Selamatkan Terumbu Karang Indonesia

id selamatkan terumbu, karang indonesia

Selamatkan Terumbu Karang Indonesia

Jakarta, (Antarariau.com) - Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan terumbu karang yang membawa berkah ekonomi yang besar bagi rakyatnya.

Hasil studi Matthew R P Briggs (2003), misalnya, memperkirakan luas terumbu karang yang dimiliki Indonesia ini mencapai 86 ribu kilometer persegi atau setara dengan 14 hingga 18 persen dari total terumbu karang dunia.

Memiliki terumbu karang bawah laut yang demikian besar dengan pesona dan keunikannya yang beragam itu merupakan anugerah Ilahi bagi negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini.

Betapa tidak, nilai ekonominya saja diperkirakan mencapai setidaknya 1,6 miliar dolar AS per tahun (Briggs, 2003).

Karenanya, tak berlebihan jika Herman Cesar (1996) menyebut terumbu-terumbu karang bersama kehidupan bahari yang menyertai keberadaannya itu sebagai harta karun alami terbesar Indonesia.

Namun, selama berpuluh tahun, berbagai ancaman terus mengintai kelestarian kekayaan bahari Indonesia ini.

Hasil studi Cesar (1996) menunjukkan bahwa ancaman tersebut umumnya datang dari kegiatan manusia, seperti praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun, eksploitasi sumber daya ikan, dan pembangunan pariwisata.

Sekalipun penangkapan ikan dengan cara meledakkan bom molotov ke laut ini bukanlah satu-satunya penyebab kerusakan terumbu karang di Tanah Air, praktik tak ramah lingkungan dan bahkan berbahaya ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi Indonesia.

Briggs mencatat nilai kerugian ekonomi yang diderita Indonesia dalam 20 tahun mendatang akibat praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak oleh sejumlah nelayan tradisional di beberapa tempat di Tanah Air itu diperkirakan mencapai 920 juta dolar AS.

Penangkapan ikan dengan bahan peledak yang diperkirakan telah dipraktikkan di perairan Nusantara sejak Perang Dunia II itu telah menarik perhatian jurnalis Indonesia dan asing.

Dalam peliputannya, mereka tak hanya menyoroti isu ini dari beragam sudut pandang, seperti akar masalah maupun kehidupan sosial/ekonomi nelayan, tetapi juga bagaimana dampaknya terhadap terumbu karang serta kisah pedih nelayan yang menjadi korban dari praktik penangkapan ikan yang destruktif ini.

Salah satu pegiat media asing yang pernah mengangkat soal praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak di laut Indonesia ini adalah pembuat film dokumenter asal Jerman, Florian Kunert.

Dalam film dokumenternya berjudul "Why This Indonesian Fisherman Risked It All" yang disiarkan IRIN (media independen nirlaba) pada 2016, Kunert mengangkat kisah pilu Lino, seorang nelayan kecil Indonesia dari Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pria ini kehilangan pergelangan tangan kirinya akibat bom molotov yang baru pertama kali digunakannya dalam menangkap ikan itu keburu meledak sebelum terlempar ke laut.

Dari film dokumenter berdurasi sekitar tiga menit yang dapat disaksikan di kanal media sosial YouTube (https://www.youtube.com/watch?v=AHI-B-4c2NU) itu, Lino mengatakan dia menyadari risiko bahaya yang mengintai dirinya saat menggunakan bom molotov untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.

Namun, dia tak punya banyak pilihan di tengah kemiskinan yang mendera keluarganya dan ketiadaan pekerjaan yang dirasanya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Dalam kondisi yang serba sulit itu, Lino memutuskan untuk mencoba menggunakan bahan peledak untuk pertama kalinya dengan harapan hasil tangkapannya bisa lebih besar dari sebelumnya.

Sebelum kecelakaan yang nyaris mengancam nyawanya itu terjadi, menurut Lino, pendapatannya per hari hanya satu setengah dolar AS atau sekitar Rp20.000.

Dengan pendapatan sebesar itu, tak mudah bagi Lino untuk menghidupi keluarganya padahal tanpa diketahui banyak nelayan kecil seperti dirinya, nilai jual hasil tangkapan para nelayan Indonesia di pasar dunia jauh di atas rupiah yang mereka terima di Tanah Air.

Menurut film dokumenter karya Florian Kunert ini, hasil tangkapan para nelayan Indonesia tersebut dihargai 180 dolar AS per kilogram setelah memasuki pasar dunia.

Kehidupan harus tetap berjalan. Dengan kondisi fisik yang tak lagi sempurna, Lino melanjutkan perjuangannya menghidupi keluarga dengan menangkap gurita kecil di pantai. Dari usahanya ini, dia berpenghasilan sekitar tiga dolar AS atau sekitar Rp40 ribu per hari.

Seperti pengalaman Lino, penangkapan ikan dengan bahan peledak ini tidak hanya mengancam nyawa banyak nelayan tetapi juga, seperti dicatat Kunert, menjadi salah satu penyebab utama kerusakan terumbu karang.

Ancaman serius terhadap terumbu karang dan ekosistem bahari negeri ini akibat praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak sangat disadari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Untuk mengatasi masalah ini, Susi memandang penting pemerintah dan kepolisian daerah melakukan penegakan hukum terhadap mereka yang melanggar karena model penangkapan ikan dengan bahan peledak ini telah ikut merusak terumbu karang Indonesia.

Tentu, penegakan hukum bukan satu-satunya solusi. Pemberian alat tangkap ramah lingkungan seperti yang pernah dijanjikan Menteri Susi kepada para nelayan perlu terus dilakukan.

Disamping itu, upaya menekan praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak ini pun bisa dilakukan dengan membekali para nelayan dan anggota keluarganya dengan keahlian-keahlian alternatif, seperti budi daya ikan laut dan budi daya perairan (akuakultur).

Dengan beberapa pendekatan berbasis masyarakat ini, diharapkan akan lebih banyak nelayan yang dapat disadarkan dan diyakinkan bahwa mereka dapat menghidupi diri dan keluarganya secara lebih baik dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan dan sumber daya kelautan.

Keberadaan terumbu karang yang demikian besar di perairan Nusantara ini sudah selayaknya dilestarikan sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa syukur atas anugerah besar Tuhan kepada Bangsa Indonesia.