Jakarta (Antarariau.com) - Dua tahun telah berlalu sejak Kesepakatan Paris terjadi. Pertemuan para kepala negara minggu ini di Bonn, Jerman, seharusnya sudah menunjukkan perkembangan nyata dari usaha tiap negara untuk memenuhi batas maksimum pemanasan bumi yaitu kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius.
Indonesia akan sulit merealisasikan komitmen penurunan emisinya selama batubara masih menjadi primadona dan mendominasi bauran energi di negara ini, ungkap Hindun Mulaika, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Waktu yang kita punya untuk menyelamatkan manusia dari bencana iklim sudah begitu sempit. Aksi nyata dan cepat yang saat ini sangat dibutuhkan. Sebanyak 23 negara, negara bagian dan kota telah memiliki komitmen untuk meninggalkan penggunaan PLTU batubara sebagai sumber energi fosil terkotor dalam sistem kelistrikan mereka dalam batas waktu sampai 2030. [1]
Teknologi batubara bersih (Clean Coal Technology) yang dimasukkan Pemerintah Indonesia dalam strategi mitigasi NDC [2] dari sektor energi jelas bukan jawaban dan menyesatkan. Sebagai contoh, per-1000 MW penggunaan teknologi Ultra Super Critical di PLTU batubara akan menghasilkan emisi karbon sebesar 10,8 juta ton per tahun. Jadi seluruh pembangunan PLTU-PLTU batubara baru yang saat ini sedang digenjot besar-besaran akan mengunci kita dalam tingkat emisi karbon yang tinggi minimal sampai 30 tahun ke depan.
Dalam meja perundingan pun, Indonesia juga tidak pernah unjuk gigi terkait dengan komitmen mitigasinya dalam sektor energi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kemauan politik untuk beralih dari dominasi batubara ke penggunaan energi terbarukan. Belum ada yang bisa dibanggakan dari perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Sebagai contoh, berubah-ubahnya regulasi harga untuk energi terbarukan tidak menciptakan sebuah iklim investasi yang mendukung. Sedangkan Pemerintah Indonesia terus memberikan jaminan kepada investasi batubara.
Propaganda industri batubara telah mempengaruhi para pengambil keputusan di negeri ini untuk percaya bahwa pilihan Clean Coal Technology merupakan solusi perubahan iklim dan polusi udara. Padahal energi terbarukan telah menjadi lebih ekonomis, tenaga surya dan angin akan menjadi lebih murah dibandingkan pembakaran batubara dan nuklir pada tahun 2030 di setengah dari negara-negara anggota G20. [3]
Apabila investasi saat ini masih ditanamkan pada PLTU batubara, maka Pemerintah Indonesia hanya akan membuang uang untuk sebuah teknologi yang tidak akan lagi dapat bersaing di masa depan, dan hanya akan memperburuk perubahan iklim, tambah Hindun.
Konsistensi dan Transparansi Demi Menurunkan Emisi di Sektor Kehutanan
Perlindungan terhadap gambut menjadi salah satu kunci penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim global. Target penurunan emisi yang dijanjikan Pemerintah Indonesia yakni 29% sampai dengan 2030, akan sulit tercapai apabila pemerintah masih setengah hati mengatasi deforestasi, melindungi serta merestorasi lahan gambut, dan apabila pemerintah tidak transparan dalam tata kelola sumber daya alam.
Nyatanya tidak semua lahan gambut dilindungi secara total, pemberlakuan zonasi lindung dan budidaya pada wilayah gambut menunjukkan keraguan antara melindungi atau melanggengkan praktik industri. Restorasi gambut pun sedang dijalankan melalui Badan Restorasi Gambut yang dibentuk awal 2016 dengan target restorasi sampai 2020 seluas 2,4 juta hektar. Akan tetapi, fakta di lapangan, pembukaan hutan dan lahan gambut masih terjadi, misalnya di kawasan Sungai Putri (Kalimantan Barat) [4], Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh [5], dan Papua. Sepanjang tahun 2015-2016, deforestasi di lahan gambut mencapai 57.554 hektar. Ketiadaan One Map (Satu Peta) dan pelaksanaan kebijakan moratorium yang lemah terbukti telah gagal melindungi hutan dan gambut.
Pemerintah pun mengklaim telah berhasil mengatasi kebakaran hutan dan lahan tahun ini dengan luas areal kebakaran menurun 98% dibandingkan tahun 2015. Klaim ini tidak sepenuhnya tepat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan kemarau tahun ini lebih basah daripada tahun 2015. [6] Dengan kondisi tersebut maka wajar bila titik panas tidak sebanyak dua tahun silam dan banyak kasus kebakaran yang terjadi namun tidak terdeteksi oleh satelit. Pemerintah jangan terlena oleh faktor cuaca yang basah pada tahun ini, ujar Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Pemerintah harus lebih keras dalam menghentikan langkah para pengusaha yang mau membuka lahan gambut, serta harus lebih tegas menindak perusahaan yang merusak hutan dan gambut. Pengkajian ulang izin-izin konsesi di atas hutan dan gambut harus segera dilakukan. Sebab kontribusi industri sawit maupun bubur kertas kepada perekonomian nasional, tidaklah setara dengan kenaikan suhu bumi dan bencana alam akibat perubahan iklim.
Transparansi juga menjadi bagian komitmen pemerintah, yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. Salah satu komitmen yang diajukan Pemerintah Indonesia kepada Sekretariat UNFCCC tahun ini adalah Transparency Framework. Ini cukup penting karena dalam menurunkan emisi, banyak negara berkembang seperti Indonesia yang akan mendapatkan kucuran dana dari negara maju maupun lembaga donor. [7] Dalam Kesepakatan Paris, disepakati negara-negara maju akan memberikan dana sebanyak US$ 100 miliar kepada negara-negara berkembang. [8]
Pendanaan iklim akan memberikan sumbangsih bagi pengurangan emisi yang diproduksi negara berkembang seperti Indonesia. Tapi penerimaan dana ini harus diimbangi dengan kebijakan dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang transparan dan partisipatif, ujar Ratri. (RLS)