Oleh Muhammad Said
Jika anda pernah menjumpai, apalagi menikmati air minum kelapa dalam kemasan berbentuk kotak dengan merek "Hydro Coco", maka itu diproduksi dari Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau.
Atau paling santer terdengar bagi ibu-ibu rumah tangga pernah menjumpai santan kelapa dalam kemasan bermerek "Kara" atau "Cocomas", maka kedua produk itu merupakan salah satu industri hilir yang diproduksi di Inhil.
Inhil telah lama menjelma menjadi salah satu daerah di Indonesia sebagai penghasil buah kelapa yang produknya tidak hanya dipasarkan dalam negeri, tetapi sampai manca negara.
Kontur tanah dataran rendah atau rawa-rawa, menjadi pemicu warga pendahulu ditengah kesuburan tanah Inhil. "Masyarakat di Inhil sejak dulu sudah melakukan budi daya tanaman kelapa secara tradisional," kata Bupati Inhil, Muhammad Wardan.
Data menyebut total luas wilayah Inhil 18.812,94 km, 11.605,97 km diantaranya luas daratan. Dari luas daratan itu, 10.740,16 km atau 92,54 persen merupakan lahan gambut, hanya 865,81 km atau 7,46 persen adalah dataran tinggi.
Wardan melanjutkan, kedatangan Tuan Guru Syekh Abdurrahman Shiddiq sebagai tokoh agama wilayah Kerajaan Indragiri ketika pindah dari Bangka tahun 1910, justeru memberi semangat bagi pendahulu dan tercatat mempelopori pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa.
Abdurrahman tercatat sebagai pelopor pembuatan parit atau kanal air yang terkenal dengan nama "parit hidayat", sebagai cikal bakal teknis budi daya tanaman pertanian di lahan gambut.
Budi daya kelapa dilakukan pendahulu dinilai telah berhasil karena ditentukan tiga sistem penataan air yakni tanggul penahan intrusi air laut, lalu saluran air dan pintu air atau klep serta kearifan masyarakat lokal terhadap ekosistem lahan gambut.
"Dari akumulasi itulah, kini banyaknya ditemukan jembatan sebagai penghubung parit-parit atau kanal-kanal baik di pinggir jalan atau daerah lain yang telah menjadi penyebab Inhil mendapat julukan Negeri Seribu Parit," jelasnya.
Kelapa hadapi masalah
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2012 menyatakan, dari total luas perkebunan kelapa rakyat 3.742.921 ha, sekitar 429.110 ha atau 11,46 persen diantaranya berada di Inhil.
Inhil tercatat sebagai kebun kelapa terluas di Indonesia atas nama Provinsi Riau total memiliki 589,81 ribu ha atau 15,28 persen, lalu disusul Jawa Tengah 7,68 persen, Jawa Timur 7,67 persen, Sulawesi Utara 7,27 persen, Sulawesi Tengah 4,78 persen dan Jawa Barat 4,60 persen.
Hamparan tanaman kelapa seluas 429.110 ha telah menjadikan komoditas tersebut paling dominan mencapai 72,2 persen, sedangkan kelapa sawit baru 09.046 ha atau 18,35 persen berdasarkan data dinas perkebunan setempat.
Meski kelapa telah menjadi mata pencarian pokok dan primadona, tapi kini warga mengeluh. "Kalau sekarang ini entah karena iklim atau apa, buah kelapa yang dihasilkan jauh menurun dibanding puluhan tahun lalu disebabkan parit induk tidak bagus," terang seorang warga Inhil, Muhammad Tawawi (78).
Ia membayangkan dahulu, Sungai Batang Tuaka di Inhil memiliki air yang dalam sekitar 10 meter ke dasar sungai. "Kini jadi dangkal yang menandakan air sungai tidak dalam dan berdampak pada kebun kelapa kami," ucap dia.
Muprani (58), Ketua Kelompok Tani Bina Usaha mengatakan jumlah tanaman kelapa yang telah menghasilkan 3.895 ha dan kelapa tua atau telah rusak 383 ha di Kecamatan Batang Tuaka.
"Kelapa ini bakal hancur karena tambah setahun, tambah buruk. Kami harapkan tanggul dan normalisasi parit. Parit di kebun ini sejak 1978 sampai sekarang belum pernah diperbaiki, sedangkan kami tidak mampu karena keterbatasan dana," bebernya.
Menurunnya hasil buah kelapa baik dari segi produktifitas buah maupun kualitas buah karena pengaruh parit, lalu hama yakni kumbang dan intrusi air laut.
Ia membandingkan, dulu perhitungan tiap 1 baris kebun terdapat 40 batang yang bisa berproduksi 1.000 butir dengan perhitungan 25 butir tiap pokok pada setiap kali panen. "Tetapi sekarang 20 baris kebun kelapa, buahnya hanya capai 1.700 sampai 1.900 butir," terangnya.
Lalu buah kelapa waktu dulu termasuk kategori besar-besar seperti satu butir untuk penghasil kopra 1,5 kg. "Kalau sekarang lebih mahal pinang. Pinang harga Rp8.500 per kg dan belum lagi waktu jemur, harganya sudah ditambahi," tuturnya.
"Jika kelapa mulai dari kait, lalu gugur, diangkut dan di kupas dengan harga Rp3.800 per kg atau Rp380 ribu per satu pikul. Satu pikul sama dengan 100 kg dan jumlah buahnya 250 butir ," terang Muprani.