Oleh Andi Jauhari
Jakarta (Antarariau.com) - "Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi sudah memiliki undang-undang dan peraturan pemerintah
tentang Pendidikan Kedokteran, sehingga mereka dapat bersinergi dengan
Kementerian Kesehatan. Dan karena itu, kami menyusun strategi ke arah
tersebut,".
Pernyataan itu dicuatkan Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran
Hewan Indonesia (AFKHI) Prof drh Srihadi Agungpriyono, PhD, PVet(K)
dalam diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) yang
berlangsung di Bogor, Jawa Barat, selama dua hari pada 6-7 November
2018.
Kegiatan yang dihadiri oleh delegasi 11 Fakultas Kedokteran
Hewan (FKH) se-Indonesia, tim pakar, dan nara sumber terkait lainnya,
serta Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) periode
2014-2018 Dr drh Heru Setijanto, PAVet (K) dan periode 2018-2022 drh M
Munawaroh, MM, menghasilkan sebuah keputusan.
Keputusannya adalah penegasan bahwa "upaya penguatan
Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan Indonesia adalah sebuah
keniscayaan, dan sudah menjadi keharusan dan tidak dapat ditunda
lagi".
Pada diskusi bertajuk "Review Dokumen Peraturan
Perundang-Undangan Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan" itu, Srihadi
yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjelaskan dibandingkan
dengan Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi, posisi Pendidikan
Kedokteran Hewan belum memiliki dasar hukum yang cukup memadai dalam
memfasilitasi pemerintah daerah ataupun kementerian lain untuk
berpartisipasi.
Ia memberi contoh di pemerintah daerah yang terkategori "kantung
ternak" maupun Kementerian Pertanian RI.
"Padahal akumulasi dokter hewan ada di sana," katanya.
Terkait belum memadainya dasar hukum bagi Pendidikan Kedokteran
Hewan, dalam diskusi kelompok terarah itu, secara khusus dilakukan
konsultasi dengan pakar hukum untuk merumuskan dasar hukum yang lebih
tepat.
Pakar hukum Dr Ni Luh Gede Astariyani, SH, MH diundang dalam
kegiatan itu untuk memberikan pencerahan.
Dalam kesempatan tersebut, narasumber menyampaikan makalah dengan
judul "Teknik Penyusunan Peraturan Perundang Undangan: Suatu Analisis
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri".
Setelah dilakukan kajian, Ni Luh Gede Astariyani menyarankan agar
AFKHI menjajaki dasar hukum dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Koordinator mata kuliah Legislasi dan Etika Veteriner FKH
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr drh Bambang Sumiarto
dan Dr RP Agus Lelana, SpMP, MSi dari IPB mendukung dengan usul
narasumber tersebut.
Dukungan tersebut, terutama dikaitkan dengan keterlibatan
Indonesia dalam Agenda Keamanan Kesehatan Global (Global Health
Security Agenda/GHSA).
Proaktivitas Keilmuan
"Keterlibatan Indonesia dalam GHSA tentu memerlukan proaktivitas
keilmuan, kepakaran dan sumber daya manusia dengan kompetensi
kedokteran hewan," kata Agus Lelana.
Selain itu, kata dia, juga dalam mendukung swasembada pangan
asal hewan melalui program ketahanan, keamanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
GHSA, adalah sebuah gerakan kesehatan global yang digagas
oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam agenda itu, pemerintah AS bekerja sama dengan negara
lain, organisasi internasional beserta pemangku kebijakan publik serta
swasta demi menuju dunia yang aman, bebas dari ancaman penyakit
menular, sekaligus mempromosikan keamanan kesehatan global sebagai
prioritas keamanan internasional.
Indonesia sendiri tergabung di dalam inisiatif GHSA, yang
telah diluncurkan sejak Februari 2014 oleh AS dan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO).
