Sejak tahun 2006, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Peternakan setempat telah "menjelajahi" program pengembangan peternakan sapi yang diintegrasikan dengan Program Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Infrastruktur atau K2I.
Program pengembangan peternakan sapi di provinsi ini bahkan telah menelan anggaran puluhan miliar rupiah dengan asupan anggaran yang disalurkan secara bertahap setiap tahunnya.
Pada awal penjajakan program ini di tahun 2006, melalui pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau, dialokasikan dana sebesar Rp13 miliar yang diperuntukan untuk pembelian bibit sapi yang kemudian dikembangkan di wilayah ini.
Selanjutnya di tahun 2007, kembali dianggarkan dengan nilai yang lebih rendah, yakni sekitar Rp11 miliar. "Alokasi anggaran di tahun 2007 menurun dibandingkan tahun sebelumnya (2006) karena terjadi kematian pada kebanyakn hewan ternak yang didatangkan sebelumnya (ditahun 2006)," kata Kepala Dinas Peternakan Riau, Askardya R Patrianov, di Pekanbaru, beberapa waktu lalu.
Kemudian di tahun 2008, diakui Patrianov, anggaran untuk pengembangan peternakan sapi K2I kembali meningkat dengan asupan anggaran daerah sebesar Rp13 miliar dan seterusnya hingga memasuki tahun 2012 ini.
Sejak tahun 2006 hingga saat ini, program sapi K2I sudah memberikan dampak positif sejauh mana terhadap upaya pemerintah daerah dalam melepaskan ketergantungan sapi luar daerah ?
"Memang, sejauh ini kebutuhan daging sapi di Riau sebesar 70 persenya masih mengalami ketergantungan dengan sapi luar daerah seperti Lampung dan Sumatra Barat. Hanya sekitar 30 persen saja yang dapat ditutupi dengan sapi-sapi dari Riau," kata Patrianov.
Mengenai dampak positifnya, dia mengakui sejauh ini untuk melepaskan ketergantungan kebutuhan sapi luar daerah belum begitu optimal.
Apakah tidak ada pengurangan persentase dari tingkat ketergantungan sapi luar daerah sejak program sapi K2I digulirkan ?
"Untuk pengurangan persentase tingkat ketergantungan sapi luar daerah memang tidak dapat dirasakan dalam waktu yang singkat. Karena program sapi K2I merupakan program jangka panjang yang berkelanjutan," katanya.
Jika dirunut dari populasinya dengan melirik kategori umur sapi pada umumnya, seharusnya dalam waktu per dua tahun setidaknya telah langsung memberikan dampak terhadap kebutuhan sapi di Riau.
Lantas sepanjang lebih dari enam tahun ini, untuk program yang sama apakah tidak ada "secuil" pun memberikan dampak terhadap masyarakat ?
Patrianov hanya menjawab setakat ini program sapi K2I hanya mampu sebatas memberikan manfaat sosial terhadap sejumlah kalangan masyarakat di sana.
Seperti apa bentuk manfaat sosial yang dimaksud, Kepala Dinas Peternakan ini tidak mampu menjelaskannya secara rinci untuk mudah dimengerti.
Alhasil, puluhan miliar rupiah terkuras, namun program K2I yang masih saja dipertahankan sejauh ini belum memberikan dampak positif yang jelas terhadap masyarakat.
Seiring pertambahan jumlah penduduk Provinsi Riau yang kian pesat, bahkan mencapai empat persen per tahun atau melebihi tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk nasional, kebutuhan daging sapi pun turut kian meninggi.
Untuk Siapa
Lantas, program sapi K2I ini untuk siapa ? Karena bicara soal konsumen tetap daging sapi, berdasarkan hasil survei lembaga peternakan yang turut diakui Patrianov, mereka adalah masyarakat kalangan menengah keatas.
Ketika harga daging di Pekanbaru, Riau, melambung yang merupakan imbas dari tersendatnya distribui sapi dari luar daerah, aparat pemerintah di daerah ini bahkan justru jenderung "cuek".
Semisal yang terjadi dipekan kedua pada November 2012, dimana harga daging sapi segar di beberapa wilayah Riau mengalami kenaikan begitu signifikan, dari kisaran Rp60 ribu hingga Rp70 ribu per kilogram, melesap jadi sekitar Rp100 ribu per kilonya.
Namun pemerintah di daerah ini malah tidak ingin direpotkan dengan peristiwa itu. Menurut Kepala Dinas Peternakan (Disnak) Riau, Patrianov, kenaikan harga daging sapi merupakan hal yang wajar dan selalu terjadi setiap tahunnya.
"Masih dianggap wajar, karena kenaikannya juga belum begitu signifikan atau belum lebih dari 50 persen dari harga normal," katanya.
Patrianov juga mengakui bahwa para penikmat atau konsumen tetap daging sapi rata-rata merupakan kalangan mampu atau dengan derajat ekonomi menengah keatas.
Jadi, demikian katanya, atas kenaikan harga daging ini, dirasa tidak akan memberatkan masyarakat secara umum.
"Ya, karena memang dari hasil evaluasi kami, konsumen tetap daging sapi itu memang rata-rata dari kalangan menengah keatas. Sementara untuk masyarakat kalangan menengah kebawah, mereka memang kesehariannya terbiasa makan tanpa daging sapi karena memang harganya yang mahal," katanya.
Agaknya aneh, karena induk dari program K2I sebenarnya adalah pengentasan kemiskinan, kebodohan dan pembangunan infrastruktur.
Jika dilihat dari fokus programnya, mungkinkan sapi K2I mengarah pada pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan para warga petani perkebunan di Riau ?. Patrianov tidak menapikannya.
