Pekanbaru, 29/12 (ANTARA) - Medio Desember 2010, maskapai Riau Airlines memarkirkan satu unit pesawat jenis Boeing 737 seri 500 miliknya di landasan pacu Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru.
Meski dikabarkan telah berusia 17 tahun, namun "burung besi" buatan Amerika Serikat dengan registrasi bertuliskan PK-RAW di bagian ekor yang didominasi warna putih dengan nama dan logo baru "Riau Air" itu masih terlihat tangguh.
Kehadiran pesawat itu membuktikan bahwa pesawat Boeing yang disebutkan enam bulan terakhir bukan cerita bohongan, tapi benar adanya. Pada Selasa (14/12) Boeing 737 milik Riau Airlines itu menjalani uji terbang yang dalam dunia penerbangan dikenal dengan istilah "proving flight".
"Uji coba terbang yang dibuktikan dalam 'proving flight' siang ini, menunjukkan bahwa kita siap beroperasi kembali menerbangi rute yang telah ada," ujar Direktur Komersial Riau Airlines, Revan Menzano.
Kedatangan pesawat Boeing 737 tanpa nomor penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta itu, juga membawa staf Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) beserta awak Direktur Produksi Riau Airlines, Captain Maman Syaifurrohman.
Jika uji terbang mulus, maka dijadwalkan 18 Desember 2010 maskapai melayani penerbangan komersil diantaranya rute Pekanbaru-Malaka, Pekanbaru-Jakarta, dan Pekanbaru-Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, kata Maman.
Pernyataan kedua direksi Riau Airlines itu seakan memberikan harapan baru bagi dan fakta bahwa maskapai BMUD milik 20 pemerintah daerah di Pulau Sumatera itu bakal kembali mengudara, setelah menghentikan kegiatan bisnis sejak September 2010.
Namun dua pekan setelah "proving flight", tak terdengar lagi kabar menggembirakan dari kantor pusat maskapai Riau Airlines di Pekanbaru.
Terancam
Kantor Riau Airlines yang terletak di Jalan Sudirman, No.474, terlihat sepi aktivitas karena perusahaan itu memang telah merasionalisasi karyawan akibat belitan krisis keuangan menyusul membengkaknya hutang mencapai Rp200 miliar.
Padahal, sepekan sebelum uji terbang, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti Gumay pun mengancam akan mencabut izin rute Riau Airlines itu dan membekukan Air Operator Certificate (AOC) karena Riau Airlines tidak beroperasi selama hampir tiga bulan berturut-turut.
Sesuai aturan Menteri Perhubungan KM 25/2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, jika maskapai tidak beroperasi selama 21 hari berturut-turut maka sanksinya yang didapat izin rute dicabut, kemudian ditangguhkan AOC hingga pembekuan izin usaha.
Belakang muncul kabar Direktorat Perhubungan Udara Kemenhub tidak memberikan izin terbang terhadap rute yang dilayani setelah maskapai itu melakukan "proving flight", karena pesawat yang dioperasikan hanya satu unit yakni Boeing 737-500.
Otoritas penerbangan itu memberi tenggat waktu satu pekan kepada Riau Airlines agar menambah armada pesawat menjadi dua, sebelum izin rute terbang diberikan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam aturan penerbangan.
Entah disadari atau tidak, Asisten II Setdaprov Riau, Emrizal Pakis, memprotes kebijakan yang dikeluarkan Kemnehub yang bertujuan melindungi konsumen karena masih ditemukan maskapai menelantarkan penumpang lewat alasan kendala teknis pesawat.
"Mereka (Kemenhub) seharusnya tidak bisa memaksakan kehendak. Sebab masih butuh waktu lama untuk melengkapi pesawat yang disyaratkan minimal dua unit agar ada pengganti jika satu pesawat rusak," protesnya.
Suntikan modal
Polemik bakal beroperasinya kembali Riau Airlines yang mayoritas kepemilikan saham dikuasai Pemprov Riau memang masih menjadi tanda tanya besar, bahkan direksi dan komisaris maskapai itu tidak mampu memberi kepastian.
