Oleh Edy M Yakub
Surabaya, (Antarariau.com) - Ujian Nasional atau UN pun datang untuk menguji para siswa SMA/MA/SMK pada 13-15 April 2015 dan para siswa SMP/MTs pada 4-7 Mei 2015.
"Karena itu, distribusi soal UN akan dilaksanakan pada 8-9 April 2015, bahkan khusus wilayah kepulauan seperti Sumenep dan Gresik (Jatim) sudah ada distribusi mulai 2 April 2015," kata Ketua Pelaksana UN Jatim Dr Harun, di sela rakor UN Jatim di Surabaya (1/4).
Namun, kedatangan UN kini bukan lagi menjadi semacam momok seperti dulu, karena setidaknya ada dua pembeda UN dulu dan kini.
Pembeda pertama adalah model UN bukan lagi cuma ujian di atas kertas, tapi juga ada ujian daring (dalam jaringan internet/"online").
Sebagai model yang baru pertama kali diperkenalkan, tentu evaluasi atas kelemahannya belum dapat dilakukan. Bisa saja, kelemahan "UN Daring" itu terjadi jika ada (aliran) listrik mati.
Atau, bisa juga kelemahan yang lebih canggih dari itu, misalnya, upaya peretasan (hacker) seperti yang selama ini sudah sering terjadi pada dunia maya.
"Sebagai teknologi, saya kira UN daring itu merupakan harapan ke depan yang lebih baik, karena memang irit (hemat) dibandingkan dengan menggunakan kertas yang menghabiskan dana miliaran," ujar Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainuddin Maliki.
Namun, perlu dikaji apakah daring ("online") itu sudah cukup, ataukah perlu "offline" saja, tentu perlu menunggu evaluasi dari pengalaman pertama UN Daring itu.
"Kalau cara online dibobol para peretas, maka cara offline bisa dipilih agar aman, meski perlu CD, tapi masih lebih hemat dibandingkan dengan kertas," ucapnya.
Yang jelas, data terkini sesuai lampiran surat Puspendik Nomor 0327/H4/TU/2015 tercatat 585 lembaga pendidikan se-Indonesia akan mengikuti UN CBT atau UN Daring pada tahun 2015. Jumlah itu sangat sedikit dibandingkan dengan ribuan SMP/SMA di negeri ini.
Dari jumlah itu tercatat 164 lembaga pendidikan(SMP/SMA) yang berasal dari Jatim (28 persen). Tentu, pengalaman pertama itu penting untuk perbaikan sistem daring pada masa selanjutnya.
Pembeda kedua adalah UN bukan lagi penentu "nasib" seseorang, lulus atau tidak. Nilai minimal UN memang dipatok 55, tapi kalau nilainya di bawah itu bukan berarti "wassalam" atau tamat riwayatnya (tidak lulus).
Hal itu, karena siswa boleh melakukan perbaikan pada mata pelajaran yang nilainya di bawah 55 itu pada tahun berikutnya. Kalau nilainya "lulus" maka mendapatkan sertifikat hasil UN (SHUN), tapi kalau tidak lulus maka belum mendapatkan SHUN.