Lahan Pertanian-Perikanan Untuk Kepentingan Petani-Nelayan

id , lahan pertanian-perikanan, untuk kepentingan petani-nelayan

  Lahan Pertanian-Perikanan Untuk Kepentingan Petani-Nelayan

Jakarta, (Antarariau.com) - Sejumlah pihak telah menegaskan pentingnya pemerintah untuk melestarikan lahan yang tersebar di nusantara ini agar tidak terjerumus ke dalam kepentingan sesaat dari korporasi atau mereka yang hanya memikirkan soal laba.

Untuk itu, LSM seperti Greenpeace juga menginginkan pemerintah dapat konsisten dalam memegang teguh komitmen mengatasi deforestasi antara lain dengan segera menghentikan pembukaan lahan gambut menjadi area produksi tanaman perkebunan.

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, Kiki Taufik mengatakan, perlindungan terhadap lahan gambut tersisa di seluruh Indonesia harus dilakukan baik oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Sejalan dengan itu, ujar Kiki, pemerintah bahkan terus melanjutkan kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang berlangsung sejak 2011.

Namun, lanjutnya, pembukaan lahan gambut menjadi area produksi tanaman perkebunan di provinsi tersebut tetap gencar, yang disebabkan karena pemerintah pusat dan daerah seperti terlihat tidak satu suara.

Ia menginginkan agar pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah seharusnya bersikap tegas sehingga tidak boleh ada lagi ruang perundingan terhadap komitmen tersebut.

Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Mereka yang bisa mengolah bumi dan air di negeri nan subur seperti Indonesia ini ada banyak pihak, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa para petani dan nelayan juga berandil besar dalam melakukannya.

Untuk itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan agar jangan sampai ada perusahaan yang menyerobot tanah rakyat dengan seenaknya tanpa adanya ganti rugi yang memadai dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Fadli Zon menegaskan bahwa perusahaan besar tidak bisa seenaknya main ambil tanah masyarakat tanpa adanya ganti rugi atau kompensasi yang sepadan.

Menurut dia, tindakan penyerobotan dan pengambilan tanah secara semena-mena itulah yang menimbulkan konflik di tengah masyarakat yang tidak pernah tuntas, selain penegakan hukum yang lemah dan adanya mafia tanah.

Politisi Partai Gerindra itu mengemukakan, banyak kasus pertanahan sejak dahulu yang merupakan aksi penyerobotan oleh perusahaan atau kepentingan usaha besar sehingga masyarakat kerap dikorbankan.

Oleh karena itu, Fadli juga mendesak pemerintah perlu mempercepat penerapan kebijakan reforma agraria di berbagai daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para petani dan menurunkan angka ketimpangan nasional.

Fadli yang juga menjabat Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia itu mengingatkan bahwa lambatnya perwujudan agenda reforma agraria juga mengakibatkan jumlah petani mengalami penurunan, dan rata-rata berusia di atas 45 tahun.

Untuk itu, ujar dia, langkah untuk mempercepat agenda tersebut dapat dilakukan dengan memberikan fokus dan akses lahan kepada petani usia muda.

Selain itu, lanjutnya, perlu pula untuk meneruskan program sertifikasi massal terutama lahan pertanian mengingat baru 45 persen lahan yang bersertifikat.

Permasalahan alih fungsi

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo juga menyoroti permasalahan alih fungsi lahan pertanian padahal saat ini Republik Indonesia masih memerlukan banyak sekali lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya di Tanah Air.

Firman Subagyo menyatakan keprihatinnya karena banyak lahan pertanian produktif, khususnya di pulau Jawa, yang ternyata saat ini telah dialihfungsikan.

Politisi Partai Golkar itu mengingatkan bahwa berdasarkan data PBB, pertumbuhan penduduk global pada tahun 2050 mendatang diperkirakan dapat mencapai hingga sekitar 9,3 miliar orang.

Karena itu, ujar dia, populasi yang membengkak tersebut tentu berpengaruh terhadap kebutuhan pangan dunia, termasuk juga Indonesia.

Ia berpendapat bahwa program cetak sawah yang telah digulirkan pemerintah bukan merupakan solusi terbaik karena perlu dipikirkan mengenai sistem irigasinya.

Firman juga mengingatkan bahwa untuk melakukan cetak sawah itu, Kementerian Pertanian juga kerap harus berhadapan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hal tersebut juga ditambah, lanjutnya, dengan pemerintahan di daerah yang fokus untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari retribusi.

Tidak hanya terkait sektor pertanian, di bidang kelautan juga menghadapi hal yang serupa sehingga Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah dapat mewujudkan regulasi benar-benar memberikan perlindungan kepada wilayah perikanan nelayan tradisional dan tanah yang selama ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir.

Menurut Ketua DPP KNTI Marthin Hardiwinata, hal tersebut dapat dilakukan antara lain dengan mengakui dan mengidentifikasi termasuk melakukan pencatatan atas setiap pemanfaatan sumber daya perikanan dan tanah yang telah ada dan berjalan di pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk dalam perencanaan zonasi tata ruang laut dan kawasan pesisir.

Beragam sektor industri

Marthin berpendapat, permasalahan agraria yang terjadi di kawasan pesisir dilakukan oleh berbagai pelaku yang berasal dari beragam sektor industri di Tanah Air sehingga situasinya juga sangat kompleks.

Menurut dia, pelaku yang mengakibatkan terjadinya permasalahan agraria di kawasan pesisir antara lain industri nonekstraktif seperti pariwisata hingga industri ekstraktif termasuk pertambangan.

Ia berpendapat, "perselingkuhan" antara pengusaha dan penguasa di daerah yang terjadi di lapangan tak jarang juga menjadi faktor penunjang dalam penindasan masyarakat pesisir.

Marthin juga menuturkan, pemberian hak atas tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata akan mendorong dan mempermudah perampasan lahan untuk investasi pariwisata.

"Masalah penguasaan tanah pulau kecil dengan menggunakan nama perorangan untuk usaha pariwisata, istilah umumnya penggunaan 'nominee' atau perjanjian pinjam nama oleh warga negara asing, juga luput dari perhatian," paparnya.

Untuk itu, KNTI mendesak pemerintah melakukan pengakuan dan identifikasi termasuk pencatatan atas setiap pemanfaatan sumber daya perikanan dan tanah yang telah ada dan berjalan di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kemudian, dalam perencanaan tata ruang laut dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya memberikan perlindungan kepada wilayah perikanan nelayan dan tanah yang telah dimanfaatkan oleh nelayan dan petambak selama ini.

Marthin juga menginginkan pemerintah melaksanakan UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dengan standar panduan FAO tentang Pedoman Tenurial Tahun 2012 dan Pedoman Perlindungan Perikanan Skala Kecil 2014.

Ia mendesak pula revisi peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar sejalan dengan cita-cita UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dengan kata lain, lahan yang ada di bumi nusantara ini perlu benar-benar dipastikan agar bertitik berat untuk kepentingan para petani dan nelayan yang telah berjasa besar dalam mengembangkan sektor pangan nasional.