Pekanbaru (ANTARA) - Siapa sih yang mau cacat dan kehilangan anggota tubuhnya, apapun alasannya itu bisa membuat jiwa seseorang terguncang bahkan nyaris bunuh diri, hal itu sempat menyelimuti wanita asal Rokan Hulu, Riau, ini.
Sejak kecelakaan yang merenggut kaki kirinya sekitar lima bulan lalu baru kali ini Suria Helmi (40) tahun bisa tertawa lepas, wajahnya tampak beda dari hari sebelumnya, ia lebih ceria dan guratan bahagia sekilas terlihat dari balik masker yang digunakan.
Dijumpai di lantai 3 ruang Fisioterapi Rumah Sakit Eka Hospital Pekanbaru Hemi sapaan dari ibu dua anak itu sedang berlatih berjalan dengan kaki palsu, ia tampak masih sangat berhati-hati agar tidak terjatuh saat menapaki tangga. Walau sudah sepekan melekat dengan tubuhnya kaki palsu sumbangan dari BP Jamsostek itu masih butuh penyesuaian dan adaptasi. Sambil berlatih jalan, sesekali ia menyapa para perawat bahkan dokter yang melintas di arena latihan bagi pasien korban kecelakaan kerja.
"Semangat pak," katanya pada seorang pasien yang juga sedang terapi akibat alami kehilangan sebelah kaki kanan.
Ia kini merasa seperti terlahir kembali baik secara fisik maupun batin sejak mendapatkan kaki palsu, Helmi senang bisa berjalan lagi setelah hampir lima bulan tak bisa melangkah akibat kaki kirinya diamputasi. Kegembiraan itu ia gambarkan seperti bayi yang baru bisa melangkah untuk pertama kami. Sampai - sampai berteriak histeris saat tiba di puncak tangga lantai dua Gedung Kantor Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Pekanbaru saat hendak latihan.
"Waktu itu saya tidak malu lagi berteriak sekencangnya melepaskan kesesakan selama ini dan membuktikan bahwa saya bisa kembali berjalan," katanya bersemangat.
Seorang guru kontrak daerah pada
SMP Negeri 14 yang terletak di Simpang Tarigan, Desa Mahato, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu, Riau itu, kini bahkan siap kembali mengajar setelah dia menyelesaikan program Return to Work (RTW) dari BP Jamsostek Wilayah Sumbar Riau Kepulauan Riau.
"Saya merasa terlahir kembali dan terpilih untuk menjalani kehidupan di dunia, saya tidak kehilangan kaki sama sekali berkat bantuan BP Jamsostek," kata dia bangga.
Hari naas
Hari itu Senin sekitar bulan Juni tahun 2021, saat sekolah melakukan penerimaan siswa baru tahun ajaran 2021/2022, Helmi bergegas berangkat menuju SMP Negeri 14 yang jaraknya tiga jam perjalanan dari rumah yang berlokasi di Mohato Kecamatan Tambusai menuju ke Dalu-Dalu Kecamatan Tambusai Utara.
Diantar anaknya menggunakan sepeda motor mereka harus bergegas agar tidak terlambat karena ia mendapat tugas piket dari sekolah.
Tiba-tiba di pertengahan jalan untung tidak bisa diraih, malang tidak dapat ditolak iring-iringan sepeda motor yang ditumpanginya dengan mobil travel bertabrakan, mendadak mobil di depannya mundur sehingga membuat anaknya terkejut dan banting stir ke kanan, kaki kirinya Helmi tertabrak bagian kanan belakang mobil hingga terlempar sejauh 10 meter, sedangkan anaknya selamat tidak alami cedera.
"Anak laki-laki saya tidak apa-apa, hanya kaki kiri saya koyak dagingnya terlepas dan terlempar di jalan, tapi saya saat itu belum merasakan sakit," katanya.
Untungnya sopir travel tidak kabur dan menolong membawa dia ke rumah sakit (RS) terdekat Pasir Pengaraian.
Karena saat itu sedang masa pandemi COVID-19 dengan alasan kapasitasnya penuh akibat membludak pasien COVID-19, sehingga disarankan di rujuk RS Syafira di Pekanbaru pada Senin (28/6/2021) malam setelah mendapatkan pertolongan pertama.
Selanjutnya Hari Rabu Hemi jalani operasi pertama untuk mempertahankan kakinya tetap utuh, saat itu petugas rumah sakit langsung mendata pasien atas kepemilikan kartu jaminan sosial yang diikutinya. Akibat tidak memperoleh petunjuk siapapun dan ketidaktahuan mereka tentang layanan BP Jamsostek. Helmi hanya mengatakan dia mendaftar dua jaminan kesehatan dan BP Jamsostek, lalu menyerahkan kartunya ke petugas.
