Mempertaruhkan nyawa di jalanan, demi recehan di zona COVID-19

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,corona

Mempertaruhkan nyawa di jalanan, demi recehan di zona COVID-19

Maraknya pengamen dan pengemis di perempatan lampu merah di Kota Pekanbaru di sata Pandemi COVID_19. (Foto: Frislidia/Bagus Pribadi, Antara)

Pekanbaru (ANTARA) - Seperti malam biasanya, dan masih mengabaikan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) di kawasan itu, Gandi (21) memainkan ukulelenya bersama tiga temannya mengamen di perempatan lampu merah di Jalan Tabek Gadang, Kelurahan Tabek Gadang, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru.

Bersama tiga temannya mengamen berharap recehan demi recehan, namun mereka sama sekali tidak peduli terhadap kondisi pandemi COVID-19 yang masih sangat berbahaya itu. Ada pengendara dari dalam mobil melemparkan lembaran dua ribuan, ada juga yang menggunakan kresek melemparkan uang tersebut dari balik kaca jendela mobil agar tidak bersentuhan dengan mereka, apalagi kalau bukan takut tertular COVID-19.

"Sepertinya penyumbang itu sangat berlebihan deh, ketakutan kalau COVID-19 bisa tertular dari kami, padahal kami pun hanya sekadar mencari nafkah. Hidup kini makin susah ya terpaksa turun ke jalan mengamen karena banyak warung makan yang tutup," katanya.

Ironisnya, untuk mengais rejeki pun terhalang aksi penertiban petugas Polantas Kota Pekanbaru, yang saat itu juga menutup jalur lurus, sehingga arus lalulintas dialihkan ke bagian jalan lain dan ini juga menjadi penyebab mereka tak bisa lagi mengamen. Kebijakan PSBM itu lebih untuk menekan penyebaran virus mematikan itu, dan pada saat itu pun Polantas juga sempat memberikan masker dan menyuruh mereka pulang.

"Setelah petugas memberikan masker lalu menyuruh kami pulang karena mereka menjalankan tugasnya. Ironisnya recehan pun tidak bisa terkumpul banyak, padahal recehan itulah yang dibutuhkan agar kami bisa bertahan hidup," katanya.

Kebijakan PSBM pun diterapkan Pemkot Pekanbaru guna menekan penularan COVID-19 dari tiap kecamatan yang ada di Pekanbaru, sebab jumlah kasus COVID-19 di daerah itu sudah mengkhawatirkan.

Lihat saja, data Dinas Kesehatan Pekanbaru, per 12 Oktober 2020 sudah tercatat sebanyak 5.148 kasus positif COVID-19. Rinciannya, 2.091 orang sudah dinyatakan sembuh, 2.960 masih dirawat di rumah sakit dan menjalani isolasi mandiri, serta 97 orang meninggal dunia. Untuk sebaran kasus tertinggi tercatat di Kecamatan Tampan berjumlah 908 orang, disusul Bukit Raya 674, Marpoyan Damai 659, Payung Sekaki 505 dan Tenayan Raya 457 orang.

Kemudian di Kecamatan Sukajadi 314 orang, Rumbai Pesisir 314, Rumbai 239, Limapuluh 195, Sail 176, Senapelan 163 dan Pekanbaru Kota 152 orang. Sementara untuk kasus impor atau warga luar Provinsi Riau berjumlah 397 orang.

Kepala Bidang Resos Dinas Sosial Kota Pekanbaru, Bustami, mengatakan, aksi gelandangan, pengemis, dan pengamen di jalanan masih marak di kota ini namun demikian mereka tetap ditertibkan kendati dalam kondisi COVID-19.

"Selama pandemi COVID-19, Dinsos Pekanbaru belum bisa melakukan pembinaan karena terhambat protokol kesehatan khsusunya menghindari keramaian atau pertemuan tatap muka, namun demikian penertiban tetap dilakukan bekerjasama dengan Satpol PP," katanya.

Selain itu, menurut Bustami, setelah ditertibkan, Dinas Sosial Kota Pekanbaru pun tidak bisa menerapkan pemberlakuan sanksi denda maksimal Rp50 juta pada warga penyandang masalah sosial itu. "Boro-boro dikenakan denda, mereka saja cari makan berharap recehan di jalanan itu," katanya.

Bustami memaparkan dalam periode Januari – Agustus 2020 terdapat gelandangan, pengemis, dan orang terlantar yang dijaring Dinsos Kota Pekanbaru saat beroperasi di jalanan dengan total 280 orang yang terdiri dari anak-anak 59 orang, dewasa 93 orang, Anak berhadapan dengan hukum (ABH) 1 orang, anak punk 9 orang, loper koran 6 orang, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 6 orang, orang terlantar 16 orang, pemilik salon 2 orang, pemulung 3 orang, pengamen 20 orang, pengemis 49 orang, pengguna jasa 5 orang, pengumpulan uang atau barang (PUB) 5 orang, wanita tuna susila 6 orang.

Eksploitasi anak

Bustami mengungkapkan, sebenarnya gelandang, pengemis, dan pengamen itu kebanyakan anak-anak yang masih bersekolah dan memiliki rumah dan keluarga, mereka bukan orang susah, dan sejak diberlakukannya sekolah secara daring oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada 17 Maret 2020, mendorong mereka semakin banyak berada di jalanan.

"Kalau biasanya mereka di jalanan sepulang sekolah, sekarang mereka sejak pagi sudah berada di jalanan, mereka memang memiliki keluarga karena pernah kami menahan mereka dan melepaskannya ketika malam, sorenya sudah ramai orangtuanya datang, bahkan kami sampai meninjau ke rumahnya, ada yang sudah dapat Program Keluarga Harapan (PKH) tapi masih saja di jalanan,” kata Bustami.

