PP Gambut Menanti Sentuhan Jokowi

id pp, gambut menanti, sentuhan jokowi

 PP Gambut Menanti Sentuhan Jokowi

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diakhir masa jabatan sebagai Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada September 2014.

Presiden SBY memiliki niat baik yakni ingin menata dan sekaligus membangun citra yang bagus soal lingkungan hidup, tetapi faktanya dilapangan ternyata tidak sinkron serta memiliki kesan berjalan sendiri dengan pemangku kepentingan.

Akibat dari peraturan pemerintah tetang gambut tersebut, selain memicu kegaduhan, juga mengancam keberlangsungan bisnis terutama kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang telah ada terlebih dahulu dan dinyatakan sah.

Baik para pelaku bisnis, akademisi dan pakar lingkungan mengaku tidak dilibatkan sebagai pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan yang disodorkan untuk diteken Presiden oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Pakar lingkungan Universitas Lancang Kuning Pekanbaru menyatakan jika pemerintah mengeluarkan suatu peratuan tentang gambut, maka harus melibatkan semua para pemangku kepentingan, termasuk pemangku adat sehingga tidak dinilai keliru.

"Kalau (pemerintah) mengambil suatu kebijakan maka libatkan pemangku kepentingan dengan tujuan agar kebijakan itu bisa jalan. Jangan lagi kita pertentangkan seperti yang terjadi sekarang ini," ujar pakar lingkungan Universitas Lancang Kuning Prof Dr Syafrani MSi.

Apalagi para pemangku adat di suatu daerah atau provinsi yang lebih efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap peraturan tersebut, ketika diberlakukan bersama masyarakat dan aparat hukum yang terkait.

"Kita membangun, sebenarnya bukan untuk kita. Jika merusak pun bukan untuk kita, melainkan untuk anak cucu kita. Nah, bisa tidak kita berpikir seperti itu? Silakan saja kita duduk satu meja. Dari aspek keilmuan dan jika orang mau tahu tentang gambut maka di Riau tempatnya," tutur dia.

Seperti diketahui dari luas penyebaran, Indonesia memiliki sekitar 15 juta hektare lahan gambut. Dari luasan tersebut, sekitar 3,86 hektare berada di Provinsi Riau atau 60 persen dari luas lahan gambut di Pulau Sumatera.

Akar masalah

Produk hukum turunan dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi ancaman bagi kedua bisnis utama nonmigas yakni minyak sawit mentah (CPO) dan industri hijau.

Persoalan utama yang berpotensi membunuh bisnis kelapa sawit dan hutan tanaman tidak lain adalah soal penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut serta masalah fungsi lindung, jika ketebalan gambut mencapai tiga meter.

Namun, yang paling mematikan pelaku usaha di Tanah Air yakni ketentuan muka air gambut ditetapkan minimal 0,4 meter. Jika lebih dari itu, maka kawasan gambut bakal dinyatakan rusak dan menimbulkan konsekuensi tidak bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya.

Klausul inilah yang membuat berang berbagai asosiasi usaha karena pembatasan 0,4 meter atau 40 centimeter menyebabkan akar kelapa sawit dan pohon akasia di hutan tanaman industri yang bisa tumbuh lebih dari satu meter bakal terendam dan akhirnya mati.

"Pemberlakuan PP ini akan mematikan hutan tanaman industri di lahan gambut," ucap Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bidang Hutan Tanaman Industri, Nana Suparna.

Menurut dia, kematian tersebut telah mengancam tanaman akasia seluas 1,7 juta hektare di lahan gambut dengan angka kerugian bisa mencapai Rp103 triliun per daur tanam atau dengan masa periode tanam lima tahun hingga enam tahun.

Angka itu berasal dari hilangnya devisa dari pulp dan kertas mecapai 5,4 miliar dolar AS per tahun yang secara otomatis hilangnya produksi sekitar 16,8 juta ton dan mengancam dilakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 300.000 orang tenaga kerja, sebutnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, pemaksaan aturan tersebut juga akan mengagalkan rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit senilai Rp240 triliun yang berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi 400.000 pekerja langsung dan 300.000 petani plasma.

"Dampak dari aturan gambut itu bukan hanya perkebunan kelapa sawit, tetapi petani rakyat juga. Pemerintah seharusnya memikirkan dampak sosial dan ekonomi sebelum mengeluarkan aturan yang sangat kaku ini," ucapnya.

Harapan pemerintahan Jokowi

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengharapkan pemerintah baru yang mulai berjalan mulai 28 Oktober 2014 setelah sehari sebelumnya dilantik oleh Presiden Jokowi untuk mengambil langkah cepat tentang PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi menuturkan, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu mengambil langkah cepat merevisi PP Gambut demi menjaga kemampuan industri berbasis hutan tanaman dan kelapa sawit yang telah menyumbang devisa serta menyerap tenaga kerja.

Sofjan menyatakan terbitnya PP Gambut malah menjadi pukulan terhadap industri unggulan termasuk hutan tanaman, produk kayu, pulp dan kertas, dan kelapa sawit.

"Ketentuan yang bisa ditafsirkan seenaknya dan terkesan berlaku surut itu tentu tidak baik bagi industri andalan nasional," tukasnya.

Himpunan Gambut Indonesia (HGI) memiliki pendapat, dalam pelaksaan PP Gambut bisa saling berbeda dilapangan sesuai dengan peruntukan budi daya di lahan gambut.

"Dalam pelaksaan atau keputusan menterinya yang bisa dibuat menteri pertanian, menteri kehutanan atau menteri yang lain berbeda. Sehingga ini yang ingin kita sampaikan karena peluang dalam pelaksaan PP Gambut itu tidak sama," ujar Ketua HGI, Supiandi Sabiham.

Menurut dia, PP Gambut yang telah dikeluarkan pemerintah tidak perlu diusik dengan catatan dalam petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis bisa dikembangkan, termasuk soal batas paling rendah muka air gambut yang telah dikunci 0,40 meter.

Kebijakan tersebut ditempuh setelah melihat beberapa alternatif di antaranya dengan melakukan revisi terhadap peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut menemui jalan buntu, karena tidak memungkinkan untuk dilakukan.

"Kalau tidak ketemu, maka ada aturan-aturan penjelasan yang mungkin bisa mengatur tadi (muka air gambut) dan tergantung dari komoditi yang dikembangkan atau dibudidayakan," kata guru besar di Institut Pertanian Bogor itu.

Pihaknya mempunyai saran untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 50-60 centimeter, sedangkan hutan tanaman industri adalah 60 centimeter untuk tanaman yang berumur kurang dari satu tahun dan bagi yang lebih dari satu tahun harus 80 centimeter.

"Aturan mengenai angka di gambut itu, tidak bisa dikunci. Saya sarankan dalam beberapa dikusi bukan pada satu poin, tetapi dalam bentuk kisaran. Karena itu saya meminta ada aturan penjelasan bahwa angka itu tidak harus satu angka, tapi dalam bentuk "range", ucap Supandi, menambahkan.

Kini PP Gambut berada ditangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar ahli dibidang birokrasi yang bisa mengurai benang kusut antara lingkungan dan kehutanan pada Kabinet Kerja 2014-2019.

Yang jelas, para pelaku usaha menunggu sentuhan tangan dingin dari Presiden Jokowi tentang PP Gambut.