Komisaris Bank Riau-Kepri Bersaksi di Sidang Zulkifli Thalib

id komisaris bank, riau-kepri bersaksi, di sidang, zulkifli thalib

Komisaris Bank Riau-Kepri Bersaksi di Sidang Zulkifli Thalib

Pekanbaru, (antarariau.com) - Komisaris Independen Bank Riau-Kepri, Sarjono, memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang dugaan korupsi kredit yang merugikan negara Rp35,2 miliar dengan terdakwa mantan direktur utama Zulkifli Thalib di Pengadilan Tipikor, Pekanbaru, Senin.

Dalam sidang itu Sarjono mengaku tahu persis kasus penyaluran kredit bermasalah tahun 2002 tersebut karena saat itu menjabat sebagai Direktur Kepatuhan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau, yang kini sudah berganti nama jadi Bank Riau-Kepri. Bahkan, Sarjono hadir dipersidangan dengan membawa setumpuk berkas di dua tas jinjing berlogo Bank Riau-Kepri.

Ia menjelaskan, terdakwa Zulkifli Thalib yang awalnya menyatakan PT Saras Perkasa ingin mengambil alih (take over) kredit pembangunan ruko dan mal di Batam yang bermasalah. Direktur PT Saras Perkasa Arya Wijaya kemudian mengajukan kredit kepada BPD Riau untuk proses pengalihan kredit pembangunan tersebut, dan terdakwa membantu proses kreditnya.

Ketika Ketua Majelis Hakim Ida Bagus Dwiyantara SH, MH menanyakan apakah syarat "take over" itu sudah terpenuhi, Sarjono mengatakan ada beberapa aspek yang belum terpenuhi karena pertimbangan untuk mengambil alih jaminan yang sebelumnya tak bertuan agar menjadi jaminan di bank yang dapat dilelang.

"Saya dilematis juga dalam hal itu (take over)," kata Sarjono.

Ketika ditanya lanjut oleh hakim, kenapa jaminan itu tidak dilelang, Sarjono mengatakan, pada 2009 dan 2010 Rapat Umum Pemegang Saham sudah menyetujui untuk dilelang aset tersebut.

"Namun direksi Bank Riau tidak melaksanakannya. Kalau asset ini dilelang, selesai sebenarnya masalah ini pak hakim," ujarnya.

Menurut Sarjono, keputusan "take over" yang digagas Zulkifli Thalib merupakan langkah penyelamatan bank itu. Kasus itu bermula pada hasil pemeriksaan Bank Indonesia Pekanbaru yang menyebutkan adanya penyimpangan kredit pada BPD Riau cabang Batam di tahun 2002.

"Jika tidak dilakukan langkah penyelamatan, kredit bermasalah atau NPL bisa mencapai lima persen melebihi ketentuan BI dan akibatnya Bank Riau akan dalam pengawasan khusus dari BI," ujar Sarjono.

Ia mengatakan Kepala Cabang Batam, Said Zainal Abidin, memberikan kredit investasi kepada 168 debitur dengan besaran masing masing Rp250 juta. Padahal, pencairan tersebut merupakan rekayasa Said Zainal Abidin dengan PT Karyawira Wanatama untuk pembangunan ruko dan mall di komplek pertokoan Batavia, Batu Aji Batam. Ternyata, 92 debitur fiktif dan uang mengalir ke PT Karyawira Wanatama.

"Karena pencairan kredit tersebut rekayasa, maka kredit tersebut menjadi bermasalah karena tidak ada orang bertanggungjawab untuk menyetor kredit. Apalagi tidak ada jaminan yang dikuasai bank dan PT Karyawira juga tidak terdaftar sebagai debitur," ujar Sardjono.

Direktur PT Saras Arya Wijaya, lanjutnya, meyakinkan akan meneruskan bangunan mal dan meminta penambahan kredit Rp55 miliar dengan jaminan "cash collateral" berupa deposito di Bank BNI 46 sejumlah Rp100 miliar. Namun, karena jaminan itu tidak diserahkan, pihak bank hanya mengucurkan kredit dengan plafon Rp35,2 miliar.

Sebanyak Rp32,3 miliar diantaranya berupa "take over" satu unit mal, 38 unit ruko dan dua kapling tanah. Sementara Rp3 miliar lagi dalam bentuk uang yang digunakan untuk operasional pembangunan kembali mal serta biaya lainnya untuk proses "take over".

"Sejak take over itu dilakukan, NPL turun dari 4,92 persen menjadi 2,71 persen pak hakim," ungkapnya.

Sedangkan, pembangunan fisik mal menunjukkan progres mencapai 65 persen dari sebelumnya hanya sampai 39,8 persen. Kemudian, ia mengatakan hasil appraisal independen PT Indoprofita menaksir total aset bank menjadi Rp37 miliar lebih.

"Artinya jaminan dapat dikuasai bank dari sebelumnya sama sekali tidak dapat dikuasai," ujarnya.