Pekanbaru, (antarariau) - Sebagian besar perajin keripik nenas di Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau mengaku kesulitan mendapat modal kerja karena sangat terbatas kesempatan bagi mereka untuk mengakses lembaga keuangan, dan jaminan layanan listrik dari PLN.
"Sebagian besar peraajin untuk akses ke perbankan untuk mendapatkan modal masih sangat lemah, padahal secara kelembagaan mereka sudah ada," kata Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau (UR), Roza Yulida, kepada ANTARA di Pekanbaru, Jumat.
Faperta UR melakukan kajian terhadap potensi dan kendala bagi agroindustri keripik nenas di Kampar. Menurut dia, lembaga keuangan di sentra industri nenas di tingkat desa sudah ada namun baru dimanfaatkan sekitar 50 persen perajin.
Hambatan lain untuk pengembangan bisnis di sektor usaha kecil dan menengah itu adalah kondisi kelistrikan di Kampar yang masih kurang. Ia mengatakan, perajin mengeluhkan PLN masih kerap melakukan pemadaman listrik di Kampar yang mengganggu proses produksi.
Sebabnya, proses produksi keripik nenas butuh waktu sekitar empat jam. Dalam sehari produksi perajin melakukan tiga kali proses produksi dengan produksi sekitar 7,5 kilogram keripik dari satu unit mesin yang dijalankan dengan tenaga listrik.
"Masalah listrik sangat berkaitan dengan kualitas produksi yang dihasilkan," katanya.
Karena itu, ia merekomendasikan agar ada aksi dari pemerintah daerah maupun lembaga lainnya untuk melakukan pembinaaan manajemen bagi kelompok perajin agar mampu mengakses ke perbankan.
"Pemasaran juga perlu penguatan, sedangkan pengembangan produk sebenarnya sudah cukup banyak mulai dari daging smpai limbah, para perajin tidak hanya bisa membuat keripik melainkan juga sirup dan kompos dari limbah nenas," katanya.
Kampar selama ini dikenal sebagai pusat penghasil buah nenas di Riau. Potensi perkebunan nenas di Kecamatan Tambang mencapai 1.550 hektare (ha), sekitar 4,3 juta pohon, dengan total produksi mencapai 2.150 ton per tahun. Dari jumlah itu, lanjutnya, sekitar 1.050 ha berada di Desa Kualu Nenas dengan total produksi 1.456 ton per tahun atau rata-rata 121 ton per bulan.
Rosa mengatakan hingga kini sudah ada 12 perajin keripik nenas yang aktif berproduksi sejak 2002. Mereka sudah memiliki kesadaran membentuk kelompok usaha namun belum diberdayakan, sedangkan koperasi di desa belum dimanfaatkan.
Padahal, potensi bisnis ini cukup menjanjikan karena pendapatan bersih para perajin berkisar Rp4 juta hingga Rp30 juta per bulan tergantung jumlah mesin yang digunakan.
Bisnis tersebut semuanya bersifat industri rumah tangga yang mampu menyerap sedikitnya empat pekerja dari lingkungan keluarga dan empat pekerja dari sekitarnya.