargetkan agar petambak yang masuk ke ekosistem perusahaannya mencapai seribu bahkan dua ribu petambak dan melakukan ekspansi minimal ke 10 wilayah baru lagi.

Memberi dampak ke lingkungan

Saat ini, Nafi menyampaikan bahwa perusahaannya sedang menjalankan program pemberdayaan perempuan di sektor akuakultur.

Dengan demikian, bagi pasangan para petambak yang sebelumnya tidak bekerja, kini bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dan mendatangkan nilai tambah melalui pengolahan hasil tambak.

Nafi juga berharap agar apa yang ia lakukan dapat memberi dampak kepada lingkungan, yakni mengurangi emisi karbon sebanyak-banyaknya. Panel surya yang terpasang di tambak ikan maupun udang bertujuan untuk memangkas emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar diesel.

Inovasi-inovasi tersebut tidak akan lahir apabila Nafi bersama rekan-rekannya tidak melakukan aksi nyata setelah mendengar keluhan para petambak, bahkan mengalami sendiri pahitnya gagal panen.

Kepekaan terhadap permasalahan yang berada di sekitar, kemudian dikombinasikan dengan keinginan untuk menyelesaikan masalah, menjadi cikal bakal munculnya inovasi-inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Siapa pun bisa memikirkan solusi, namun tidak semua orang memiliki motivasi untuk menjelmakan solusi tersebut menjadi sesuatu yang nyata. Nafi dan rekan-rekannya memanfaatkan latar belakang mereka untuk berinovasi dan membawa perubahan kepada lingkungannya.

Bermula dari kesukaan terhadap hidangan laut, perjalanannya bermuara pada dukungan kuat terhadap ketahanan pangan Indonesia.

Mudah-mudahan, pemuda-pemudi lainnya dapat menemukan ‘mula’ dan ‘muara’ mereka masing-masing.