Bustami mengungkapkan, orangtua mereka cenderung mengeksploitasi anaknya sendiri sedangkan untuk menindak orang tuanya bukan menjadi tugas Dinas Sosial karena sudah masuk ke ranah pidana dan ketika Dinas Sosial menanyakan motif anak-anak ini di jalanan kerap kali jawabannya selalu sama dengan mengatakan tak ada yang menyuruh mereka karena itu keinginan sendiri.

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau, Dr. Erdianto Effendi SH, MHum menyatakan kegalauannya karena eksploitasi anak marak lagi sehingga penegakan hukum bagi pelaku harus diterapkan tanpa diskriminasi. Maraknya orangtua di Kota Pekanbaru dan sekitarnya mengeksploitasi anaknya untuk mengamen, mengemis di perempatan lampu merah dengan modus menjual tisu, kerupuk dan lainnya.

"Kebijakan ini harus ditempuh guna memberikan pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan anak dalam bentuk eksploitasi, kejahatan seksual, penelantaran dan lainnya yang merugikan anak," sehingga ke depan pelaku menjadi jera," kata Erdianto.

Menurut dia, proses penegakan hukum akan diikuti dan dipatuhi jika hukum ditegakkan tanpa diskriminasi, dan semua yang melanggar hukum harus ditindak, jadi tidak ada celah mengelak atau berlindung.

Menurut dia, untuk tindakan penertiban, bukan tugas Dinas Sosial lagi, karena memang sudah masuk ke ranah pidana dan jika hukum berlaku kepada semua orang, kepada siapapun dia, yakinlah tidak ada yang berani melanggar hukum.

Akan tetapi, katanya, seiring dengan proses penegakan hukum itu, juga harus dilakukan pembinaan dan peningkatan pemahaman bahwa penegakan hukum dilakukan bukan untuk kekuasaan, atau untuk kepentingan sekelompok orang, tetapi untuk kepentingan bersama, ketertiban dan keadilan.

"Karenanya memang Dinas Sosial bukan penegak hukum, tugas mereka hanya pembinaan, dan menegakkan Perda tugas Satpol PP, tetapi itu juga tidak mudah. Masyarakat tidak mendukung Satpol PP untuk menjalankan tugasnya. Saat mereka melaksanakan tugas, selalu ada perlawanan, sementara mereka tidak dibekali personil yang cukup, perlengkapan membela diri selain itu jika bertindak keras dituding melanggar HAM," katanya.

Semestinya, katanya, masyarakat berada di posisi yang sama dengan Satpol PP, mendukung sepenuhnya mereka dalam menjalankan tugas, laporkan, dukung mereka saat menegakkan hukum dan ketertiban, jangan apriori.

"Hukum itu memang keras tapi harus ditegakkan (lex dura septimen scripta). Pada awalnya saat hukum ditegakkan dengan tegas kita merasa terpaksa, itu proses tegaknya hukum. Dengan tegaknya hukum secara tegas, masyarakat akan terbiasa dengan cara meniru (imitasi) perilaku yang baik. Proses berikutnya adalah identifikasi, mengasosiasi diri sebagai orang yang taat hukum, lalu tahap akhir adalah internalisasi, membuat kebiasaan taat hukum, timbul dari diri sendiri, bukan lagi karena terpaksa karena adanya petugas," katanya.

Perlunya pemberdayaan

Terkait permasalahan gelandangan, pengemis, dan pengamen, Pengamat Sosial dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Dr. Elfiandri M.Si cenderung berpendapat pentingnya diberlakukan pemberdayaan kepada mereka karena saat ini yang terlihat di jalanan mayoritas masih berusia muda.

"Anak-anak muda ini harus diberdayakan karena mereka juga beragam, ada yang menawarkan jasa seperti menyanyi, ada juga yang jualan, ada yang hanya minta-minta saja, mereka punya potensi dan harus dibina sesuai potensinya masing-masing, bukan hanya binaan sosial saja, sehingga muncullah komunitas baru dan kita juga tahu mereka ini karena tidak punya modal sehingga mencari uang di jalanan," katanya.

Oleh karena itu, diperlukan pengidentifikasian mereka baik secara mental atau budaya sehingga mengetahui penyebab gelandangan, pengemis, dan pengamen hidup demikian, dan masyarakat harusnya tidak perlu memberi recehan karena kasihan kepada mereka.

"Kalau seandainya mau membantu mereka, pergilah ke lembaga swadaya masyarakat terdekat yang berada di lokasi gelandangan, pengemis, dan pengamen beraksi, salurkan bantuan ke situ, tapi LSM yang memfasilitasi bantuan ini harus terbuka dan selalu memberitahukan ke publik dana yang mengalir," ujar Elfiandri.

Menurut Elfiandri, dalam situasi COVID-19 pemerintah sebaiknya memantau gelandangan, pengemis, dan pengamen karena mereka termasuk dalam golongan rentan terkena COVID-19, pemerintah harus memberikan subsidi berupa alat protokol kesehatan dan mengedukasi mereka supaya mengetahui informasi dan aturan yang jelas selama situasi COVID-19.

"Prinsipnya kan kita tak ingin mereka di jalanan, tapi kalau cara mencari nafkahnya harus seperti itu tentu harus diberdayakan oleh pemerintah, dibina saja cara berkegiatan di jalanan yang benar di masa pandemi, jangan sampai karena mereka tak punya uang lalu dibiarkan oleh negara, karena negara berkewajiban melindungi masyarakatnya," katanya.