Jakarta, (Antarariau.com) - Ketegangan kembali terjadi di Palestina usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan pengakuan terhadap Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel dalam sebuah pernyataan resmi dua pekan lalu.
Pernyataan tersebut tidak hanya memicu ketegangan di Palestina, namun juga dunia dalam skala besar, termasuk kecaman dari negara Uni Eropa yang merupakan sekutu abadi Amerika.
Kondisi Palestina yang menghadapi penjajahan telah berlangsung 100 tahun, praktis sejak keluarnya Deklarasi Balfour pada 1917 yang memberikan ruang gerak bagi kaum Yahudi untuk "hijrah" ke Tanah Palestina.
Sementara, mayoritas negara di dunia telah menikmati kemerdekaan, terlepas dari adanya konflik yang masih terjadi di beberapa kawasan, hanya Palestina yang hingga kini masih berada dalam pendudukan Israel.
Menyinggung hal tersebut, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal menilai negara-negara di seluruh dunia memiliki utang kepada Palestina untuk membantu mencapai kemerdekaan penuh atas penjajahan yang dilakukan oleh Israel.
Ia memaparkan pada 1945 hanya ada sekitar 50 negara merdeka di dunia, akan tetapi sekarang telah mencapai 193 negara atau hampir empat kali lipatnya.
Dari jumlah ini, hanya ada satu yang belum merdeka, yaitu Palestina, kata Dino yang kini aktif dalam Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu.
Menurut ia, status Palestina yang menjadi satu-satunya negara yang belum merdeka harus menjadi tanggung jawab bersama kalangan internasional untuk membantu negara tersebut memperoleh kemerdekaan.
Lebih-lebih dengan menurunnya perhatian dunia kepada Palestina pada beberapa tahun terakhir akibat fokus perang melawan ISIS, kisruh demokrasi Timur Tengah, krisis migran, pemilu AS, Brexit, dan sebagainya.
Bahkan, AS yang menjadi penengah dalam konflik antara Palestina dan Israel tidak memberikan perhatian menyeluruh dalam masa akhir kepemimpinan Presiden Barack Obama, yang dinilai Dino tidak memprioritaskan aspek tersebut.
Munculnya pengakuan Presiden Trump atas status Yerusalem dan rencana pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota tersebut pun memunculkan banjir kecaman dari berbagai kalangan internasional.
Justru dari hal ini bisa jadi momentum yang baik untuk mengembalikan perhatian internasional terhadap Palestina, pungkas ujar Dino menambahkan.
Hal senada juga disampaikan Duta Besar Yordania untuk Indonesia Walid Al Hadid dalam sebuah kesempatan di Jakarta.
Secara tegas ia mengatakan isu Palestina dan Yerusalem pada khususnya, bukan hanya wewenang negara-negara sahabat, seperti Indonesia, Arab, ataupun Yordania, melainkan isu seluruh umat manusia di dunia.
Yerusalem bukan hanya isu bagi umat Muslim atau Islam, akan tetapi juga Kristiani, karena kota tersebut merupakan salah satu lokasi tersuci di dunia, pungkas Walid menambahkan.
Dari masalah yang mencuat ini, perhatian seluruh dunia pun bersatu, bahkan Uni Eropa menolak kebijakan yang dinilai sembrono tersebut.
Tindakan tersebut, ujar dia, menjadi "wake up call" bagi seluruh umat manusia, karena tidak hanya soal nasib Palestina sebagai negara tetapi juga merupakan isu kemanusiaan.
Kecaman Keras
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun dalam pernyataan resminya di Jakarta menilai tindakan Trump adalah aksi ilegal yang aneh, karena tidak memiliki dasar secara politik dan mencederai hukum internasional.
Padahal, Yerusalem merupakan budaya spiritual dan ibu kota Palestina yang telah diakui oleh 138 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Komunitas internasional pun mengetahui bahwa tindakan Trump adalah keputusan yang tidak bisa diterima dan semua tahu bahwa Yerusalem adalah ibu kota Palestina dan menjadi hak warga Palestina.
Menurut Zuhair, tindakan tersebut memiliki konsekuensi politik yang sangat besar karena dapat menggugurkan peran kepemimpinan AS dalam kancah internasional.
Tindakan tersebut, kata dia, merupakan era baru sebuah pelanggaran HAM, dan seharusnya usai melakukan tindakan ini AS sudah tidak pantas untuk membicarakan hukum di ranah internasional.
Amerika mengaku selalu mengedepankan hukum dan keadilan, namun pada saat yang bersamaan justru telah melakukan pelanggaran di bidang tersebut.
Padahal, ucap dia, komunitas internasional justru sangat menghargai hukum internasional yang menaungi Palestina dan penduduknya.
Menyikapi masalah ini, pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan enam poin penting dalam KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Turki sebagai respons atas pengakuan AS terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dalam penyampaian tersebut, salah satu isinya ialah bahwa Indonesia mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Presiden Joko Widodo yang menghadiri agenda tersebut juga meminta OKI harus secara tegas menolak pengakuan unilateral tersebut dan menekankan "Two State Solution" adalah satu-satunya solusi.
Selain itu, Kepala Negara juga mengajak semua negara yang memiliki kedutaan besar di Tel Aviv untuk tidak mengikuti langkah AS yang berencana memindahkan perwakilannya ke Yerusalem.
Menanggapi sikap pemerintah Indonesia tersebut, Dino pun menilai secara diplomatik kenyataannya Indonesia tidak bermain di lini pertama dalam isu Palestina, sebagaimana yang telah dilakukan AS, Mesir, Arab Saudi, Yordania, Rusia, Uni Eropa, Turki, dan Norwegia.
Indonesia, kata dia menjelaskan, lebih berada pada lini kedua karena masih terbatasnya peran.
Oleh karena itu, peluang terbesar Indonesia, antara lain menyulut perhatian dan tekanan dunia internasional serta membantu persiapan pemerintah Palestina yang mapan.
Di sini, katanya melanjutkan, Indonesia bisa bermain secara "agresif" dengan turut menggalang ASEAN, OKI, PBB, dan berbagai forum lain untuk meningkatkan dukungan moral, politik, diplomatik, dan ekonomi bagi Palestina.
Selain itu, Indonesia juga bisa membantu kampanye meningkatkan pengakuan negara-negara dunia terhadap "State of Palestine".