Jakarta (ANTARA) - Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan pelemahan nilai tukar (kurs) terhadap rupiah dipengaruhi sikap investor mengantisipasi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump seperti deregulasi dan pajak yang lebih rendah.
Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah ditutup melemah 6 poin atau 0,04 persen menjadi Rp16.217 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.211 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis turut melemah ke level Rp16.238 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.201 per dolar AS.
“Investor mengantisipasi kebijakan Trump seperti deregulasi dan pajak yang lebih rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi ada kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut, bersama dengan tindakan tarif yang belum dikonfirmasi, dapat menyebabkan percepatan kembali inflasi,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.
Faktor selanjutnya ialah rencana Trump mendeklarasikan darurat nasional untuk mendorong rencana pengenaan bea masuk impor lebih tinggi, sehingga mendorong penguatan dolar AS.
Menurut Pengamat pasar uang Ariston Tjendra, kebijakan tarif ini bisa menyurutkan aktifitas produksi di negara-negara produsen seperti China, Meksiko, hingga Kanada, yang memicu pelambatan ekonomi.
Perang tarif yang akan muncul juga semakin memperlambat ekonomi, dan ekspektasi ini mendorong pasar masuk ke aset aman, yakni dolar AS.
Terkait kepesertaan Indonesia menjadi di BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), Ibrahim Assuaibi menilai bahwa aliansi BRICS tak begitu memberikan keuntungan kepada Tanah Air karena ekonomi China akan melambat, terutama pasca kembali terpilihnya Trump yang memicu proteksionisme dagang.
“Ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara China dan AS akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan ini tentunya akan berimbas pada Indonesia. Ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota BRICS jika melakukan dedolarisasi,” ungkap dia.