Tanpa disadarinya ternyata kepesertaan BP Jamsostek mampu menyelamatkan ia untuk proses perawatan. Setelah mendapatkan penjelasan ia menyadari manfaat BP Jamsostek sangat besar baginya di luar yang dia bayangkan, ia bersyukur Pemerintah Daerah Rokan Hulu sejak awal sudah mendaftarkan seluruh guru honor di wilayahnya mendapatkan jaminan kecelakaan kerja dengan dua program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK).
"Waktu itu saya menduga dirawat karena punya kartu BPJS kesehatan, ternyata tidak BP Jamsostek," kata Helmi.
Saat Helmi menerima perawatan lanjutan luka kaki kirinya, semua data diurus oleh BP Jamsostek lewat keluarganya sehingga mudah dan cepat penanganan yang dia dapatkan.
"Teman saya guru yang tahu kasus ini banyak bertanya dan awalnya tidak percaya semua biaya ini ditanggung oleh BP Jamsostek, mereka menduga itu layanan BPJS Kesehatan," katanya.
Dengan kepesertaan tadi, Helmi bisa memperoleh layanan kesehatan atas luka kaki kirinya secara gratis.
"Tidak ada kendala pengurusan, biaya perawatan ini diklaim ke BP Jamsostek," tuturnya.
Amputasi kaki kiri
Dua Minggu berselang upaya mempertahankan keutuhan kaki Helmi ternyata sia-sia, walau sudah lebih tiga kali operasi namun gagal sehingga harus dilakukan amputasi. Kaki kirinya membusuk dipicu pemasangan pen di bagian tubuh tersebut sehingga tidak bisa dipertahankan lagi. Helmi semakin stres hingga berakibat pada turunnya tekanan darah, dan membutuhkan tambahan darah bergolongan B. Jika amputasi kaki kiri tidak dilakukan maka pembusukan ini akan menjalar ke bagian tubuh lainnya yang bisa berujung kematian baginya.
"Ada syarafnya putus dan infeksi, sehingga pilihannya pertahankan kaki kirinya atau nyawa," katanya.
Sontak saja amputasi yang diusulkan dokter yang merawat Helmi membuat kaget dan bingung dirinya. Kondisi serupa juga dirasakan kedua anak laki-lakinya dan keluarganya terutama ibunya.
Mereka tidak rela Helmi kehilangan kaki kirinya, karena keluarganya membayangkan bagaimana dia bisa berjalan sehari-hari.
Apalagi, Helmi tidak hanya sebagai orangtua tunggal bagi dua anak laki-lakinya dan ibu rumah tangga, tapi sebagai seorang guru SMP.
"Waras kita hilang, masa hanya karena daging sobek saja harus diamputasi, kaki saya masih bisa gerak kok," kata Helmi.
Setelah melalui pergumulan hebat di malam hari ia memutuskan akan menerima putusan dokter agar ia tetap hidup, demi masa depan kedua buah hatinya yang kini sedang kuliah dan magang. Selain itu dukungan keluarga terutama ibunya membuat ia ingin hidup.
"Sampai ibu mengatakan saya akan bolo (bahasa Melayu yang artinya rawat) kamu kalau nanti tidak lagi punya kaki dan tidak bisa berjalan, itu membuat saya terharu," katanya.
Selain itu dalam konsultasi Dokter yang merawat Helmi meyakinkan dia dan keluarganya bahwa setelah kaki kiri Helmi diamputasi masih bisa dipakai berjalan, dengan pemasangan kaki palsu yang dibiayai BP Jamsostek.
"Saya menerima kaki kiri di potong dengan pasrah, walau sebelumnya pemakaian kaki palsu tidak pernah terpikirkan akibat kurang informasi dan tidak ada biaya," ujarnya.
Usai jalani operasi sampai lima kali, Helmi akhirnya memilih menetap di Pekanbaru dan menjual rumah miliknya di seputaran tempat ia mengajar dahulu. Kegiatan Helmi di rumah memperoleh bantuan dari kedua anak laki-lakinya dan Mamaknya. Bahkan, anak bungsu laki-lakinya memutuskan berhenti sekolah guna menjaganya setiap saat.
Ikut dua program
Sejak menjadi guru kontrak di Rokan Hulu Helmi sudah langsung didaftarkan jadi kepesertaan BP Jamsostek oleh Pemda setempat, demikian juga dengan ratusan guru honor lainnya.
Karena mereka adalah tenaga honor maka kepesertaan yang didaftarkan dua program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan kematian (JK).
"Tiap bulan gaji saya yang nilainya Rp1.600.000 dipotong bayar iuran BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan," kata Hemi.
Walau ia di awal tidak banyak tahu tentang manfaat dari menjadi anggota BP Jamsostek, namun kejadian yang menimpanya membuat Helmi dan para guru lainnya sadar banyak manfaat yang ia dapatkan menjadi anggota.
