"Biru lautan tak seindah sikapmu. Keras ombaknya, lambang arogansimu. Otot dan otakmu tak lagi berimbang. Tak tau mana lawan dan mana kawanmu.
Kau perisai bagi rakyatmu, kau juga duri dalam dagingku. Mana janji tulus setiamu. Karna besi, kau lawan bangsamu," demikian puisi tak berjudul yang dibacakan Azwar, seorang pewarta foto "Haluan Riau" dalam ungkapan orasi "bernada" seni, Jumat sore.
Puisi tersebut mengandung makna tentang kekerasan oknum TNI AU terhadap sejumlah wartawan yang mendapatkan tindak penganiayaan saat meliput jatuhnya pesawat Superhawk 200 di Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, beberapa waktu lalu.
Bernada semilu, insan pers secara bergantian membacakan bait demi bait puisi tentang kebebasan pers yang terkekang, "terperangkap dalam sangkar burung, bukan emas namun kagalauan."
Apakah ini sebuah peringatan ? "Jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato. Kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi, dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, maka kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan...!, demikian puisi Wiji Tukul (1986) yang dibacakan oleh Yusril Ardanis.
Yusril merupakan seorang pewarta media televisi nasional sekaligus pimpinan organisasi yang dinamai Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) untuk wilayah Riau.
Desas-desus, syutttt... siapa yang tahu, "mana ku tahu...". Nyanyian burung camar tak lagi terdengar merdu, melainkan sembilu yang terasa begitu pedih, ternyata desas-desus itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
"Diam....", seorang pewarta senior Tribun Pekanbaru, Syarif Dayan, mengungkap tabir dalam sebuah puisi tentang "Wahai Wakil Rakyat".
Katanya, "sakit itu masih menderaku, akibat siksa oknum TNI AU, tapi mengapa engkau membisu, hanya keadilan yang ku inginkan, agar hukum bisa ditegakkan".
Wahai (pemerintah), kemanakah engkau saat kami berkeluh kesah. Kenapa engkau hanya diam tanpa desah. Membiarkan kami tanpa ada arah.
Apakah kami memang tak ada arti ? Sehingga engkau tak perlu perduli ?, Syarif Dayang menyudahi bait buisinya tanpa jawaban, toh bukan dia' yang berhak menjawabnya.
Apakah wakil rakyat ? Rido M Hastil seorang pewarta Pekaanbaru Pos menyatakan dalam puisinya bahwa "itu hanya sebutan mu".
Berdasi, berjas, dan berpenampilan rapi.. itu gayamu. Pintar bicara kebiasaanmu... Engkau adalah harapan kami... harapan masyarakat kecil. Harapan seluruh rakyat indonesia !
Namun engkau "busuk"... namun engkau penipu... namun engkau seperti bunglon... kalian membuat kami malu...
Dengan polosnya kalian janji mendukung kami. Jangan berbohong... Jangan hanya bersandiwara agar kalian terangkat seakan penyelamat...
Memalukan...! penuh kebohongan, penuh korupsi itu kalian (para koruptor)... Jangan pernah melihat kami, agar nyawa selamat.
Kalian busuk... kami jijik pada kalian... silahkan bersenang.. silahkan wakil rakyat...! Makan uang kami tanpa malu.
Ingat hukum alam... karma akan menunggu kalian.
Muka Umum
Puisi-puisi kesedihan pers itu di bacakan dengan nada senduh, bersyair pilu, tepat di muka umum, pada lokasi keramaian kota.
"Tugu Selais" menjadi saksinya, dimana puluhan wartawan untuk kesekian kalinya menggekar aksi unjuk rasa menentang tindak kekerasan terhadap pers.
Para awak media "menyanyi" kesedihan, "kasus kekerasan terhadap pers yang terjadi saat peliputan jatuhnya pesawat Superhawk 200 lalu seakan di peti-es-kan," kata Syahnan Rangkuti.
Syahnan merupakan pewarta senior "Kompas" yang bertugas di Riau. Dia juga menjabat sebagai Ketua Organiasi Solidaritas Wartawan Untuk Transparansi (Sowat).
Tabir tindak kekerasan oknum TNI AU terhadap wartawan bagikan "api dalam sekam" di kalangan pers. Namun bagai "benang yang kusut" bagi pengusutan kasusnya di kalangan elit.
"Aksi ini merupakan aksi lanjutan setelah tidak ada kejelasan atas kasus ini, kami tidak tahu lagi mengadu ke mana," kata Syahnan Rangkuti selaku koordinator aksi.
Syahnan mengatakan, sejauh ini atas kasus kekerasan terhadap wartawan, Polisi Militer (POM) TNI Angkatan Udara (AU) juga melakukan hal-hal tertutup.
Selain itu, demikian Syahnan, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau sampai hari ini juga tidak mampu menghadirkan oknum pemukul wartawan yakni Letkol Robert dan anak buahnya.
"Untuk itu, kami menggelar aksi solidaritas ini agar pengusutan dapat dilakukan secara terbuka. Jangan ada yang ditutup-tutupi," katanya.
Aksi unjuk rasa oleh puluhan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik yang bertugas di Pekaanbaru, Riau, adalah untuk mengecam tindak kekerasan oknum TNI Angkatan Udara terhadap pers.
Aksi solidaritas tersebut dilaksanakan pada Jumat sore dengan berjalan kaki dari Kantor Perum LKBN ANTARA Biro Riau yang berlokasi di Jalan Sumatra menuju bundaran Tugu Selais yang berlokasi di Jalan Sudirman, Pekanbaru.
Dalam aksi lanjutan tersebut (setelah sebelumnya sempat dilakukan aksi sama juga mengecam tindak kekerasan terhadap pers), selain pembacaan puisi, puluhan wartawan juga membawa poster kecaman tindak kekerasan terhadap insan pers. ***1*** (T.KR-FZR)