Siak, Riau (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) terlibat perdebatan panas dengan saksi ahli pada kasus terdakwa Direktur PT Duta Swakarya Indah, Suratno Konadi dan Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak TetenEffendi, dalam sidang perkara dugaan pemalsuan Surat Keputusan Menteri Kehutanan di Pengadilan Negeri (PN) Siak.
JPU, Syafril di Siak, Kamis berdebat dengan saksi ahli hukum pidana ternama di Indonesia yakni Prof. Dr. Mudzakir dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut Syafril mendebat keterangan saksi ahli yang terlalu membahas hukum administrasi negara, padahal dia ahli hukum pidana.
"Saksi ahli dihadirkan sebagai ahli hukum pidana, tapi mengapa menerangkan hal-hal terkait hukum administrasi negara," ujarnya dalam persidangan.
Sebelumnya JPU juga berdebat dengan Penasehat Hukum terdakwa karena terdengar baginya menertawakan ketika sedang bertanya kepada saksi ahli lainnya Feri Amsari.Tertawa yang terkesan mengejek pertanyaan JPU itu langsung diprotes oleh ketua tim JPU Syafril.
Ia mengatakan keberatan hakim tidak bertindak tegas kepada PH tersebut. Ia mengingatkan agar masing-masing pihak saling menghormati persidangan tersebut. Karena protes Syafril dengan suara lantang sehingga ditegur oleh hakim dengan mengetukkan palu beberapa kali.
"Saya minta majlis hakim tolong adil dalam persidangan ini. Kok kerasnya ke saya saja, harusnya mereka ditegur juga, tegas juga sama mereka," kata Syafril.
Di luar persidangan Syafril meluruskan persoalan itu. Ia menyebut hakim lebih sering tegas kepada pihaknya dan penonton, sedangkan ke PH terdakwa tidak terlihat ada teguran.
"Kalau penonton ketawa hakim langsung temperamen mengusirnya, tapi kalau PH terdakwa yang ketawa hakim hanya begini," ujar Syafril sambil meletakkan telunjuk di ujung bibir sebagai isyarat mendiamkan.
Terkait keterangan saksi ahli Prof. Mudzakir JPU menilai yang bersangkutan tidak mengindahkan hukum positif.Ahli ini, kata dia, tidak memandang yurisprudensi bahwa tendensi kerugian saja sudah dapat dipidana.
"Sedang ahli mengatakan kerugian itu harus nyata. Padahal tendensikerugian saja dapat diproses, yuriprudensinya pasal 263 soal pemalsuan. Saksi ahli berpendapat hukum progresif atau kekinian tapi kita terikat hukum positif," ujarnya.
Dalam keterangannya, Prof. Mudzakir
Muzakir, soal SK Menhut tahun 1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan PT DSI menurutnya tidak palsu. Meskipun ada klausul harus diurus selama satu tahun, akan tetapi diurus PT DSI pada tahun 2000 sehingga dinilai tak berlaku lagi
"Syarat palsu ada dua, karena memang tidak ada atau ada diubah bagian tertentu menjadi palsu baik format atau konten. Surat itu (SK Menhut) asli, tidak memenuhi unsur palsu secara formil dan materil," ujar Mudzakir.
Terkait dengan batal dengan sendirinya kata dia hukum administrasinya harus dilanjutkan dengan produk hukum selevel yang sama. Artinya harus dicabut dan kalau belum dan masih terdaftar dalam dokumen itu artinya masih ada.
"Habis masa berlaku dan palsu berbeda, harus dicabut resmi, kalau belum berarti masih 'on'. Walaupun ada klausul berhenti dengan sendirinya, semua terkait administrasi. Kalau digunakan, tidak bisa dikatakan menggunakan surat palsu karena tidak ada kepalsuan di dalamnya ataupun kepalsuan intelektualitas juga tak ada, karena memang tidak palsu," tambahnya.
Jika pun ada, lanjut dia putusan pengadilan surat itu berakhir dengan sendirinya, yang kompeten adalah lembaga pembuat yang bersangkutan. Jika lembaga itu masih mengakui berarti masih hidup dan kalau sudah mati harus diikuti dengan surat pembatalan.
Sidang tersebut dibuka oleh majlis hakim Roza El Afrina didampingi hakim anggota Fajar Riscawati dan Selo Tantular. JPU dipimpin Syafril dan PH terdakwa dipimpin Yusril Sabri cs.