Oleh Roy Rosa Bachtiar
Jakarta, (Antarariau.com) - Rencana pemerintah untuk menaikan pendapatan dari sektor pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (RAPBN-P) 2015 menjadi Rp1.484,6 triliun mendapat respon miring dari sejumlah pengusaha di Indonesia.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan rencana pemerintah untuk menaikkan pajak akan menimbulkan distorsi ekonomi, karena akan menurunkan minat pasar dan bisnis.
"Kenaikan pajak yang sekitar Rp400 triliun itu akan diambil dari mana? Kenaikan itu pada akhirnya tidak menimbulkan pertumbuhan, tapi distorsi ekonomi," kata Ketua Umum Apindo Haryadi B. Sukamdani.
Menurut dia, sektor bisnis properti akan menerima dampak signifikan berupa perlambatan pertumbuhan akibat kenaikan pajak yang berkisar 40,3 persen pada 2015 tersebut.
Apindo dan Persatuan Pengusaha Real-Estat Indonesia (REI) mengatakan, jika kebijakan tersebut terlaksana maka akan terjadi kenaikan sebesar 45 persen pada pajak yang harus ditanggung konsumen.
"Imbasnya bukan propertinya saja yang rontok tapi pabrik semen, pabrik besi beton, bahkan para pekerja konstruksi juga akan lesu. Dampaknya akan luas sekali," ucapnya, menegaskan.
Oleh sebab itu, target penerimaan sebesar Rp1.484,6 triliun dari yang sebelumnya Rp1.058,3 triliun tersebut adalah sangat tidak realistis, karena berpendapat hingga saat ini masih terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Sektor industri seperti batu bara, kelapa sawit juga mengalami penurunan harga, sektor properti mulai stagnan, sektor retail pun ikut menurun. Kebanyakan menunjukan penurunan kinerja," ujar Haryadi.
Melalui Apindo, Kadin, dan sejumlah asosiasi perusahaan lainnya, Haryadi menyampaikan bahwa rencana kenaikan pajak ditakutkan akan menjadi bumerang bagi pemerintah.
"Kami takutkan ini akan menyebabkan penurunan ekonomi, bukan pertumbuhan seperti yang kita harapkan," katanya, ketika ditemui di Jakarta.
Kadin dan Apindo berpendapat bahwa pemerintah harus mempunyai perencanaan yang jelas dan masuk akal, dan memetakan sumber-sumber penerimaan pajak yang belum optimal.
Selain itu, kenaikan pajak juga harus dilakukan secara bertahap dan diperlukan pembinaan kepada masyarakat agar menciptakan kesadaran dalam memenuhi kewajibannya.
Sektor Properti
Melalui Persatuan Pengusaha Real-Estate Indonesia (REI), sejumlah perusahaan properti mengimbau pemerintah agar penaikan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dilakukan bertahap karena dampak yang dihasilkan akan menghantam pasar properti, khususnya konsumen.
"Jika hal ini dilakukan akan kontra-produktif. Semestinya pemerintah jangan mematok pajak langsung ke 20 persen, tapi bisa bertahap lima persen, kemudian bisa ditambah lagi," tutur Ketua Kehormatan REI Teguh Satria.
Menurut dia, pemasukan dari pajak barang mewah yang dikenakan pada apartemen dengan 150m atau perumahan 350m sangat kecil, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada.
Hal tersebut dikarenakan tarif PPnBM yang mencapai 20 persen, sehingga menurunkan minat pasar, dan berujung pada enggannya perusahaan properti untuk membangun hunian dengan besaran tersebut.
"Kami sudah bertemu dengan Pak Mardiasmo (Wakil Menteri Keuangan), dan kami mendukung upaya pemerintah ini. Tapi kami ingin ada penyesuaian, tarifnya berjenjang menyesuaikan tipe perumahan," tutur Teguh, menjelaskan.
Ia mengemukakan, dengan dikenakan PPnBM sebesar 20 persen dan Pajak Barang Mewah lima persen maka dikhawatirkan industri dan pasar properti di Indonesia akan anjlok, sehingga mempengaruhi pendapatan pemerintah.
Selain itu, ia juga meminta pemerintah agar melakukan ekstensifikasi terhadap para pengembang properti yang belum terdaftar.
Dia berpendapat, pengembang properti yang belum terdaftar tersebut merupakan pihak yang kerap enggan membayar pajak, sehingga diperlukan upaya tegas oleh pemerintah.
Usaha Pelayaran
Selain pengusaha yang memainkan bisnisnya di daratan, pebisnis di wilayah perairan juga mengeluhkan hal yang sama terkait rencana kebijakan pemerintah tersebut.
Pengusaha pelayaran nasional yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners Association menolak rencana Kementerian Keuangan yang akan merevisi pemungutan pajak final sebesar 1,2 persen bagi perusahaan pelayaran.
"Kebijakan yang baru akan direvisi saja sudah membuat kepercayaan investor turun, apalagi jika benar-benar direalisasikan pemerintah," ucap Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto di Jakarta.
Menurut dia, kebijakan tersebut akan mengganggu iklim usaha di sektor bisnis pelayaran, termasuk menurunkan kepercayaan para investor untuk ikut terjun dalam bisnis tersebut.
Salah satu indikator, katanya, adalah anjloknya kinerja emiten sektor pelayaran di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir bulan lalu.
"Sejumlah saham emiten pelayaran turun drastis setelah isu mengenai rencana perubahan aturan pajak final menjadi pajak nonfinal mencuat," tukasnya.
Beberapa saham perusahaan pelayaran seperti PT Soechi Lines Tbk, PT Wintermar Offshore Marine Tbk, dan sebagainya menurun sekitar 4,4 hingga 11,4 persen, dan diduga penurunan tersebut sebagai respons terkait kebijakan itu.
Carmelita menilai kepercayaan investor nasional maupun luar negeri untuk berinvestasi di bidang pelayaran sebenarnya baru pada tahap memulai.
"Kondisi kondusif ini baru terjadi pada lima hingga sepuluh tahun terakhir, tetapi pemerintah akan melakukan perubahan yang bisa merugikan," ujarnya.
INSA menyampaikan, untuk meningkatkan peningkatan pajak dari sektor pelayaran Kemenkeu dapat melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap sub-sektor yang dianggap minim kontribusinya dalam pendapatan negara.
Salah satunya adalah dengan memperbesar pajak dari sektor angkutan ekspor bagi pelayaran asing, katanya ketika ditemui di kantor pusat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Jakarta.
Menurut dia, potensi pajak dari sektor angkutan ekspor Indonesia bisa mencapai Rp10 triliun setiap tahunnya.
"Seharusnya pajak dari sektor ini yang dikejar oleh pemerintah, bukan membuat sebuah kebijakan yang menurunkan minat investor. Jika seperti ini justru mengancam pengembangan program Poros Maritim," pungkasnya.