Pada 20-21 Augustus 2014, Indonesia sempat menjadi tuan rumah
pertemuan global tentang GHSA terkait penyakit menular dari hewan ke
manusia atau "Global Meeting on Managing Zoonotic Infectious
Diseases", yang diselenggarakan di Jakarta.
Indonesia pada 2016 kembali menjadi tuan rumah pertemuan GHSA
yang diikuti 53 negara anggota, WHO dan Bank Dunia. Pertemuan tersebut
diharapkan memberi kontribusi terhadap kemajuan dunia yang lebih aman
dari ancaman kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI melaporkan bahwa sejak "outbreak"
(kejadian luar biasa) wabah Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS)
di kawasan Asia pada tahun 2003, ancaman keamanan kesehatan global
terus menunjukkan kecenderungan peningkatan.
Di antaranya adalah terjadinya "outbreak" flu burung/avian
influenza (H5N1) tahun 2004, flu babi/swine influenza (H1N1) tahun
2009 --yang dideklarasikan WHO sebagai pandemi pertama kalinya di abad
ke-21 --, Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV)
tahun 2012-2013, Ebola tahun 2014, dan Zika tahun 2015.
Selain aspek kesehatan, juga berdampak pada kerugian ekonomi
akibat "outbreak" di kawasan Afrika secara keseluruhan mencapai 30
miliar Dolar AS.
Bahkan, Indonesia pun pernah mengalaminya saat menghadapi
"outbreak" flu burung yang menanggung beban ekonomi sampai Rp5
triliun, serta penurunan perdagangan dan pariwisata.
"Simfoni Nasional"
Srihadi Agungpriyono menegaskan bahwa Pendidikan Tinggi Kedokteran
Hewan Indonesia yang dimaksud adalah suatu program yang disebut
"simfoni nasional".
Artinya, program itu melibatkan seluruh kelembagaan
pendidikan tinggi dalam menghasilkan lulusan S1, S2 dan S3 Kedokteran
Hewan (Sains Veteriner), lulusan dokter hewan dan/atau dokter hewan
spesialis, serta lulusan pendidikan vokasi diploma kesehatan hewan.
Program "simfoni nasional" itu diharapkan berdampak dan
memberikan nilai tambah yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyakat.
Mereka sepakat bahwa penguatan pendidikan kedokteran hewan
ini harus memiliki landasan hukum.
Dengan pendekatan itu pelibatan kementerian lain ataupun
organisasi profesi dalam penguatan pendidikan tersebut dapat
dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif.
Ketua tim manajemen lokakarya drh Teguh Budi Pitojo, PhD
menjelaskan kegiatan FGD itu merupakan salah satu program peningkatan
mutu Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan yang didukung oleh Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti.
Pada tahun 2017 telah dihasilkan naskah akademik Pendidikan Tinggi
Kedokteran Hewan Indonesia. Sedangkan pada 2018 diharapkan kerangka
dasar hukum sudah tersusun.
Selain menetapkan dasar hukum, AFKHI secara pararel telah membahas
penyempurnaan sistem ujian nasional kompetensi dokter hewan maupun
sistem akreditasi program studi/perguruan tinggi.
Ia menyebut kehadiran Ketua Umum PB-PDHI 2014-2018 Dr drh
Heru Setijanto, PAVet (K) dan periode 2018-2022 drh M Munawaroh, MM
dalam FGD memiliki arti tersendiri.
Karena, selain dalam rangka mengenalkan ketua umum baru melalui
Kongres PDHI 2018 yang baru diadakan 1-3 November 2018 di Bali,
pihaknya juga mendukung upaya AFKHI untuk mendapatkan dasar hukum
dalam pendidikan dokter hewan tersebut.
Dukungan penguatan Pendidikan Dokter Hewan ini dituangkan dalam
salah satu Ketetapan Kongres 2018 di Bali, sehingga diharapkan dapat
mewujudkan sekaligus keniscayaan lahirnya landasan hukum yang kuat
bagi lingkup kedokteran hewan.
***4***