Akibat Ekonomi limbung, warga muda China jalani gaya hidup dengan lebih hemat

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,China

Akibat Ekonomi limbung, warga muda China jalani gaya hidup dengan lebih hemat

Seorang wanita duduk di sebuah restoran di tepi sungai, di tengah pandemi COVID-19, di Shanghai, China, 6 September 2022. (ANTARA/Reuters/Aly Song/as)

Beijing (ANTARA) - Sebelum pandemi, Doris Fu membayangkan masa depan yang cerah bagi diri dan keluarganya: mobil baru, apartemen besar, makan bersama di akhir pekan dan liburan di pulau tropis.

Namun, perempuan 39 tahun yang berprofesi sebagai konsultan pemasaran di Shanghai itu kini menjadi satu dari sekian banyak pekerja muda China yang harus menekan pengeluaran dan menabung sebisa mungkin.

Mereka terdampak penguncian COVID-19, tingkat pengangguran yang tinggi dan pasar properti yang goyah.

"Saya tak lagi melakukan manikur, tak lagi mengurus rambut saya. Saya beralih ke produk buatan China untuk semua kosmetik saya," kata Fu kepada Reuters.

Hemat menjadi gaya hidup baru yang dipopulerkan para pemengaruh di media sosial.

Mereka berbagi tip untuk menghemat uang dan menjalani hidup sehari-hari dengan biaya sedikit.

Belanja konsumen menyumbang lebih dari separuh PDB China, sehingga gaya hidup hemat mengancam ekonomi terbesar kedua di dunia itu, yang telah mengalami kontraksi pada triwulan kedua tahun ini.

"Kami telah memetakan perilaku konsumen di sini selama 16 tahun dan selama itu, saat inilah yang paling mengkhawatirkan yang saya lihat di kalangan konsumen muda," kata Benjamin Cavender, direktur pelaksana China Market Research Group (CMR).

Kebijakan "nol COVID" China, yang mencakup penguncian ketat, pembatasan perjalanan dan tes massal, telah menelan banyak korban pada ekonomi negara itu. Tindakan keras pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan teknologi besar juga telah berdampak pada angkatan kerja muda.

Tingkat pengangguran di kelompok usia 16-24 tahun hampir mencapai 19 persen, setelah mencatat rekor 20 persen pada Juli, menurut data pemerintah.

Beberapa warga muda terpaksa menerima gaji lebih kecil, contohnya di sektor ritel dan niaga elektronik, menurut dua survei industri.

Gaji rata-rata di 38 kota besar China turun 1 persen dalam tiga bulan pertama tahun ini, menurut data yang dihimpun perusahaan rekrutmen daring Zhilian Zhaopin.

Akibatnya, sebagian anak muda lebih memilih untuk menyimpan uang daripada membelanjakannya.

"Dulu saya pergi menonton film setiap bulan, tetapi saya belum pernah masuk ke bioskop sejak pandemi," kata Fu, penggemar berat film.

Penjualan ritel di China meningkat hanya 2,7 persen year-on-year pada Juli, lalu naik menjadi 5,4 persen pada Agustus, tetapi masih jauh lebih rendah ketimbang level 7 persen lebih selama 2019, sebelum pandemi melanda.

Hampir 60 persen warga kini cenderung menyimpang lebih banyak uang daripada membelanjakan atau menginvestasikannya, menurut survei triwulanan terbaru oleh bank sentral, People's Bank of China (PBOC). Angka itu hanya 45 persen tiga tahun lalu.

Keluarga-keluarga China secara keseluruhan menambah 10,8 triliun yen (Rp1,13 kuadriliun) ke tabungan di bank selama delapan bulan pertama 2022, naik dari 6,4 triliun yen pada periode yang sama tahun lalu.

Kondisi itu menjadi kendala bagi pembuat kebijakan ekonomi China, yang telah lama bergantung pada kenaikan konsumsi untuk mendorong pertumbuhan.

China adalah satu-satunya ekonomi maju dunia yang memangkas suku bunga tahun ini untuk memacu pertumbuhan.

Bank-bank pelat merah mengurangi bunga tabungan pada 15 September, sebuah langkah yang bertujuan untuk mengecilkan hati para penabung dan mendorong konsumsi.