"Saya awalnya kurang mengerti apa saja yang diperoleh dari keanggotaan BP Jamsostek, maklumlah ditempat kami itu jaringan kurang bagus sehingga sosialisasi tentang manfaat bagi peserta tidak begitu sampai, lewat kejadian saya ini banyak kawan guru bertanya dan menjadi tahu keuntungan jadi peserta BP Jamsostek," katanya.
Kepala Cabang BP Jamsostek Pekanbaru Uus Supriyadi mengatakan mereka memiliki beragam jenis program yang disesuaikan dengan kebutuhan warga negara Indonesia. Beberapa program yang sudah banyak dikenal adalah Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) yang mana perusahaan sebagai pemberi kerja wajib mendaftarkan pegawainya.
Namun demikian ada layanan BP Jamsostek dimana calon pesertanya wajib mendaftarkan dirinya sendiri secara mandiri atau kolektif melalui kelompok tertentu. Layanan ini dikenal dengan BP Jamsostek Bukan Penerima Upah (BPU), yakni kelompok wirausaha, freelancer dan pekerja paruh waktu.
"Helmi dalam hal ini adalah penerima upah dengan dua program yakni JKK dan JKM, maka ia berhak atas uang tunai atau pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, santunan berupa uang dan Program Kembali Bekerja (Return to work)," kata Uus.
Ia mengatakan ada tujuh manfaat yang diberikan JKK yakni perawatan tanpa batas biaya sesuai indikasi medis, home care service, santunan meninggal sebanyak 48 kali upah, dan santunan cacat total tetap sebesar 56 kali upah.
Kemudian, manfaat beasiswa maksimal sebesar Rp174 juta untuk dua orang anak, return to work (kembali bekerja), dan santunan sementara tidak mampu bekerja terdiri dari 100 persen upah 12 bulan pertama dan 50 persenupah bulan berikut sampai sembuh.
Ikuti Return to Work
Usai alami amputasi Helmi merasakan kehampaan dalam hidupnya, melihat fungsi kakinya tidak lagi mampu untuk menopang kegiatan dirinya apalagi mengurus keluarganya. Ia dalam keputusasaan, dan nyaris stres.
BP Jamsostek memahami kondisi yang dialaminya dan langsung menawarkan untuk mengikuti Program Return to Work (RtW).
"BP Jamsostek yang menyodorkan program Return to Work, saya tidak tahu dan tidak mengerti ini," katanya.
Manajer Kasus Kecelakaan Kerja BP Jamsostek Pekanbaru Kota, Latri Hijrah Yanti mengatakan program RtW diberikan bagi pasien kecelakaan kerja yang cacat anatomis dan cacat fungsional.
"Helmi berhak atas program RtW, karena ia alami cacat anatomi," katanya.
Dia mengutarakan Program Return to Work dapat diikuti oleh pasien kecelakaan kerja yang mengalami cacat anatomi dan cacat fungsional.
Program Return to Work memberikan pelatihan peningkatan kemampuan diri ditambah keterampilan baru sesuai profesi sebelum kecelakaan kerja selama enam bulan dengan 40 jam seminggu, termasuk pemberian alat bantu kaki palsu dan tangan palsu.
Untuk lokasi penyelenggaraan Return to Work BP Jamsostek Pekanbaru bermitra dengan RS Eka Hospital yang merupakan Pusat Layanan Kecelakaan Kerja (PLKK).
Penyelenggaraan Program Return to Work harus multi disiplin dan komprehensif dari tim klinis, dokter BPJP, dokter bedah, dokter ortopedi, tim rehab medis, psikolog, dan dokter okupasi.
"Tujuannya mengembalikan pekerja dapat kembali bekerja sesuai kemampuan kapasitas fisik setelah dilakukan tindakan," ucap Ketua JKK Return to Work RS Eka Hospital, dokter spesialis okupansi Reni Mulyani.
RS Eka Hospital memiliki sarana dan prasarana seperti dokter spesialis, bahkan ini sampai subspesialis.
"RS ini mempunyai lantai khusus yakni lantai tiga yang dipakai untuk tempat penyelenggaraan Return to Work mulai administrasi sampai assessment awal," kata Reni.
Sejumlah dokter terkait juga ditempatkan di tempat tersebut seperti dokter spesialis okupansi, dokter ortopedi, dokter gizi, dan psikolog.
"Kami saling memberikan masukan apa yang menjadi kendala dan melakukan update dengan komunikasi sebagai pesan penting," katanya.
Apabila Program Return to Work telah selesai dijalani maka mereka akan dikembalikan ke perusahaan.
Seperti halnya Suria Helmi yang sudah selesai ikut Program Return to Work, kini sudah siap kembali bekerja mengajar pada sekolah asal.
"Saya merasa terlahir kembali tanpa merasa kehilangan kaki, saya akan berbagi pengalaman hidup kepada murid-murid dan orang yang alami masalah agar bangkit dan tidak putus asa," tukasnya.