Sebab belum ada pihak bisa menjawab dengan kondisi maskapai itu saat ini terdapat pihak yang diuntungkan?
Namun tahun depan dipastikan Pemprov Riau bakal menyuntikkan lagi dana sebesar Rp15 miliar dari APBD Riau 2011.
Kalangan legislatif menilai dengan suntikan investasi dan beroperasinya kembali maskapai itu berpotensi menambah utang yang telah menumpuk sejak perusahaan itu berdiri tahun 2002.
"Beroperasinya Riau Airlines, berarti menambah utang yang ada. Sebab terakhir kali dalam rapat dengar pendapat, dibutuhkan Rp191 miliar untuk membayar tunggakan saja," kata anggota Komisi B DPRD Riau, Zulfan Heri.
Tunggakan utang kepada Bank Muamalat Rp60 miliar atas pembelian tiga pesawat Fokker 50 tahun 2007 dan belum termasuk pinjaman pengembangan usaha, kemudian Rp17 miliar dari penyewaan dua Fokker 50 milik Aero Century, asuransi, komponen pesawat dan tunggakan lain.
Data terakhir hingga Desember 2009, tercatat Pemprov Riau telah menggelontorkan Rp67,2 miliar atau sekitar 50,6 persen dari total penyertaan modal maskapai itu sebesar Rp132,9 miliar.
Itu belum termasuk suntikan modal Rp25 miliar Februari 2010, kemudian Rp10 miliar di awal Oktober 2010 untuk tambahan pengadaan pesawat Boeing 737-500 serta operasional.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, merekomendasikan penjualan maskapai itu ke pihak swasta karena perusahaan itu diduga telah menjadi "mesin ATM" pejabat di Riau.
"Rakyat terus menanggung kerugian BUMD itu, sedangkan dana APBD yang dipakai tidak pernah transparan dan baru diketahui publik setelah dicairkan. Kondisi itu hanya menguntungkan pejabat saja," tegas Koordinator FITRA Riau, Fahriza.
Profesionalisme
Dana Rp15 miliar memang tidak menimbulkan pengaruh berarti bagi Riau Airlines, sebab dunia penerbangan merupakan merupakan industri yang sarat modal, karena biaya operasional yang dikeluarkan tidak bisa ditawar-tawar.
Meski di dunia penerbangan dikenal istilah musim ramai penumpang (peak season) atau sebaliknya "low season", tapi avtur yang digunakan sebagai bahan bakar tidak bisa dikurangi sedikitpun.
Namun jauh lebih penting dari itu, Riau Airlines harus memiliki modal dasar yakni profesionalisme mulai dari jajaran karyawan paling bawah, manajemen, hingga di level direksi.
"Jika ingin bangkit, maka Riau Airlines harus dikelola oleh kalangan profesional. Jangan ada orang yang 'dititipkan' di perusahaan itu," kata Sekretaris DPD ASITA Riau, Ibnu Mas'ud.
Kerabat lingkungan pejabat Pemprov Riau yang "dititipkan" di maskapai itu disinyalir telah menjadi pemicu konflik dan krisis berkepanjangan, sehingga berbagai kebijakan yang diputuskan perusahaan tidak bisa dijalankan karena tarik-menarik kepentingan orang "titipan".
Belum termasuk lagi orang di luar perusahaan, tetapi masih berada dalam lingkungan pejabat yang diyakini memiliki andil besar dalam menentukan arah tujuh BUMD yang dimiliki Pemprov Riau karena telah menjadi penasehat sang pejabat.
Jika para pengambil kebijakan di Riau Airlines tidak profesional, maka seberapa banyak APBD Riau yang digelontorkan akan menguap tak berbekas.
Atau memang kondisi maskapai itu sengaja diciptakan "hidup segan mati tak mau", yang seakan membenarkan tudingan FITRA Riau bahwa Riau Airlines telah menjadi mesin ATM bagi pejabat di Riau.