TKI Riau ketakutan "Hantu" deportasi

id tki riau, ketakutan hantu deportasi

Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Puluhan ribu TKI di Malaysia, termasuk Muhammad Habibi, (23), kini hidupnya tertekan oleh ketakutan akan 'hantu' deportasi.

"Kami memang berangkat ke Malaysia tidak melalui jalur resmi, dan banyak yang seperti saya dari Riau, juga dari daerah lain, kini ketakutan oleh deportasi itu," katanya melalui hubungan telefon selular dengan ANTARA, di Pekanbaru, Rabu.

Habibie mengaku saat ini masih bekerja sebagai penjaga toko mainan di Kuala Lumpur, Malaysia, dan hampir tiap saat dia dkk sering mendapat tekanan oleh berbagai pihak dengan ancaman dideportasi.

"Kami semua pasrah sekarang atas ancaman deportasi atas diri kami yang memang berangkat ke negeri jiran ini secara ilegal," akunya.

Habibi yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara, hasil buah perkawinan pasangan suami isteri, Imran-Neni, tepatnya merupakan warga Dusun Paret Mali, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Kepada ANTARA di Pekanbaru, ia juga mengakui 'gembar-gembor' pemulangan TKI bermasalah secara paksa seperti dirinya telah terngiang hingga berbagai pelosok wilayah Malaysia.

"Semua kami di sini merasa takut, karena kabarnya pihak imigrasi Malaysia juga telah melakukan razia secara rutin hingga ke pelosok-pelosok perkampungan di Malaysia, mencari TKI ilegal atau pendatang gelap," tutur Habibi.

Saat ini, menurutnya, para TKI dengan ragam masalah, seperti masa berlaku paspor telah habis, penyalahgunaan dokumen, bahkan hingga ada yang sama sekali tidak memiliki paspor, telah membentuk kelompok-kelompok di setiap daratan Malaysia.

Kelompok dimaksud, untuk memungkinkan adanya kerjasama guna menghindari razia.

"Harapan kami, dengan cara ini kami terbebas dari masalah dan dapat dipulangkan tanpa harus dihukum terlebih dahulu," ungkap Habibi yang mengaku menetap di Kuala Lumpur, Malaysia, sejak tahun 2009 silam.

Selain Habibi, keresahan juga dialami Mami, (42), salah seorang TKI lainnya yang mengaku berasal dari Sumatra Utara.

Lain halnya dengan Habibi, ibu yang tega meninggalkan dua anaknya demi peningkatan status ekonomi keluarganya ini hanya bekerja sebagai tukang kebun di Malaka.

"Saya khawatir tidak bisa pulang dengan baik-baik, karena pihak imigrasi di sini (Malaysia) sudah mulai memeriksa tempat-tempat kerja TKI," katanya.

"Kucing-kucingan"

Akibat kondisi meresahkan itu, Mami mengaku kerap main 'kucing-kucingan' dengan para petugas imigrasi setempat yang turun memeriksa kompleks perkebunan tempat ia bekerja sebagai buruh harian dengan gaji sekitar Rp2 juta setiap bulannya.

"Kami tidak tahu harus 'ngapain. Kalau diminta memilih, kami lebih memilih pulang ke Indonesia. Lebih tenang kayaknya di sana. Lebih aman juga," ujar Mami sebelum mengakhiri perbincangan singkat via selular itu.

Sementara itu, Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Riau, Johny G Worotikan, di Pekanbaru, mengatakan, sejauh ini pihaknya belum mendapat kabar jelas terkait rencana deportasi atau pemulangan secara paksa para TKI bermasalah di Malaysia.

"Yang jelas, para WNI bermasalah itu atau yang disebut-sebut sebagai TKI ilegal, saat ini masih terus didata oleh Pemerintah Malaysia," katanya.

Pendataan tersebut, menurutnya, disebut pemutihan, yakni berlaku bagi para pekerja WNI yang tidak memiliki dokumen resmi sebagai KI.

"Juga bagi mereka yang menyalahfungsikan paspor melancong untuk bekerja, termasuk mereka yang melalui jalur singkat dan birokrasi menyalahi, diminta untuk mendaftarkan diri untuk dipulangkan," tandasnya.

Jika dalam waktu yang telah ditentukan habis, demikian Johny, barulah Pemerintah Malaysia menggelar razia besar-besaran.

"Dan nantinya mereka (Malaysia) akan memberi sanksi bagi TKI ilegal yang tertangkap atau tidak mendaftarkan diri dalam rencana pemutihan itu," kata Johny Worotikan.