Pekanbaru (Antarariau.com) - Bank Indonesia menyatakan kondisi ekonomi Provinsi Riau yang kini masih lesu, berpeluang untuk tumbuh hingga mencapai 2,5 persen pada triwulan IV-2016.
"Untuk triwulan IV, kami optimistis pertumbuhan akan positif di kisaran 2,2 hingga 2,5 persen," kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau, Ismet Inono, di Pekanbaru, Selasa.
Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 memang masih menunjukkan tren tidak menggembirakan, karena hanya tumbuh 1,1 persen dibandingkan triwulan II yang mencapai 2,46 persen. Namun, terdapat tendensi pertumbuhan pada akhir tahun bisa meningkat terutama karena kontribusi dari tingkat konsumsi.
"Kita punya konsumsi rumah tangga yang cukup kuat, dan konsumsi pemerintah banyak perbaikan karena ditargetkan penyerapan anggaran (APBD) bisa mencapai 86 persen," ujarnya.
Menurut dia, sektor minyak dan gas (Migas) yang mengalami tren penurunan ikut menggerus pertumbuhan ekonomi Riau. Apabila sektor Migas dikeluarkan, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi mencapai 2,87 persen pada triwulan III-2016. "Artinya, kita memang tak bisa berharap banyak pada sektor Migas itu," kata Ismet.
Hanya saja, Ismet mengatakan pemerintah daerah perlu mewaspadai naiknya tingkat inflasi yang pada triwulan III sudah mencapai 3,27 persen. Jumlah itu melonjak dibandingkan triwulan II yang mencapai 1,92 persen.
Riau masih sangat rentan mengalami lonjakan inflasi dari bahan pangan karena ketergantungannya dari pasokan dari provinsi lain. Ismet berharap pemerintah daerah bisa menekan lonjakan harga agar inflasi 2016 tidak melebihi batas maksimal yang ditargetkan pemerintah, yakni 4 plus minus 1 persen.
"Perlu usaha ekstra untuk kurangi tekanan harga pangan. Sehingga, kalau istilahnya Bapak Presiden Joko Widodo, jangan sampai pertumbuhan ekonomi kita tekor, karena tergerus inflasi yang tinggi," ujar Ismet Inono.
Sementara itu, ia mengatakan perlambatan ekonomi juga sejalan dengan turunnya angka penyaluran kredit perbankan. Kredit yang disaluarkan perbankan Riau pada triwulan III-2016 hanya Rp7,58 triliun padahal sebelumnya mencapai Rp11,28 triliun. Jumlah ini berbanding terbalik dengan nilai aset dan dana pihak ketiga perbankan yang tumbuh positif.
"Ternyata kredit melambat ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang melambat karena dorongan dari kredit kurang," ucapnya.