Tanjung Selor, (Antarariau.com) - Warga yang sudah sering bepergian lewat Bandara Tanjung Harapan, Tanjung Selor, Bulungan, sekitar 1980-an, pasti pernah merasakan "sport jantung" saat naik kapal terbang berbadan kecil atau "pesawat capung".
Ukuran jenis pesawat capung "twin otter" memang sudah kecil, tetapi ada yang lebih kecil lagi yakni jenis pesawat caravan, jenis Mugi dan Paro.
Pesawat super kecil yang diisi hanya beberapa orang ini dengan lincah akan meliuk-liuk dan turun naik saat udara buruk atau turun naik saat menghadapi bukit dan lembah karena memang membutuhkan "run way" tidak terlalu panjang yakni hanya ratusan meter.
Dengan harga tiket puluhan ribu rupiah saja saat itu, sudah dapat menembus lebatnya hutan pedalaman menuju kota kecamatan di perbatasan Indonesia-Malaysia, misalnya Krayan atau Data Diyan.
Begitu pula harga tiket jika ingin dari Bulungan ke wilayah "kota Besar" di Kalimantan saat itu, yakni Samarinda.
Kala itu, yang melayani hanya satu maskapai, yakni MAF (Mission Aviation Fellowship), perusahaan penerbangan non komersial milik lembaga missionaries asing. Maskapai ini terbang secara regular (tetap) ke wilayah Kota Tanjung Selor ke beberapa wilayah pedalaman.
Berpuluh tahun kondisi seperti itu, sehingga beberapa daerah di Kaltara dikenal sebagai daerah terisolir karena hanya efektif dijangkau menggunakan pesawat terbang.
Akhirnya secara perlahan, kualitas serta berbagai infrastruktur bandara dibenahi dan mulai masuk sejumlah perusahaan penerbangan meskipun sudah menggunakan pesawat lebih besar jenis Cesna namun karena saat itu landasan pacu hanya 900 meter, maka perkembangan transportasi udara di Bulungan juga seperti statis.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah berhasil menuntaskan masalah isolasi daerah itu, yakni sejak wilayah itu telah resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPR pada 25 Oktober 2012, maka kualitas Bandara Tanjung Harapan terus dibenahi dengan cepat.
Ketua DPRD Bulungan Syarwanie mengatakan bahwa keberadaan Bandara Tanjung Harapan sangat strategis jika dikaitkan dengan posisi Kota Tanjung Selor (Bulungan) yang kini menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara.
Dampak dari meningkatkan kualitas Bandara yang kini sudah melayani pesawat Wings ATR-72 maka pergerakan dunia ekonomi dan investasi sangat terasa.
Dulu, katanya, tamu-tamu Kaltara baik dari kalangan pemerintah (pejabat tingggi negara) atau swasta (investor asing dan nasional) sering terhambat melakukan perjalanan ke Tanjung Selor karena harus melewati Bandara Internasional Juawata Tarakan yang dilanjutkan perjalanan laut menggunakan perahu cepat (speedboat).
Selain alasan keamanan, maka alasan membutuhkan waktu dan tenaga juga jadi alasan tamu-tamu tersebut enggan berkunjung ke Ibu Kota Provinsi Kaltara, yakni Tanjung Selor (Bulungan).
Pengembangan Bandara
Kaltara melalui dana pusat sekitar Rp80 miliar berhasil memperpanjang landasan pacu dari 1.200 meter menjadi 1.600 meter sehingga tadinya hanya melayani ATR-42 kini sudah bisa melayani ATR-72.
Tidak hanya ke Bandara Temindung namun juga ke beberapa kota di Indonesia, antara lain Surabaya, Makassar dan Jakarta yang transit melalui Bandara Sepinggan Balikpapan.
Ke depan, Bandara Tanjung Harapan diharapkan bisa melayani pesawat lebih besar lagi, yakni pesawat tipe Bombardier CRJ 1000 seperti yang dimiliki maskapai plat merah, Garuda Indonesia, termasuk pesawat Boeing 737 Seri 300 karena landasan pacu ditargetkan mencapai 1.800-2.500 meter.
Selama ini pergerakan penumpang dari Bandara Tanjung Harapan hanya dilayani maskapai Kalstar Aviation, Susi Air, dan MAF (Mission Aviation Fellowship), sehingga tak lama lagi akan mulai masuk maskapai lain.
