Pekanbaru (ANTARA) - Tiga puluh tujuh tahun lalu, Rachmat Sumekto datang ke desa Pematang Tinggi, Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau hanya dengan satu bekal yakni harapan. Sebagai transmigran dari Jawa Tengah, Rachmat memulai peruntungannya sekalipun keraguan yang menyelimuti sanubarinya.
Menjadi bagian dari program PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat – Transmigrasi) membuat Rachmat harus berpisah jauh dari keluarga besarnya di Yogyakarta sejak 1988. Ia mengingat dengan jelas hari pertama menginjakkan kaki di desa yang masih baru dan jauh dari hiruk pikuk selayaknya Daerah Istimewa.
Tidak pernah terbayang dalam benaknya, akan menjadi seorang petani sawit. Sebelum akrab dengan peralatan berkebun seperti dodos, egrek dan sebagainya, Rachmat terbiasa memegang kunci-kunci mesin karena berprofesi sebagai teknisi. “Saya dulunya hanya montir mobil. Lebih terbiasa pegang kunci-kunci bengkel daripada enggrek,” katanya sambil tersenyum.
Minimnya pengalaman di bidang perkebunan kelapa sawit, tidak membuat Rachmat gentar. Pengalaman pahit seperti diganggu hewan-hewan hingga terserang malaria justru meyakinkan Rachmat untuk lebih tekun dalam menjalani kehidupan barunya.
Menurut Rachmat peliknya membangun kebun-kebun transmigrasi jauh lebih menjanjikan jika dibandingkan semasa di Yogyakarta dengan upah Rp800 per hari. Tekad untuk mensejahterakan istri dan anak-anaknya mendorong Rachmat untuk berjuang sekalipun meninggalkan kampung halaman.
Padahal idenya untuk mengikuti program PIR-Trans sempat mendapatkan pertentangan dari keluarga besar. Kala itu, kehidupan sebagai seorang transmigran berbeda jauh dengan saat ini yang sejahtera bergelimang harta–transmigran sering disebut sebagai orang yang hidup penuh kesusahan. “Saya sampai harus kirim surat ke rumah sendiri, pura-pura dari bos yang katanya mau buka bengkel cabang di Sumatera,” kenangnya sambil tertawa. Lewat strategi itulah ia akhirnya berhasil membawa keluarga kecilnya menuju tanah harapan di Riau, dengan menumpang kapal barang selama seminggu.
Rachmat yang penuh dengan optimisme memantapkan hatinya untuk menjadi bagian transmigran. Setiap pagi, sebelum menyentuh alat-alat berkebun, Rachmat dan istrinya menyiapkan sarapan sederhana sambil meyakinkan keluarga kecilnya bahwa keputusan untuk mengajak mereka merantau ke daerah transmigran akan membuahkan hasil.
Hidup pelan-pelan berubah, melalui program PIR-Trans, Rachmat dan ratusan keluarga lain menerima dua hektare lahan kebun dan sebidang tanah untuk rumah. PT Sari Lembah Subur (PT SLS), mendampingi mereka bukan hanya sebagai rekan usaha, tapi sebagai sahabat dalam perjalanan hidup.
PT SLS menyediakan benih, pupuk, peralatan, dan pelatihan teknis. Tak hanya itu, mereka juga menjamin pembelian hasil panen dengan sistem timbangan yang transparan. Perusahaan sawit itu pun melakukan pendampingan sejak awal mulai dari penyediaan bibit unggul, pelatihan teknik bercocok tanam, hingga penyerapan hasil panen.
“Kami mulai semua dari nol, segalanya dibimbing dan didampingi oleh PT SLS, diajari merawat tanaman, memahami waktu panen yang tepat, sampai cara mengelola koperasi,” jelas Rachmat.
Dari sini juga akhirnya KUD (Koperasi Unit Desa) Amanah itu lahir sejak tahun 1992, terbentuk sebagai bagian dari program PIR-Trans di Desa Batang Kulim, Kabupaten Pelalawan, Riau. Program ini merupakan inisiatif pemerintah yang menggandeng perusahaan swasta dalam hal ini PT SLS, untuk membuka wilayah baru, memberikan lahan kepada transmigran, serta membangun perkebunan kelapa sawit sebagai sumber penghidupan.
