Menuntut Keterlibatan OPD Riau dalam Mengantisipasi Stunting (Fisik Berbadan Pendek)

id menuntut keterlibatan, opd riau, dalam mengantisipasi, stunting fisik, berbadan pendek

Menuntut Keterlibatan OPD Riau dalam Mengantisipasi Stunting (Fisik Berbadan Pendek)

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Setelah 73 tahun merdeka, malnutrisi atau gizi buruk masih menjadi momok bagi perkembangan anak-anak Indonesia. Pemerintah telah menggaungkan tentang usia emas periode 1.000 hari pertama usia kelahiran anak merupakan masa paling vital dalam perkembangan otak.

Dalam lingkup mental dan kognitif malnutrisi terlihat 14 tahun berikutnya berupa penurunan tingkat kecerdasan serta fisik berbadan pendek (stunting). Ironisnya, di Provinsi Riau yang dikenal daerah kaya minyak itu masih banyak kasus malnutrisi, lalu apakah penyebabnya? Minimnya pengetahuan orang tua dalam memberikan asupan gizi yang baik bagi anak atau karena faktor ekonomi sehingga orang tua tidak berdaya membelikan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.

Di salah satu daerah di Riau yakni di Kabupaten Rohul, ditemukan orang tua yang mempercayakan anak balitanya diasuh oleh neneknya, karena sang ibu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan mulai pagi dan pulang sore hari.

Pemberian asupan gizi dipercayakan pada nenek yang ternyata justru memberikan balita mereka rutin memakan nasi dengan kerupuk. Dan banyak ibu-ibu lainnya di daerah ini yang memiliki pengetahuan yang minim tentang asupan gizi bagi anak mereka.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek meminta perempuan yang tergabung dalam Dharma Wanita, PKK atau organisasi perempuan lainnya mengetahui pemahaman kesehatan dan pendidikan anak. Apalagi kesehatan merupakan investasi bagi negara dan bangsa.

"Kenapa harus pengetahuan, ibu sehat meningkatkan investasi bangsa. Ibu sehat bisa menjadi tenaga kerja yang produktif dan menumbuhkan ekonomi bangsa. Bangsa yang cerdas dan kualitas," ujar Menkes Nila.

Menkes Nila pada suatu kesempatan kepada pers menjelaskan, angka status gizi anak masih tercatat 37,2 persen, namun Kemenkes sudah melakukan intervensi atau menurunkan angka tersebut. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan angka kekurangan gizi harus mencapai 20 persen.

Angka kekurangan gizi tinggi badan, katanya, tidak sesuai dengan umur dan kognitif kurang cerdas. Angka 37,2 persen dari 10 anak berarti 4 anak mendapat gangguan kognitif atau kecerdasan. Pemerintah perlu mengintervensi dan mendorong status gizi angka 27,5 persen. WHO menetapkan 20 persen dan Indonesia harus dibawah 20 persen," ucap Menkes Nila.

Ia menekankan, perempuan harus bisa meningkatkan pengetahuan tentang gizi untuk mencegah kekerdilan anak atau stunting. Caranya, anak harus diberikan makanan bergizi. Apalagi kasus kekerdilan anak masih saja ditemukan di beberapa daerah, selain berasal dari keluarga pedesaan, di kota pun masih terjadi kekurangan gizi.

"Ibu-ibu harus berpengetahuan tentang kesehatan, juga perilaku. Negara kita subur tidak kekurangan pangan tapi bagaimana cara mengolah makanan dan mengerti tentang gizi yang baik untuk anak-anak,"katanya.

Ratusan Balita Stunting

Hingga Periode Maret 2018, Dinas Kesehatan Provinsi Riau, menemukan sebanyak 810 balita asal 10 desa di Kabupaten Rokan Hulu, mengalami pertumbuhan "stunting" sehingga membutuhkan penanganan bersama lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

"Sebab ketika kasus terjadi dan diberikan ke Dinas Kesehatan itu sudah dihilirnya, sebelum terjadi seharusnya menjadi tanggungjawab bersama OPD seperti Dinas PUPR untuk membuat sanitasi, dan jamban, dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa terkait Posyandu dan Polindes serta lainnya," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Dra. Hj. Mimi Yuliani Nazir, Apt, MM.

Penanganan balita stunting, katany menekankan, bahwa seharusnya sudah menjadi kerja bersama OPD agar bisa diselesaikan secara terintegrasi, dan OPD lainnya yang perlu terlibat adalah Dinas Sosial terkait program keluarga harapannya, Dinas Ketahanan Pangan terkait pasokan pangan yang memadai bagi penduduk.

Sebelum kasus stunting terjadi, katanya, sebaiknya memang kita harus bersama-sama memperbaiki lingkungan itu, termasuk bagaimana mengawasi makanan, dan tentunya Balai BPOM juga ikut sehingga persoalan di hulunya bisa terselesaikan sejak awal untuk mencegah stunting itu di kemudian hari.

"Upaya tersebut dilakukan merujuk Riskesda tahun 2013 pemerintah menetapkan sebanyak 100 lokasi di kabupaten dan kota di Indonesia menjadi sasaran intervensi penurunan "stunting" dengan locus intervensi penurunan stunting untuk 10 desa itu," kata Mimi didampingi Drs. Dedi Parlaungan, Apt Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinkes Riau.