Sebelumnya, Gubernur Kaltara Irianto Lambrie mengatakan bahwa pihaknya fokus meningkatkan kualitas Bandara untuk pengembangan sisi daratnya, Gubernur menyebutkan akan menggunakan APBD.
Sedangkan apron akan dialokasikan melalui APBN tahun 2017, yakni ada Rp139 miliar dialokasikan melalui APBN yang sudah ditandatangani oleh Dirjen Perhubungan Udara.
Selain memperpanjang landasan pacu, fasilitas pendukung Bandara Tanjung Harapan pun dilengkapi, seperti penambahan Air Field Lighting System (AFLS) dan armada Pemadam Kebakaran (Damkar).
AFL sendiri adalah alat bantu pendaratan visual yang berfungsi membantu dan melayani pesawat terbang selama tinggal landas, mendarat agar dapat bergerak secara efisien dan aman.
Dengan masuknya pesawat berbadan besar Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie berharap bisa meningkatkan gairah industri dan pariwisata.
Berkaitan dengan kondisi terminal yang dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah penumpang, Irianto mengakui telah menginstruksikan instansi terkait agar memulai pengerjaan gedung terminal baru pada 2018.
Beli Pesawat
Perkembangan terakhir "jembatan udara" untuk memecahkan isolasi daerah guna menekan tingkat disparitas pembangunan, kian strategis.
Terbukti kini Gubernur Irianto Lambrie menggagas kemungkinan untuk membeli pesawat produksi anak bangsa, N-219 Nurtanio yang dirancang PT Dirgantara dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Gubernur menargetkan, minimal 1 unit pesawat multi fungsi bermesin dua yang memang dirancang PT DI-LAPAN untuk beroperasi di daerah terpencil itu, sudah menjelajahi perbatasan dan pedalaman Kaltara pada 2019.
Hal ini disampaikan Gubernur Irianto usai menghadiri Uji Terbang Bandung-Jakarta, sekaligus peresmian dan Pemberian Nama Pesawat Transport Nasional N-219 oleh Presiden RI Joko Widodo di Base Ops, Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma, Jakarta, belum lama ini.
Gubernur Irianto menjadi satu-satunya kepala daerah yeng berkesempatan menjadi saksi sejarah peluncuran pesawat yang merupakan murni karya anak bangsa itu.
Menurut dia, ada tiga alasan mendasar yang mendorong dirinya menggagas pembelian pesawat N-219 itu. Alasan pertama, wilayah di Kaltara, banyak yang terisolir dari segi transportasi dan rata-rata hanya dapat dijangkau menggunakan transportasi udara.
Kaltara merupakan provinsi dengan perbatasan darat cukup panjang, sekitar 1.098 kilometer. Untuk bisa menjangkau wilayah itu dengan cepat, hanya dapat dilakukan lewat pesawat.
Alasan kedua, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara berkewajiban membantu seluruh masyarakatnya, terutama di wilayah pedalaman dan perbatasan, yang selama ini disubsidi penggunaan transportasi udaranya.
Kaltara bertekad untuk fokus membantu masyarakat yang mengalami kesulitan atau sakit di wilayah perbatasan dan pedalaman. Kaltara memang sejak lama memiliki rencana dan wacana untuk penyediaan ambulans udara.
Alasan ketiga, Irianto ingin menunjukkan kepada negara tetangga Indonesia di wilayah Kaltara, khususnya Malaysia bahwa putra-putri Indonesia adalah bangsa berdaulat yang mampu merancang dan membangun sebuah teknologi penerbangan yang berkualitas.
Ia menyebutkan bahwa tak semua bangsa di dunia ini, memiliki kapasitas untuk membangun atau membuat pesawat. Paling tidak, dari negara tetangga Malaysia di level ASEAN, belum ada yang bisa membuat pesawat sebaik ini.
Kini dari sebuah tempat yang dulunya hanya sebuah bandara kecil berkelas perintis, lahir sebuah mimpi yang tampaknya segera terwujud menjadi sebuah jembatan udara yang bukan saja memecah isolasi daerah tapi menjadi pintu gerbang bagi masuknya investasi ke wilayah utara Kalimantan.