Pekanbaru (Antarariau.com) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetujui pembangunan jalan di Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Provinsi Riau untuk membuka daerah terisolir itu, namun syarat utamanya setiap desa membentuk polisi adat supaya infrastruktur itu tidak disalahgunakan untuk merusak hutan.
"Sebelum sepakat ada jalan, kita sudah sepakat dengan masyarakat sana bahwa masyarakat yang akan jaga. Nanti adat yang bekerja. Kita sudah sepakat, ada 12 desa sudah tanda tangan dengan saya bahwa masing-masing desa kita ingin ada polisi adat," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau, Suharyono, disela diskusi tentang pengelolaan Suaka Margasatwa (SM) Rimbang Baling Berbasis Masyarakat, di Pekanbaru, Selasa.
Ia menjelaskan jalan itu akan membuka akses infrastruktur darat di 12 desa yang ada di KSM Rimbang Baling di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau. Jalan itu akan dibuka dari Desa Tanjung Belit hingga Pangkalan Serai yang merupakan desa paling ujung di hulu yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat.
Hal ini merupakan pertama kalinya institusi di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyetujui pembangunan jalan di kawasan suaka marga satwa. Sebabnya, dalam Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Dalam pasal 17 peraturan itu disebutkan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Pada pasal 19 juga tertulis bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
"Secara undang-undang memungkinkan. Kenapa tidak (boleh), karena masyarakat yang akan menjaga. Untuk masyarakat itu memungkinkan," kata Suharyono ketika ditanya tentang aturan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa jalan yang dibangun bukan berupa jalan raya, melainkan jalan wisata. Lebarnya hanya satu meter dan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
"Lebar satu meter, tak ada beton dan tidak ada aspal. Mungkin berupa paving (blok) jadi aliran air tak terganggu," ujarnya.
Selain itu, jalan tersebut juga bisa menjadi jalur evakuasi apabila terjadi bencana dan membantu warga yang sakit untuk mendapat perawatan yang lebih baik di kota. Selama ini, warga lebih banyak mengandalkan Sungai Subayang yang membelah kawasan itu dan sulit dilalui ketika musim kemarau dan musim hujan.
KSM Bukit Rimbang dan Bukit Baling, atau Rimbang Baling, memiliki luas 136 ribu hektare berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1982, dan pada KLHK telah menetapkan kawasan itu sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dengan luas 142,156 hektare pada 2016.
Topografi hutan yang berbukit dan sungai yang mengalir jernih selama ini menjadi habitat alami bagi flora dan fauna terancam punah, salah satunya adalah harimau sumatera.
Selain itu, di kawasan ini sudah sejak lama menjadi tempat tinggal bagi warga di 12 desa, yang secara adat masuk dalam Kekhalifahan atau Kerajaan Gunung Sahilan. Hingga kini masih ada Raja Gunung Sahilan yang diakui, yakni Tengku Muhammad Nizar, yang baru dinobatkan pada 2017.
"Kerajaan Gunung Sahilan sudah ada sejak tahun 1700, jauh sebelum ada Republik Indonesia," katanya.
Ia mengatakan masyarakat sejak dahulu menggunakan sungai dan hutan untuk bertahan hidup, sehingga kelestariannya bisa terus dijaga. Hutan dimanfaatkan besar-besaran diambil kayu lognya untuk kepentingan perusahaan. Nenek moyang kita dulu memandang kayu bukan sumber kekayaan. Kayu untuk rumah dan pondok, dan tak ada kayu-kayu besar ditebang, kata Tengku Muhammad Nizar.
Tokoh adat setempat, Datuk Alamrai, mendukung dibentuknya polisi adat sebagai syarat utama agar bisa dibangun jalan di SM Rimbang Baling. Sesuai kesepakatan bersama, panjang jalan tersebut akan mencapai sekitar 30 kilometer dengan lebar berkisar satu hingga 1,5 meter.
"Ya kita semua harus sama-sama jaga. Jangan dengan adanya jalan nanti, hutan jadi rusak," ujarnya.
Masyarakat setempat sudah sejak lama mendambakan jalan di kawasan itu, karena selama ini hanya bergantung pada transportasi sungai menggunakan perahu yang ongkosnya bisa 10 kali lipat dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Pembangunan jalan itu nanti akan dibiayai oleh desa, sedangkan jembatan akan dibiayai oleh pemerintah kabupaten dan provinsi.
"Arahnya ke sana (polisi adat). Saya sangat setuju karena seperti halnya di Bali, itu lebih kuat polisi adat daripada polisi negara yang seperti cakalang. Di sana (Rimbang Baling) ada, namanya Hulubalang," kata Datuk Alamrai.
***1***
(T.F012)
Berita Lainnya
Komisi IV DPR RI setujui pagu anggaran KLHK tahun 2023 senilai Rp6,9 triliun
26 September 2022 15:33 WIB
KLHK setujui pembangunan jaringan listrik di empat kawasan konservasi, begini penjelasannya
20 November 2019 14:48 WIB
Pengerjaan fisik trase jalan longsor Lintas Riau-Sumbar capai 70 persen
07 December 2024 21:58 WIB
Jalan dan jaringan internet di Rimba Bolon Siak terabaikan selama 20 tahun
21 October 2024 22:11 WIB
Pembangunan Jalan Tol XIII Koto Kampar habiskan anggaran Rp4,8 triliun
31 May 2024 14:20 WIB
Menteri PUPR targetkan pembangunan Jalan Tol Palembang-Betung tuntas 2025
19 April 2024 10:49 WIB
KAI pindahkan penumpang dampak ambruk proyek pembangunan jalan layang Muara Enim
07 March 2024 16:04 WIB
Usulan Gubri diterima, BPJN dan BWS Wilayah Riau bantu pembangunan jalan
07 February 2024 16:12 WIB