Amerika Serikat tutup program pengawasan penumpang udara Quiet Skies

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,AS

Amerika Serikat tutup program pengawasan penumpang udara Quiet Skies

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (ANTARA/Anadolu/py/am.)

New York City (ANTARA) - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menutup program kontroversial yang menggunakan marsekal udara AS yang menyamar dalam penerbangan untuk mengawasi penumpang, serta mencopot seorang pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas penempatan Direktur Intelijen Nasional Tulsi Gabbard dalam program tersebut.

Ketika mengumumkan penutupan program itu pada Kamis (5/6), Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kristi Noem mendesak dilakukannya penyelidikan atas program tersebut.

Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security/DHS) AS mengatakan bahwa program ini membebani para pembayar pajak sebesar 200 juta dolar AS (1 dolar AS setara dengan Rp16.305) per tahun dan "gagal menghentikan satu pun serangan teroris."

Dalam sebuah rapat baru-baru ini, para pejabat pemerintahan Trump mengonfrontasi kepemimpinan Administrasi Keamanan Transportasi AS atas apa yang mereka katakan sebagai penggunaan program Quiet Skies yang bermotif politik di bawah pemerintahan Biden, sebut laporan The Wall Street Journal pada Jumat (6/6) tentang penutupan program itu.

"Pertentangan soal Quiet Skies, sebuah program yang telah lama menjadi perhatian para pendukung kebebasan sipil, merupakan contoh terbaru dari pemerintahan Trump yang menuduh para pejabat karier menggunakan politik sebagai senjata," tulis laporan The Wall Street Journal.

Program Quiet Skies diluncurkan pada 2010, dan keberadaannya pertama kali diungkap oleh Boston Globe pada 2018.

Dalam program ini, marsekal udara AS yang menyamar melakukan perjalanan dalam penerbangan dengan individu-individu yang dipantau oleh program tersebut.

Baca juga: Gedung putih merilis potret resmi baru Presiden AS Donald Trump

Baca juga: Donald Trump minta pembangunan 10 reaktor nuklir baru, target 2030