Antisipasi dampak kemarau, optimalkan infrastruktur pengelolaan sumber daya air

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,air

Antisipasi dampak kemarau, optimalkan infrastruktur pengelolaan sumber daya air

Pekerja menyambung pipa pada proyek pekerjaan rekonstruksi sistem jaringan air baku Palu, Sigi, Donggala (Pasigala) di Desa Rarampadende, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (16/5/2023) (ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa)

Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan optimalisasi penggunaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air, seperti waduk, salah satu langkah strategis untuk mengantisipasi dampak musim kemarau.

"Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko kekurangan air, baik bagi kebutuhan masyarakat maupun untuk kebutuhan pertanian," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, langkah-langkah strategis perlu dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi dampak lanjutan atas musim kemarau, utamanya sektor-sektor yang terdampak, seperti pertanian, terutama tanaman pangan semusim yang mengandalkan air.

"Situasi saat ini perlu diantisipasi agar tidak berdampak pada gagal panen yang dapat berujung pada krisis pangan," tuturnya.

Ia juga mengatakan upaya pencegahan dan siaga penanggulangan kebakaran hutan dan lahan harus lebih ditekankan kepada antisipasi peningkatan potensi karhutla, terutama wilayah rawan karhutla.

"Upaya pencegahan harus lebih ditekankan dibandingkan pemadaman karena langkah ini lebih efektif untuk menghindari dampak yang luas," katanya.

Di sisi lain, lanjutnya, pengetahuan dan pemahaman masyarakat perlu terus ditingkatkan dalam memahami pengelolaan hutan dan lahan, potensi ekonomi lokal dan pengolahan hasil produksi hutan dan lahan menjadi bernilai tambah.

"BMKG sendiri terus melakukan pemantauan untuk mendeteksi titik panas atau hot spot menggunakan satelit. Jika BMKG mendeteksi potensi karhutla maka secara resmi BMKG akan mengeluarkan peringatan dini," katanya.

Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab mengatakan puncak musim kemarau di Indonesia diprakirakan terjadi pada Juli, Agustus, dan September 2023, yaitu 83 persen atau 582 zona musim (ZOM).

"Dibandingkan dengan normal, puncak musim kemarau 2023 diprakirakan sama pada 390 ZOM (55,8 persen), maju pada 174 ZOM (24,9 persen), dan mundur sebanyak pada 135 ZOM (19,3 persen)," paparnya.

Ia menyampaikan prediksi hujan bulanan periode Juni-Oktober 2023 dapat mencapai kondisi bawah normal atau lebih kering dari rata-ratanya.

Wilayah yang diprediksi mengalami hujan dengan kategori bawah normal pada Juni 2023, meliputi sebagian Aceh, sebagian Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, Sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.

Pada Juli, Agustus, dan September 2023 yang diprediksi sebagai periode puncak musim kemarau, curah hujan bawah normal diprediksi terjadi di wilayah yang lebih luas, meliputi sebagian besar Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Bali, NTB, sebagian NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.

Bahkan, beberapa daerah akan mengalami curah hujan yang rendah yaitu kurang dari 20 mm/bulan, meliputi Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Baca juga: KLHK pastikan pngembangan kebijakan pengelolaan sumber daya lahan dan air

Baca juga: Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sebut sumber daya air kunci pembangunan berkelanjutan