Oleh Hanni Sofia Soepardi
Jakarta, (Antarariau.com) - Percaya atau tidak, pemilihan umum di Indonesia tergolong yang paling kompleks di dunia. Salah satu sebabnya tentu saja karena banyaknya berbagai pilkada.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilaksanakan setiap waktu itu tampaknya membuat masyarakat jenuh untuk selalu menggunakan hak pilihnya setiap pemilu digelar dengan rentang waktu yang berdekatan.
Masyarakat selalu mendengarkan janji-janji kampanye, menimbulkan kebosanan dan lebih parahnya, muncul "distrust" pada partai politik yang berakibat makin tingginya jumlah golput dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, muncullah wacana pilkada serentak sejak beberapa tahun lalu. Pilkada serentak dianggap efisien dalam waktu sekaligus biaya sehingga menjadi salah satu pertimbangan penting.
Masalahnya, selama ini penyelenggaraan pilkada yang begitu banyak di Indonesia dan terjadi hampir sepanjang tahun dinilai sangat membebani anggaran negara.
Bahkan menurut Fitra(Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), kewajiban membiayai pilkada bagi daerah, termasuk yang kemampuan fiskalnya rendah, mengurangi belanja pelayanan publik, seperti urusan pendidikan dan kesehatan.
Apalagi, sekitar 65 persen dari anggaran penyelenggaraan pemilu tersebut merupakan honor petugas yang dibayarkan berdasarkan setiap "event" pemilu.
"Biaya pilkada untuk kabupaten/kota sebesar Rp25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD," kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan.
Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran.
Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya.
Kini, dengan segala pertimbangan itu jalan menuju pilkada serentak pun dimuluskan. Meskipun masih ada saja persoalan yang tersisa, semangat pelaksanaannya tetap menggelora.