Maraknya perdagangan satwa dilindungi dan ringannya hukuman

id Perdagangan satwa,trenggiling

Maraknya perdagangan satwa dilindungi dan ringannya hukuman

Barang bukti sisik trenggiling yang diamankan aparat Polda Riau dan KLHK di Mapolda Riau. (ANTARA/HO-KLHK)

Pekanbaru (ANTARA) - Perdagangan bagian tubuh satwa yang dilindungi menjadi suatu permasalahan yang memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang serius.

Bagian satwa dilindungi seperti kulit harimau sumatera, sisik trenggiling maupun gading gajah selalu menjadi sasaran bagi pelaku yang menginginkan pundi-pundi rupiah.

Padahal perbuatan ini dapat terancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta seperti yang telah diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Masih teringat jelas, dua lembar kulit harimau sumatera beserta empat taringnya diamankan dari JI (37), YW (29) dan AI (43) yang diringkus penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Teluk Meranti, Bunut, Kabupaten Pelalawan, pada awal Juni silam.

Berdasarkan hasil penyelidikan, dua kulit binatang berbadan loreng ini rencananya akan dijual dengan harga Rp60 juta. Satwa yang populasinya tak lagi banyak ini kian terancam keberadaannya akibat keserakahan beberapa orang.

Baru-baru ini, Polda Riau juga mengungkap kasus 41 kilogram sisik trenggiling yang berasal dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara di sebuah mobil travel di Jalan Paus Ujung, Pekanbaru, pada Jumat (15/9) lalu.

Rencananya sisik dari hewan pemakan semut ini akan dijual di Pekanbaru dengan harga Rp3-5 juta per kilogram.

Dari keterangan ahli Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, jumlah 41 kilogram ini didapatkan dengan menghabisi nyawa 40-50 ekor trenggiling.

Padahal berkurangnya populasi trenggiling dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan rusaknya pepohonan. Sebab makanan utama satwa ini adalah semut dan rayap. Sesuai julukannya, scaly anteaters trenggiling mampu melahap semut dan rayap dalam jumlah besar.

Semut dan rayap merupakan musuh utama pohon yang memberikan dampak terhadap sistem perakaran dan membuat pohon gampang tumbang. Tak terbayang hal buruk apa yang akan terjadi apabila populasi trenggiling kian sedikit.

Plt. Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK, Sustyo Iriyono menilai hukuman yang diatur UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terlalu ringan untuk menjeratpelaku.

"Undang undang terlalu ringan untuk menghukum pelaku penjualan satwa dilindungi. Perlu sanksi yang lebih lama lagi untuk memberikan efek jera pada pelaku," sebutnya saat menghadiri pengungkapan kasus penjualan sisik trenggiling di Mapolda Riau, Senin.

Ditambah lagi denda maksimal Rp100 juta yang tentu tak ada apa-apanya dibandingkan keuntungan yang dapat diraup pelaku dari menjual bagian satwa yang dilindungi.

"Saat ini KLHK masih mengupayakan untuk mem-finalkan revisi UU ini. Hal itu agar memberi efek kepatuhan untuk para pelaku," tambahSustyo.

Bertahun-tahun berlalu, revisi UU ini terus memakan waktu namun tak kunjung disahkan dan berlaku. Semakin lamanya UU No 5 Tahun 1990 direvisi, diyakini semakin banyak pula satwa dilindungi yang akan mati. Jangan sampai anak cucu kita melihat harimau, gajah atau trenggiling hanya dalam buku-buku cerita atau rekaman video saja, tanpa bisa menikmatinya secara langsung.