Menanggapi naiknya kecenderungan untuk menabung, seorang pejabat PBOC mengatakan pada Juli bahwa ketika pandemi mereda, keinginan untuk berinvestasi dan mengonsumsi akan "stabil dan meningkat".

"Makan Malam 10 Yuan"

Setelah konsumerisme merebak bertahun-tahun, yang dipicu kenaikan upah, kemudahan kredit dan belanja daring, gerakan penghematan membuat kalangan muda China mengikuti gaya hidup orang tua mereka yang lebih berhati-hati.

"Di tengah sulitnya lowongan kerja dan besarnya tekanan ekonomi, kegelisahan dan ketidakpastian di kalangan muda menjadi sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya," kata Zhiwu Chen, profesor keuangan di Sekolah Bisnis Universitas Hong Kong.

Tidak seperti orang tua mereka, kaum muda menunjukkan penghematan mereka secara daring.

Seorang perempuan berusia 20-an di kota Hangzhou mendapatkan ratusan ribu pengikut di media sosial setelah mengunggah lebih dari 100 video tentang cara membuat makan malam hanya dengan uang 10 yuan (sekitar Rp21.500) di aplikasi gaya hidup Xiaohongshu dan situs streaming Bilibili.

Dalam sebuah video sepanjang satu menit yang sudah dilihat 400.000 kali, dia membuat masakan yang terbuat dari filet ikan basa seharga 4 yuan, udang beku 5 yuan dan sayuran 2 yuan, dengan talenan dan pemasak nasi berwarna merah muda.

Diskusi-diskusi di media sosial dipenuhi tip-tip menghemat uang, seperti "Tantangan: Hidup dengan 1.600 yuan (Rp3,43 juta) sebulan" di Shanghai, salah satu kota termahal di China.

Yang Jun, yang mengaku terlilit utang kartu kredit sebelum pandemi, membentuk kelompok bernama Institut Penelitian Konsumsi Rendah di situs jejaring Douban pada 2019. Kelompok itu telah menarik lebih dari 150.000 anggota.

Yang mengatakan dia menekan pengeluarannya dan menjual sebagian benda miliknya di situs seken untuk mendapatkan uang tunai.

"COVID-19 membuat orang jadi pesimis," kata perempuan 28 tahun itu.

"Anda tak bisa seperti sebelumnya, menghabiskan semua uang yang Anda dapat, dan mencarinya lagi bulan depan," katanya, seraya mengaku bahwa dirinya kini sudah terbebas dari utang.

Yang mengatakan dia sudah tidak lagi minum kopi di Starbucks, sedangkan Fu mengaku mengganti merek bedaknya dari Givenchy ke produk lokal Florasis, yang 60 persen lebih murah.

Pemegang merek-merek mewah Prancis LVMH, yang memiliki Givenchy, dan raksasa kopi Starbucks Corp sama-sama mengatakan penjualan mereka di China anjlok selama triwulan terakhir.

China belum memberikan sinyal tentang kapan dan bagaimana mereka keluar dari kebijakan nol-COVID.

Stabilitas menjadi tema kunci bagi para pembuat kebijakan China tahun ini, kata para pakar, ketika Presiden Xi Jinping berencana meneruskan kepemimpinannya untuk periode ketiga pada kongres Partai Komunis bulan depan.

"Dulu, kalau ekonomi melambat, konsumen mungkin merasa bahwa pemerintah akan mengatasi masalah ini dengan sangat cepat," kata Cavender di CMR.

"Saya pikir kini tantangannya adalah ketika Anda mewawancarai para konsumen muda, mereka benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

Fu, sang konsultan pemasaran, mengatakan dia telah menunda rencana untuk menjual dua apartemen kecilnya dan membeli satu yang lebih besar di distrik dengan sekolah yang lebih baik bagi putranya.

Dia juga mengaku tidak lagi ingin mengganti kendaraannya, Volkswagen Golf, dengan yang lebih mahal.

"Bagaimana saya berani meningkatkan (kualitas) rumah dan mobil saya, meskipun saya punya uang?" katanya. "Semuanya susah ditebak."

Baca juga: Menkeu Sri Mulyani waspadai kenaikan inflasi AS buat Fed makin "hawkish"

Baca juga: Dolar naik menuju tertinggi 24 tahun terhadap yen setelah rilis inflasi AS


Sumber: Reuters