Pekanbaru, 13/7 (ANTARA) - Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau Trisnu Danisworo mengatakan kontribusi perusahaan industri kehutanan dan kelapa sawit masih sangat minim untuk membantu penyelamatan harimau Sumatera di Riau dari kepunahan.
"Kontribusi masih sangat minim sekali," kata Trisnu ketika dihubungi ANTARA dari Pekanbaru, Selasa.
Menurut dia, baru ada satu perusahaan swasta dari puluhan perusahaan di Riau, yang beroperasi di sekitar habitat harimau, memiliki program khusus untuk penyelamatan harimau.
Sedangkan perusahaan lainnya, kata dia, baru sekadar mencadangkan kawasan konservasi, padahal hal tersebut belum cukup untuk menghindari terjadinya konflik harimau dan manusia akibat gangguan pada ekosistem satwa dilindungi itu.
"Baru ada satu perusahaan, yakni Sinar Mas yang punya program berupa pencadangan kawasan mereka untuk konservasi di habitat harimau di daerah Senepis, dan rencana pembangunan lokasi penangkaran untuk memberi makan harimau liar," katanya.
Ia mengatakan kondisi memprihatinkan akibat gangguan ekosistem harimau Sumatera terjadi di daerah Kuala Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu. Keberadaan perusahaan di daerah tersebut dinilai masih sangat minim untuk membantu menyelamatkan harimau yang tersisa.
Selain itu, ia juga mengkritisi perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar habitat harimau seperti di Suaka Marga Satwa Kerumutan dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
"Persoalan penyelamatan harimau yang paling utama adalah akibat habitat yang makin sempit karena ekosistem mereka terganggu. Dampaknya, harimau kekurangan sumber makanan sehingga terjadi konflik dengan manusia," katanya.
Humas WWF Riau Syamsidar mengatakan, pemerintah dan kalangan pengusaha perlu membuat kebijakan untuk membuat daerah di sekitar kawasan hutan konservasi sebagai koridor satwa pelestarian harimau.
Koridor satwa atau koridor biologis akan menghubungkan kawasan konservasi agar satwa yang bersifat menjelajah seperti harimau dapat berpindah untuk keberlanjutan populasi mereka.
"Sebab ada kecenderungan satwa seperti harimau tetap menjelajah di luar kawasan konservasi dan dari survei juga info dari masyarakat juga bisa diketahui banyak sekali tanda-tanda keberadaan harimau di luar kawasan konservasi," katanya.
Berdasarkan hasil pemantauan kamera perangkap (camera trap) di daerah luar kawasan konservasi Bukit Tigapuluh dan Suaka Marga Satwa Rimbang Baling, ujar Syamsidar, menunjukan bahwa dua kali sosok harimau tertangkap kamera pada Mei lalu.
Di sisi lain, hutan di daerah tersebut mulai beralih fungsi karena banyak didapatkan eskavator untuk membuka lahan.
Menurut dia, keberadaan aktivitas manusia dan perusahaan yang tak dibatasi di kawasan tersebut akan memicu konflik antara manusia dan harimau.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika areal di antara dua kawasan konservasi tersebut tetap dijaga dan dijadikan koridor satwa, khususnya untuk harimau Sumatera.
Berdasarkan data WWF, jumlah harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) yang berhasil diidentifikasi hingga 2009 berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor atau sekitar 10 persen dari jumlah populasi satwa liar itu di Pulau Sumatera.
Selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Artinya, bisa dikatakan rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.