Kenaikan harga minyak dinilai jadi momentum pakai BBM kualitas tinggi

id Berita hari ini, berita riau antara, berita riau terbaru, BBM

Kenaikan harga minyak dinilai jadi momentum pakai BBM kualitas tinggi

Petugas beraktivitas dengan latar depan nosel dan selang Pertalite RON 90 sebelum peluncuran di SPBU Coco, Abdul Muis, Jakarta, Selasa (21/7) (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ss/aww)

Jakarta (ANTARA) - Kenaikan harga minyak dunia dinilai bisa menjadi momentum menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) berkualitas tinggi untuk menciptakan udara lebih bersih sehingga lingkungan menjadi lebih sehat.

"BBM berkualitas memiliki nilai fuel economy lebih baik sehingga jika digunakan akan memiliki jarak tempuh yang lebih jauh," kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurutnya, masyarakat juga harus memperhatikan fuel engine requirement, melihat persyaratan kualitas BBM yang ditentukan produsen kendaraan bermotor.

Baca juga: Atasi kelangkaan biosolar, asosiasi transportasi Riau didorong negosiasi ulang kontrak dengan Industri

Dia menjelaskan pada kendaraan bensin dengan konsekuensi penerapan Standar Euro 2, semua varian sepeda motor dan mobil memiliki compression ratio minimal 9:1. Sebagai contoh, sepeda motor Honda Scoopy memiliki compression ratio 9,2:1. Kemudian mobil LCGC dan MPV kelas 1.500 cc ke bawah memiliki compression ratio 10:1. Sedangkan mobil kelas menengah 11:1, mobil mewah 11:1 atau 12:1.

"Kendaraan dengan compression ratio 9:1 membutuhkan bensin dengan RON minimal 91. Sedangkan kendaraan dengan compression ratio 10:1 ke atas membutuhkan bensin dengan RON minimal 95," katanya.

Jika dipaksakan menggunakan BBM berkualitas rendah, lanjut Ahmad, kendaraan akan ngelitik (knocking) dengan beberapa konsekuensi. Pertama, mobil menjadi tidak bertenaga karena bensin dengan nilai RON (Research Octane Number) lebih rendah dari kebutuhan mesinnya akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin tanpa didahului percikan api busi.

Kedua, self ignition akan menyebabkan bensin lebih boros sekitar 20 persen karena terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga sehingga untuk menempuh jarak tertentu membutuhkan bensin lebih banyak. Ketiga, dengan borosnya bahan bakar maka hal ini akan meningkatkan emisi baik emisi rumah kaca (CO2) maupaun emisi pencemaran udara seperti PM, HC, CO, NOx, Sox.

Baca juga: Pemprov Riau larang kendaraan dinas gunakan BBM bersubsidi

"Belum lagi terjadinya detonasi yang menyebabkan keretakan piston, kerusakan ring-piston, busi, dan lain lain karena efek self ignition," katanya.

Pada kendaraan solar, tambah Ahmad, kendaraan Standar Euro 2 membutuhkan BBM dengan kadar belerang max 500 ppm. Sebagai contoh, solar 48 memiliki kadar sulfur rata-rata 1378 ppm (2019).

Menurut dia, jika dipaksakan, Diesel Particulate Filter (DPF) akan mengalami kerusakan karena sulfur, karena dikendalikan secara elektronik, kerusakan DPF akan menghentikan fungsi kendaraan secara keseluruhan.

"Praktis sejak 2007 tidak ada lagi kendaraan yang membutuhkan bensin dengan RON di bawah 91 dan solar dengan CN di bawah 51. Selain bensin maupun solar harus dengan kadar sulfur tidak lebih dari 500 ppm (Standard 2/II) dan tidak lebih dari 50 ppm sejak Oktober 2018 (Standard Euro 4/IV)," ujarnya.

Baca juga: Pertamina ajak masyarakat beralih gunakan BBM ramah lingkungan, sesuai standar internasional