UN Bukan Lagi Momok, Sambungan Halaman 2
Fungsi (Hanya) Pemetaan
Mantan Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan bahwa fungsi pemetaan inilah yang tidak diketahui oleh pihak-pihak yang menolak UN selama ini.
"Mereka menilai UN itu diskriminatif, karena menyamakan kualitas siswa Jawa dengan luar Jawa, termasuk Papua," ucapnya, mengutip para penolak UN.
Isu diskriminatif itu menjadi amunisi untuk "menolak" UN yang saat itu menjadi penentu kelulusan, sehingga kritik yang bertubi-tubi pun mencecar UN.
Para penolak menilai adanya diskriminasi itu, karena UN itu menyamakan kualitas siswa dari ribuan daerah dan juga "menyederhanakan" kelulusan untuk belasan mata pelajaran hanya dalam 3-4 mata pelajaran yang diujikan melalui UN.
Kini, UN yang tak lagi menjadi penentu kelulusan itu hanya menyisakan satu kritik saja terkait diskriminasi itu, namun isu itu sudah bisa dipatahkan dengan fungsi pemetaan itu tadi.
Apalagi, negara lain juga masih menggunakan "ujian negara" untuk pemetaan itu, seperti Jepang, Malaysia, India, dan sebagainya.
"Kalau kita mengukur suhu pada satu tempat dengan termometer (alat ukur suhu) yang berbeda, yakni celsius, fahrenheit, reamur, tentu sulit diketahui berapa suhu sebenarnya, karena hasilnya berbeda-beda, tapi kalau kita mengukur dengan satu alat ukur, maka kita akan tahu berapa suhu di sini dan berapa suhu di sana, sehingga diketahui berapa selisihnya dan apa kekurangannya," ucap Nuh, ketika berdialog dengan para penolak UN.
Kini, UN sudah lebih "fair", karena manfaatnya untuk pihak lain yakni negara/pemerintah dan universitas, bukan seperti dulu yang terkesan untuk "mengadili" siswa, meski pihak lain (pemerintah dan universitas) juga mengambil manfaatnya, namun para siswa justru berontak.
Dengan "fair" itu, siswa lebih ditentukan "nasibnya" oleh pihak sekolah.
"Mulai tahun ini, UN hanya alat untuk memotret capaian siswa, karena itu UN harus dilaksanakan dengan 100 persen jujur," kata Mendikbud Anies Baswedan dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, Jawa Barat (30/3).
Masalahnya, bagaimana kalau diterima perguruan tinggi, lalu ada mata pelajaran tertentu dari UN yang tidak lulus?.
"Soal itu berpulang kepada perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalau di Australia, ada siswa yang memilih jurusan komunikasi, tapi nilai UN atau rapor dalam bidang sains tidak lulus, maka hal itu tidak dipersoalkan, asalkan siswa itu memiliki nilai bahasa yang bagus. Jadi, nilai itu sesuai kebutuhan dalam jurusan yang dipilih," ujar Prof Zainuddin Maliki.
Tentu, kepercayaan pemerintah/negara kepada sekolah (sebagai penentu kelulusan lewat US) itu harus diimbangi pihak sekolah untuk bersikap "fair" pula dalam "meluluskan" siswa melalui tiga kompetensi yang "fair" pula yakni pengetahuan, ketrampilan, dan sikap. Ketiga kompetensi itulah yang dapat dicetak melalui Kurikulum 2013.
Jadi, sekolah jangan hanya meluluskan siswa yang bagus dalam pengetahuan tapi kompetensi sikap dan keterampilannya justru bobrok, apa artinya?! Bukankah pendidikan itu juga berfungsi untuk memanusiakan manusia?!.