Pekanbaru (ANTARA) - Dalam masa perkembangan usaha, industri rokok elektrik atau vape di Indonesia turut berkembang, terutama dengan kian banyaknya perokok konvensional yang beralih ke vape.
Banyak yang beranggapan rokok elektrik merupakan alternatif yang lebih aman dibandingkan rokok tembakau, meskipun perdebatan mengenai dampak kesehatannya masih terus berlangsung.
Rokok elektrik pertama kali masuk ke Indonesia sekitar tahun 2010 dan awalnya hanya digunakan oleh segelintir orang. Namun, dalam satu dekade terakhir, popularitasnya meningkat pesat, terutama di kalangan anak muda dan perokok yang ingin mengurangi konsumsi rokok konvensional.
Berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia melonjak dari 0,3 persen atau sekitar 480 ribu orang pada 2011, menjadi 3,0 persen atau sekitar 6,6 juta orang pada 2021.
Di kafe atau tempat umum, pemandangan anak muda mengisap rokok elektrik bukan lagi sesuatu yang asing. Baik laki-laki maupun perempuan, banyak yang kini memilih vape sebagai gaya hidup atau sekadar alternatif dari rokok konvensional.
Dengan berbagai varian rasa yang menarik serta desain perangkat yang semakin stylish, vape tak lagi sekadar alat untuk menghisap nikotin, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan tren sosial di kalangan anak muda. Bahkan, mereka saling berbagi pengalaman tentang rasa liquid terbaru atau membahas perangkat dengan teknologi canggih yang sedang tren.
Peningkatan jumlah pengguna ini didorong oleh berbagai faktor, seperti pemasaran agresif di media sosial, semakin banyaknya varian rasa yang tersedia, dan anggapan bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok konvensional.
Akses semakin mudah
Dulu, vape hanya dijual di toko khusus atau marketplace online. Kini, produk ini sudah tersedia di ritel kecil seperti mini market dan kios-kios rokok. Menurut laporan dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), kemudahan akses ini membuat penggunaan rokok elektrik diperkirakan akan terus meningkat.
Beberapa merek ternama bahkan sudah memiliki jaringan distribusi yang mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia. Dengan distribusi yang lebih luas, semakin banyak orang yang tertarik mencoba dan beralih ke rokok elektrik.
Regulasi dari pemerintah
Seiring dengan meningkatnya penggunaan rokok elektrik, pemerintah resmi memberlakukan pajak untuk produk ini mulai 1 Januari 2024. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 dan PMK Nomor 192/PMK.010/2022.
Tujuan penerapan pajak ini adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok elektrik, menambah pendapatan negara, dan memberikan keadilan penerapan pajak di industri rokok. Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, estimasi penerimaan pajak dari rokok elektrik mencapai Rp175 miliar.
Bagi sebagian pengguna, alasan beralih ke rokok elektrik bukan hanya karena faktor kesehatan, tetapi juga penghematan biaya. Roni Aulia, seorang pengguna vape di Pekanbaru, mengaku bahwa pengeluarannya jauh berkurang sejak meninggalkan rokok konvensional dan beralih ke rokok elektrik.
“Dulu saya bisa habis Rp50 ribu sehari untuk beli rokok. Kalau dihitung, sebulan bisa lebih dari Rp1,5 juta. Setelah pakai vape, pengeluarannya jauh lebih terkontrol. Saya hanya perlu beli device sekali, dan liquid-nya bisa tahan lebih lama dibanding beli rokok tiap hari,” ujar Ronikepada ANTARA, Jumat (14/2).
Awalnya, ia menggunakan rokok elektrik sebagai cara untuk mengurangi konsumsi rokok biasa. “Biasanya sehari habis dua bungkus rokok. Sejak menggunakan rokok elektrik, sebungkus itu baru habis empat-lima hari,” katanya.
Namun, meski sudah setahun menggunakan rokok elektrik, Roni tak bisa lepas sepenuhnya dari rokok konvensional. Sesekali, terutama saat berkumpul dengan teman-temannya yang masih merokok, ia tetap mengisap satu atau dua batang rokok.
“Sebenarnya sudah jauh berkurang dibanding dulu. Tapi kalau lagi nongkrong atau ada momen tertentu, kadang masih terfikir buat coba satu atau dua batang,” ungkapnya.
Pendapat dokter paru
Meski banyak yang beranggapan vape lebih aman, para ahli kesehatan memiliki pandangan berbeda. dr. Indra Yovi, Sp.P (K), seorang dokter paru di Pekanbaru menegaskan bahwa rokok elektrik maupun konvensional sama bahayanya.
“Rokok elektrik bukan jalan yang tepat untuk menjadi alternatif rokok konvensional. Ada kejadian namanya VALI atau cedera paru akibat penggunaan rokok elektrik. Selain kandungan nikotin yang membuat kecanduan, dampak zat lain yang ikut terbakar di luar nikotin juga tak bisa dikesampingkan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Menurutnya, kedua jenis rokok ini bisa menyebabkan kanker paru dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Bahkan, rokok elektrik bisa lebih berbahaya karena asapnya tidak berbau, sehingga banyak pelajar yang menggunakannya di ruang kelas tanpa terdeteksi.
Ia juga memperingatkan bahwa pemasaran rokok elektrik sering kali menyesatkan dengan klaim yang tidak sepenuhnya benar. “Jangan terbuai oleh marketing rokok elektrik yang mengatakan tidak berbahaya. Tidak ada istilah beralih untuk yang ingin berhenti merokok. Jawabannya ya memang harus berhenti, bukan beralih,” sebut Yovi.
Untuk yang ingin benar-benar berhenti, ia menyarankan penggunaan nicotine patch yang lebih aman. "Kalau mau berhenti rokok, sebaiknya hubungi fasilitas kesehatan yang memiliki program berhenti merokok. Dengan obat, edukasi, dan pendampingan yang tepat, itu lebih efektif,” tambahnya.
Perkembangan rokok elektrik di Indonesia mencerminkan bagaimana inovasi produk dapat mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat. Meskipun vape semakin populer sebagai alternatif bagi perokok konvensional, penggunaannya masih menimbulkan berbagai tantangan, terutama terkait regulasi, pengawasan, dan dampak kesehatannya dalam jangka panjang.
Di sisi lain, pemerintah terus berupaya mengontrol industri ini agar tidak semakin banyak anak muda yang terjerumus dalam kebiasaan merokok, baik itu konvensional maupun elektrik. Untuk mengatasi perkembangan rokok elektrik di Indonesia, diperlukan solusi yang komprehensif dari berbagai aspek, baik regulasi, edukasi, maupun keseimbangan antara industri dan kesehatan.