Sebagai koperasi petani plasma, KUD Amanah awalnya dibentuk untuk mengelola kebun sawit rakyat yang difasilitasi oleh PT SLS. Mulanya tokoh-tokoh masyarakat memintanya untuk memimpin koperasi “satu tahun saja”. Namun ketekunan dan integritasnya membuat warga tetap percaya. Lambat laun, suara-suara masyarakat mendorongnya untuk memimpin koperasi.
Setelah lebih dari 25 tahun kemudian, ia masih memegang posisi tersebut karena kepercayaan dari warga yang kesulitannya mencari sosok pengganti yang sepadan.
Selama perjalanan bertetangga warga menyadari bahwa sosok Rachmat adalah sosok yang tulus niatnya untuk menjadi ketua koperasi bukan semata untuk mengais materi, melainkan untuk membantu mensejahterakan anggota koperasinya. Kini KUD Amanah merupakan koperasi petani dengan lebih dari 500 anggota yang mengelola ribuan hektare kebun sawit produktif.
“Bagi saya, sukses bukan saya menghasilkan banyak kekayaan, tapi bagaimana saya membawa sekitar saya menjadi lebih sejahtera hidupnya,” ungkapnya.
Bayangkan saja, selama menjadi ketua selama 25 tahun Rachmat hanya memiliki 2 hektar lahan sawit yang dia kelola, sedangkan anggotanya setiap tahun pasti menambah jumlah lahan yang dikelola. Namun, baginya hal itu yang justru menjadi keberhasilan.
Ketika ditanya kunci keberhasilannya, Rachmat menjawab sederhana: "Saya tidak pernah merasa kekurangan. Saya tidak ambisius. Saya cuma ingin jadi manusia baik.”
Meski begitu, Rachmat sudah berhasil menyekolahkan ketiga anaknya sampai jenjang sarjana di perguruan tinggi ternama, seperti Universitas Gadjah Mada dan Institut Pertanian Stiper di Yogyakarta, semua berkat jerih payahnya sebagai petani sawit.
Hidupnya memang tidak bergelimang harta, namun Rachmat merasa berkecukupan. Ia menolak kredit, lebih memilih hidup sederhana tapi tenang. Anak-anaknya berhasil, cucunya delapan, dan rumah papan tempat tinggalnya tetap berdiri kokoh di tanah transmigrasi.
“Kalau kebanyakan duit, saya bingung ngitungnya,” canda Rachmat merendah.
Dengan notabenenya yang dulu tidak ada pengalaman sama sekali di dunia perkebunan, Rachmat mengakui PT SLS berperan sebagai "guru setia" yang membimbingnya sejak awal. Perusahaan juga menyediakan berbagai fasilitas hingga dirinya dan anggota koperasi lain sampai di titik ini.
“Astra Agro dalam hal ini PT SLS itu bukan cuma pembeli, tapi pembina. Mereka ajari saya pakai sepatu, ajari jadi orang biasa. Saya gak akan pernah lupa itu,” katanya penuh haru.
Sawit bukan sekadar tanaman bagi Rachmat dan warga desanya. Ia adalah tumpuan hidup, dulu desa ini sepi, sekarang jalan-jalan desa dipenuhi lalu lintas truk pengangkut tandan buah segar (TBS) hasil dari pengolahan koperasi-koperasi desa yang akan dijual ke perusahaan.
Banyak anggota KUD Amanah bisa menyekolahkan anak mereka hingga ke perguruan tinggi dari hasil sawitnya, beberapa bahkan mampu membeli mobil keluarga. Namun lebih dari kesejahteraan materi, sawit menghadirkan rasa memiliki. Kebun-kebun itu adalah hasil gotong royong, tanggung jawab bersama yang dikelola secara kolektif melalui koperasi. Di sinilah kekuatan KUD Amanah tumbuh, bukan hanya sebagai organisasi ekonomi, tapi sebagai simpul solidaritas sosial.