Pekanbaru (ANTARA) - Koto Mesjid, sebuah desa yang berlokasi di Kecamatan XIII Koto Kampar, Provinsi Riau dijuluki sebagai kampung patin setelah seluruh masyarakat yang tinggal di sana menjadikan jenis ikan sungai itu sebagai sumber pendapatan.
Akademisi Universitas Riau, Dr Saberina Hasibuan kepada Antara di Pekanbaru, Selasa mengatakan selain Koto Mesjid, juga terdapat desa lainnya yang mendapat julukan sama, Desa Pulau Gadang. Terdapat 500 kepala keluarga yang tinggal di kedua desa bertetangga tersebut dan menggantungkan hidup dari budidaya patin.
"Dua desa itu adalah kawasan yang paling berkembang dalam budidaya patin. Potensi perikanan keduanya sangat besar," kata pengajar Fakultas Perikanan Universitas Riau itu.
Dia mengatakan masyarakat desa membudidayakan ikan patin secara individu maupun berkelompok dengan skema koperasi. Selain itu, kegiatan budidaya ikan beberapa diantaranya juga melibatkan perusahaan yang langsung berhubungan dengan para peternak.
Setiap satu rumah pasti memiliki kolam ikan patin. Data terakhir terdapat lebih dari 780 kolam atau setara 62 hektare.
Hasilnya pun cukup memuaskan dengan rata-rata panen mencapai 6 ton setiap harinya. Harga yang diterima pasaran juga cukup menggiurkan mengingat ikan patin tidak hanya dijual dalam keadaan hidup, melainkan diolah menjadi olahan ikan asap atau dikenal dengan salai, kerupuk, hingga nuget.
Akan tetapi, Saberina melihat perlu adanya pembenahan dalam kegiatan budidaya mereka. Terutama berkaitan dengan limbah yang dihasilkan. Meskipun selama ini limbah sisa budidaya belum mencemari lingkungan, namun jika tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengkhawatirkan.
Ia menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilaksanakan sekitar satu bulan lamanya, terungkap jika pakan ikan yang disebar selama pertumbuhan menghasilkan limbah berupa penumpukan sisa pakan di dasar kolam.
Dia menuturkan Kegiatan budidaya ikan Patin di desa Koto Mesjid menggunakan pakan pelet hasil formulasi sendiri dan dibuat menggunakan bahan-bahan yang tergolong murah seperti ikan asin untuk dijadikan tepung ikan, dan dedak.
Pemberian pakan dalam jumlah besar berpotensi pada peningkatan TSS (total suspended solit) dan akhirnya terjadi penumpukan bahan organik di dasar kolam. "Peningkatan TSS ini diikuti dengan perubahan warna air kolam," ujarnya.
Laju sedimentasi pakan pada kolam tanah budidaya ikan Patin intensif perlu diketahui agar kegiatan budidaya dapat dilakukan secara berkesinambungan. Monitoring TSS dan warna air menggunakan sedimen trap pada kolam budidaya ikan patin intensif dilakukan bersama masyarakat. Ada empat alat yang dipasang pada kolam mitra untuk membantu dalam monitoring ini.
"Faktor fisik yang mempengaruhi distribusi konsentrasi sedimen tersuspensi terutama adalah pola sirkulasi air, pengendapan gravisi, deposisi, dan resuspensi sedimen," jelasnya.
Saberina pun menyarankan kepada peternak ikan untuk dapat memanfaatkan limbah pakan selama budidaya itu agar lebih bermanfaat seperti sebagai pupuk dan tidak lagi membuang yang berpotensi merusak lingkungan. Selain itu, dia juga menyarankan agar penggunaan bahan pakan yang lebih ramah agar kegiatan budidaya berkelanjutan.
Baca juga: KEM Batu Bersurat panen ikan patin tiga ton
Baca juga: Punya Sungai dan Lahan Kosong Luas, Inhu Sebagai Penghasil Ikan Patin Terbanyak Perlu Dikembalikan