Mimi mengatakan, di lingkup Dinkes Riau, telah ditunjuk para Kepala Bidang sebagai penanggungjawab masing-masing desa itu,

bagaimana desa itu sudah melaksanakan intervensi spesifik yang diberikan, aktivitas Posyandu, pemberdayaan ibu hamil. Sedangkan pembentukan tim terpadu diminta Bappeda Riau melakukan intervensi karena sudah lintas OPD.

Selain itu, katanya, Dinas Kesehatan kini menggencarkan pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil serta mengadvokasi ibu yang memiliki balita untuk tetap memberikan ASI ekslusif selama dua tahun, mengkonsumsi air minum sehat untuk keluarganya, dan pemberian makanan tambahan bagi anak balitanya.

Sementara itu, sebanyak 810 balita stunting di Kabupaten Rokan Hulu di enam Puskesmas, dengan 10 desa yakni yakni di Puskesmas Rambah dengan dua desa yakni Desa Menaming, dan Desa Sukamaju. Berikutnya Puskesmas Rambah Samo, dengan desa Rambah Samo, Marga Mulia dan Rawa Makmur, selain itu di Puskesemas Bangun Purba dengan Desa Bangun Purba Barat.

Berikutnya adalah Puskesmas Kepenuhan di Desa Kepenuhan Hilir, dan Desa Ulak Patian, serta Puskesmas Tambusai, dengan Desa Tambusai Timur, Puskesmas Kepenuhan Hulu dengan Desa Kepayang.

"Sejumlah perusahaan di daerah ini juga diharapkan memberikan perhatian pada karyawati mereka yanag sedang menyusui dengan menyediakan pojok ASI dan bagi karyawati yang sedang hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kehamilannya secara rutin," katanya.

Tablet Tambah Darah

Dinas Kesehatan Provinsi Riau, kini terus menggiatkan pemberian tablet tambah darah pada remaja putri yang sudah baliq (12-18 tahun), agar kelak setelah menikah remaja putri di daerah itu tidak melahirkan anak "stunting".

"Tablet tambah darah itu diberikan satu butir per minggu guna menghindari mereka mengalami anemia penyebab HB menjadi rendah, sehingga berpotensi kelak saat mereka menikah dan hamil akan melahirkan anak dengan gizi buruk," kata Dedi Parlaungan.

Dinkes Riau mencatat bahwa sebagian besar banyak remaja putri di daerah itu megalami anemia atau darah rendah karena termotivasi untuk melangsingkan tubuh, sehingga cenderung melakukan diet "tanpa makan" untuk berpenampilan cantik. Gejala anemia ditandai antara lain remaja sering merasa pusing akibat kekurangan Fe. Anemia akan berdampak pada menurunnya kesehatan reproduksi, terhambatnya perkembangan motorik, mental dan kecerdasan, menurunnya kemampuan dan konsentrasi belajar.

Konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Anemia juga mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal sertam menurunkan tingkat kebugaran.

Menurut Dedi, pemberian tablet tambah darah itu bagian dari kepedulian Pemerintah Provinsi Riau sejak dini untuk mewaspadai gejala gizi buruk pada balita, apalagi "golden age" di mana periode 1000 hari pertama tersebut merupakan masa paling vital dalam perkembangan otak anak.

Selin itu, pentingnya, kadar konsumsi protein berpengaruh pada penambahan tinggi dan berat badan pada anak berusia di atas 6 bulan. Anak yang mendapat protein 15 persen dari total asupan kalori memiliki badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang hanya mendapat protein 7,5 persen dari total asupan kalori. Perbedaan tinggi badan ini berkisar antara 3-5 cm (Berdasarkan penelitian Bank Dunia di Vietnam, red).

Jadi faktor-faktor seperti tinggi badan dan poin IQ anak yang tadinya malnutrisi/gizi buruk, tidak akan bisa mengejar anak yang cukup nutrisi. Karena itu stunting disebut sebagai kondisi yang irreversibel (tidak bisa dikembalikan seperti semula) akibat malnutrisi.

Ia mengimbau remaja putri untuk melakukan diet yang baik untuk menjadi kurus, antara lain bisa dilakukan aktivitas (olahraga) fisik selama 30 menit dimulai dengan pemanasan, baru pendinginan, dan makan buah serta sayur, berikutnya sering melakukan cek kesehatan secara berkala.

Anak sebelum berangkat sekolah wajib sarapan pagi untuk menghindari anemia dan kosentrasi belajar tidak terganggu karena perut kosong sulit untuk berfikir dan mencerna pelajaran. Karena itu mereka juga harus dibiasakan dalam gerakan masyarakat (germas) hidup sehat dan bersih.

Pada berbagai kesempatan pun, Dinas Kesehatan Riau memberikan 1.000 tablet Fe untuk Remaja Putri dan diminum serentak di Area Car Free Day Jl. Diponegoro Pekanbaru, baru-baru ini dalam rangkaian acara peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) tahun 2018.

Akan tetapi, Mimi juga menyampaikan kendala selama ini yaitu kurangnya kesadaran masyarakat untuk mau meminum tablet tambah darah ini sehingga sosialisasi tentang Germas PHBS serta gizi terus digencarkan. ***4***