Pekanbaru (ANTARA) - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKPS) diminta turun tangan untuk mengusut sengkarut program peremajaan sawit rakyat di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau yang diduga dimonopoli sebuah perusahaan.
Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau Dr Amrul Khoiri di Pekanbaru, Sabtu, mengaku telah mendata program peremajaan sawit rakyat (PSR) di Riau. Sebagai peneliti, dia menuturkan pengerjaan PSR mayoritas ditangani oleh sebuah perusahaan yang sama.
Kondisi serupa juga terjadi di sejumlah provinsi lainnya, termasuk Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Dia menilai bahwa hal itu sama dengan upaya monopoli. Padahal, kata dia, perusahaan yang menangani PSR haruslah menguasai seluruh bidang ilmu pertanian serta memiliki peralatan yang lengkap, termasuk alat berat.
"Saya sudah mendata PSR yang ada di Riau ini sejak tahun lalu. Ini tugas saya sebagai peneliti. Hasilnya, PSR di Riau ternyata dikerjakan oleh perusahaan rekanan yang itu ke itu saja, hal yang sama juga terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan beberapa provinsi lain,” katanya.
"Apa iya dia sanggup mengerjakan sekaligus? Kualitas pekerjaannya seperti apa? Sebab ini menyangkut ketersediaan tenaga ahli terkait agronomis, hama dan tanah. Perusahaan rekanan PSR hal ini ada juga kaitannya dengan Sertifikasi ISPO," ujar pria berkacamata itu.
Untuk itu, dia akan meminta kepada BPDPKS segera menurunkan tim dan melakukan pengusutan terkait hal tersebut. Amrul juga mengingatkan jika jauh hari Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti supaya PSR benar-benar dijalankan dengan baik, lantaran proyek ini adalah kepentingan petani.
Lebih jauh, Amrul juga menegaskan bahwa pengadaan bibit melewati mekanisme yang sangat ketat. Hal itu tertuang dalam regulasi PSR nasional. Semua harus berasal dari Produsen resmi yang sudah di SK kan oleh Kementan dan ditunjuk produsen serta disertifikasi oleh Balai Benih setempat. "Biar bibit benar-benar terjamin F1 Tennera dan harganya tidak dimain-mainkan," tutur Amrul.
Petani yang ada di Sei Pakning itu, kata Amrul, adalah petani swadaya murni pertama di Riau yang mendapat PSR. "Jadi harus kita kawal supaya bisa menjadi penyemangat bagi petani swadaya lain,” katanya.
Amrul mengatakan hal itu menanggapi keluhan pimpinan Bank Riau Kepri cabang pembantu Sungai Pakning, Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Kepala cabang pembantu (Capem) Bank Riau Kepri (BRK) Sei Pakning Badraini mengaku mendapat ancaman oknum perusahaan rekanan sejumlah petani yang sedang menjalani program PSR.
"Tidak hanya diancam, saya malah diberitakan di sejumlah media online dengan bahasa macam-macam. Bahkan untuk menakut-nakuti, oknum itu bilang kalau dia timnya Jokowi lah, orang dekatnya Jenderal (Purn) Moeldoko lah. Padahal kami murni menjalankan aturan Bank. Sebab kalau sempat ada yang salah, kami yang akan bermasalah dengan hukum," keluh Badraini.
Pada 17 April 2020 lalu, kata Badraini, dana PSR dicairkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ke BRK Capem Sei Pakning. Kebetulan, untuk PSR di Riau, bank milik Pemerintah Provinsi Riau ini ditunjuk oleh BPDPKS sebagai salah satu bank penyalur.
Dana cair, BRK kemudian mengumpulkan para ketua kelompok tani swadaya mandiri peserta PSR itu untuk rapat. Ini memang murni Petani swadaya, jadi administrasinya harus diawal supaya tidak ada yang salah, beda dengan Petani Plasma yang tentunya ada Perusahaan Inti yang membina.
Badraini pun mengusulkan agar program dilanjutkan usai Idul Fitri 2020 mengingat situasi tidak menentu akibat Corona. Untuk mengisi kekosongan, dia pun menyarankan agar melakukan studi banding ke Kabupaten Rokan Hilir yang terlebih dahulu melaksanakan PSR.
"Termasuk juga kita belajar ke BRK yang sudah jalan PSR-nya, biar nambah ilmu kita. Soal biaya ke sana, biar BRK yang menanggung," kata Badraini menyodorkan usul dan para ketua kelompok tani setuju saat itu.
Sepekan kemudian, keanehan muncul, kelompok tani datang menyodorkan pencairan down payment sebesar 50 persen untuk belanja bibit siap tanam. "Di sinilah kami baru tahu kalau kelompok tani diam-diam sudah menjalin kerjasama dengan oknum perusahaan tertentu. Alasan permintaan dana 50 persen tadi untuk membeli bibit. Padahal saat kami cek ke lapangan, pekerjaan sama sekali belum mulai. Batang kelapa sawit yang mau direplanting pun masih tegak meskipun tidak banyak lagi karena sudah banyak mati karena tua atau rusak," cerita Badraini.
Uniknya lagi, pembelian bibit di-sub-kan ke perusahaan lain yang masih satu grup dengan oknum perusahaan rekanan. "Duit diminta ditransfer ke perusahaan rekanan, bukan ke perusahaan penyedia bibit. Setelah kami cek lagi, ternyata harga bibit dalam MoU antara kelompok tani dan perusahaan rekanan Rp49 ribu. Sementara harga normal hanya Rp38 ribu. Bibit yang akan dibayar sebanyak 32 ribu batang," ujar Badraini.
Melihat banyak kejanggalan itu, BRK kata Badraini menunda untuk pembayaran. “Ini untuk kebaikan semua pihak, khususnya kelompok-kelompok tani. Tapi gara-gara penundaan itu pulalah oknum perusahaan rekanan tadi marah-marah dan kemudian saya diintimidasi," katanya.
Di BRK Capem Sei Pakningada 11 kelompok tani swadaya penerima dana PSR. Total luas lahan kelompok tani ini mencapai 324 hektare.
Di sisi lain, anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo yang membidangi hukum, Dr Nurul Huda mengingatkan supaya BRK Capem Sei Pakning tidak main-main soal program PSR.
Di Apkasindo, kata Nurul, ada delapan orang yang sudah bersertifikat auditor ISPO. Jika ada temuan pidana, tentu sebagai Dewan Pakar Bidang Hukum dan Advokasi dia akan merekomendasikan kepada Ketua Umum DPP Apkasindo segera membentuk tim investigasi untuk melihat dan menghitung potensi kerugian materil yang akan dan sudah terjadi di wilayah BRK Capem Sei Pakning itu.
Usut sengkarut program Peremajaan Sawit Rakyat di Bengkalis
Gara-gara penundaan itu pulalah oknum perusahaan rekanan tadi marah-marah dan kemudian saya diintimidasi,"