Dinas Peternakan Riau menyebutkan, rekapitulasi untuk distribusi bibit ternak sapi kepada masyarakat di tahun 2012 telah disalurkan ke sejumlah wilayah kabupaten dan kota.
"Penyalurannya dilakukan secara bertahap dan langsung menyasar ke para kelompok tani dan masyarakat yang berada dan telah ditunjuk untuk kelanjutan program pengembangan peternakan sapi," katanya.
Dijelaskan bahwa untuk Kota Pekanbaru pada tahun 2012 rencananya bakal mendapat distribusi sebanyak 211 sapi untuk 79 kepala keluarga.
Kemudian Kabupaten Kampar mendapatkan alokasi sapi sebanyak 240 ekor yang menyasar pada 151 keluarga petani perkebunan kelapa sawit.
Begitu juga Kabupaten Pelalawan (150 ekor/107 keluarga), Rokan Hilir (210 ekor/105 keluarga), Dumai (84 ekor/68 keluarga), Kuantan Singingi (75 ekor/56 keluarga), Rokan Hulu (195 ekor/140 keluarga), Indragiri HIlir (110 ekor/67 keluarga), dan Siak sebanyak 210 ekor sapi yang dialokasikan ke 159 keluarga.
Selanjutnya untuk Kabupaten Bengkalis (90 ekor/66 keluarga), Kepulauan Meranti (42 ekor/30 keluarga), serta Kabupaten Indragiri Hulu yakni sebanyak 180 ekor sapi untuk 143 keluarga petani perkebunan.
Pertanyaannya adalah, apakah kelompok atau kalangan petani perkebunan kelapa sawit termasuk golongan masyarakat kurang mampu ?
Hasil survei membuktikan, bahwa kalangan petani perkebunan kelapa sawit yang dominan saat ini berada di Riau merupakan kalangan petani yang paling makmur.
Pengakuan sejumlah petani perkebunan di daerah ini, pemasukan bersih minimum meraka per bulannya dengan kepemilikan lahan seluas dua hektare saja, bisa mencapai lebih Rp5 juta.
Itu berarti, penghasilan petani perkebunan kelapa sawit dengan kepemilihan lahan minimum saja, telah melampaui dua kali lipat Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau 2013 yang baru saja ditetapkan yakni sebesar Rp1,4 juta.
Sapi KEI
Belum lagi terjawabkan pertanyaan terkait arah tujuan jelas atas program sapi K2I, para aparatur pemerintah daerah ini justru kini tengah beranjak ke program pengembangan peternakan sapi lainnya. Kali ini diintegrasikan dengan program Koridor Ekonomi Indonesia (KEI).
Katanya, target program tersebut dikemas dalam pengembangan kawasan peternakan melalui optimalisasi potensi sumber daya lokal. Ujung-unjungnya, potensi agroekosistem sebagai sumber pakan ternak lestari tersebut dianggap berpotensi untuk mampu menjembatani peluang pembentukan plasa ternak di Sumatera.
Kepala Dinas Peternakan Riau, Askardiya R Patrianov mengatakan hal ini usai mempresentsikan program kerja dinas melalui konsep pengembangan kawasan peternakan melalui optimalisasi potensi sumber daya lokal.
"Program ini sangat menjanjikan. Apalagi potensi agroekosistem kelapa sawit di Provinsi Riau, sangat besar, sebagai sumber pakan ternak lestari. Ditambah lagi potensi jenis pakan sagu di Kepulauan Meranti sangat besar," katanya.
Patrianov mengatakan, bahwa lebih dari 60 persen luas kebun kelapa sawit nasional berada di Sumatera. Inilah dasar pengembangan KEI melalui sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional. Sementara, potensi pakan lain, seperti sagu menjadi komoditas lokal yang akan dikembangkan pada tahun 2013 mendatang.
"Jika ini tercapai, maka integrasi tanaman-ternak akan membangun keseimbangan pertumbuhan dan pemerataan diversifikasi pendapatan masyarakat," katanya.
Apalagi Riau, kata Patrianov, memiliki potensi luas kebun kelapa sawit mencapai 2,3 juta hektar pada tahun 2010. Jumlah ini memiliki peluang pengembangan sentra ternak di Riau yang mencapai 1.545.719 ekor. Daya dukung potensi lahan untuk sentra ternak ini tersebar di 12 kabupaten dan kota di Provinsi Riau.
Dia pun menyakini, setelah pencapaian potensi agroekosistem sebagai sumber pakan ternak lestari dan didukung sistem integrasi ternak di kawasan budidaya tanaman, maka peluang Provinsi Riau akan mengendakan pembangunan plasa ternak di Sumatera akan semakin besar.
Sejauh ini, demikian Patrianov, secara teknis pencanangan plasa ternak dibangun dengan target sebagai pasar ternak. Misalkan, Riau akan menampung jumlah ternak yang datang dari Jakarta menuju Medan.
"Nantinya, transit inilah yang akan dimanfaatkan. Apalagi, pola ini membantu mobilisasi perjalanan yang jauh, sehingga kesehatan ternak dapat terjamin," katanya.
Sementara keuntungan yang didapat Pemerintah Riau, lanjut dia, bahwa konsep ini memberikan nilai tambah, jika daerah berhasil meningkatkan produksi lokal dan menjualnya di plasa tersebut.
"Jika efisiensi dan produktivitas integrasi ternak dan budidaya tanaman ini tercapai, maka ini akan menjadi nilai tambah ketika ternak Riau tersebut ikut andil di plasa tersebut," katanya.
Agaknya, rakyat di provinsi ini masih membutuhkan jawaban terkait pertanyaan ; program sapi K2I untuk siapa ? Namun belum lagi terjawab, kembali muncul pertanyaan lainnya ; program sapi KEI pun untuk siapa ?
***3*** (T.KR-FZR)