Resensi Buku - Eksistensi Lokalitas Dalam "Cinta Tak Pernah Tua"

id resensi buku, - eksistensi, lokalitas dalam, cinta tak, pernah tua

Resensi Buku - Eksistensi Lokalitas Dalam "Cinta Tak Pernah Tua"

Perkembangan dunia kepenulisan prosa di Indonesia sekarang ini memperlihatkan tren keberagaman yang menawarkan berbagai pilihan. Hal tersebut terlihat salah satunya dalam tema-tema yang dihadirkan.

Tema dalam novel atau pun cerpen menjadi tidak hanya melulu tema kehidupan sosial politik kebudayaan yang bersifat umum dan berlatar di sentral-sentral simbol Ngegara seperti ibukota atau pun Pulau Jawa, namun juga tema lokal yang juga berlatar di luar lokasi yang selama ini dianggap sentral itu.

Tema lokalitas menjadi bahan tersendiri oleh penulis yang mempunyai akar lokal atau pun yang memang berada di lingkungan lokalitasnya. Dari sana pembaca atau pun penikmat disuguhkan gambaran dari eksistensi atau keberadaan dari lokalitas itu sendiri meskipun belum secara langsung berada di situ.

Eksistensi di sini bukanlah suatu upaya memperlihatkan keberhasilan dan kesuksesan. Akan tetapi memperlihatkan suatu keberadaan yang mungkin saja luput dari perhatian kita. Salah satu karya dengan tema itu terlihat dari buku kumpulan cerpen dengan judul "Cinta Tak Pernah Tua" oleh Penulis Benny Arnas.

Kumpulan tersebut berisi 12 cerpen yang semuanya sebagian besar berlatar Sumatera Selatan dan sedikit di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Hal yang menarik dari cerpen-cerpen tersebut semuanya memiliki hubungan dengan tokoh yang dominan yakni bernama Samin.

Jika pun dalam beberapa cerpen tidak ada menyebut nama Samin, namun tokoh dalam cerpen tersebut memiliki keterkaitan dengan Samin. Itulah kelihaian Benny Arnas meramunya menjadi satu kesatuan lokalitas meskipun secara lateral cerpen-cerpen tersebut adalah terpisah, apalagi sebelumnya juga telah diterbitkan di media massa yang berbeda-beda.

Cerpen pertama berjudul "Pengelana Mati dalam Hikayat Kami". Diceritakan seorang pengelana yakni Samin yang menjelajahi rimba karet di Belalau, Lampung atau daerah tepi Jalan Lintas Sumatera. Pembaca diajak mengenal sosok Samin yang merupakan veteran dan pria yang memiliki banyak istri.

Diceritakannya juga beberapa versi kematian yang pernah dialaminya yakni meninggal karena kiamat kecil di rumah besarnya dan juga tergantung dengan tali terikat di kakinya dengan di mulutnya ada seekor tupai yang akan kita temukan rincinya pada cerpen-cerpen berikutnya. Pada cerpen ini dia meninggal dengan kuburan yang hanya betulis nama tanpa tempat tanggal lahir atau pun wafat di sekutar rimba itu.

Cerpen dengan sudut pandang orang kedua dimana narator menggunakan subjek "kau" ini bisa saja diinterpretaskan soal adanya suatu keberadaan seorang veteran di salah satu daerah di Indonesia yang tidak diperhatikan, bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Hal tersebut terbukti dengan adanya kutipan berikut, "Entah bagaimana dan siapa yang mengusulkan, keesokan harinya sudah tertulis saja di nisanmu: Samin. Tanpa tanggal lahir. Tanpa tanggal wafat."

Cerpen kedua berjudul "Gulistan" kembali menyuguhkan kematian Samin dengan versi dia bersama istrinya (tidak dijelaskan istri keberapa) meninggal setelah bus yang ditumpanginya masuk ke jurang. Setelah mati, masing-masing mereka berada pada suatu alam lain dimana keduanya didatangi makhluk rupawan .

Samin didatangi sosok makhluk cantik yang coba merayunya diiringi tentang perbincangan tentang istrinya. Samin dalam hal ini tergiur dengan makhluk tersebut. Sementara Istri Samin di suatu tempat lainnya juga dirayu makhluk rupawan, namun berhati-hati menerimanya karena masih mengingat Samin suaminya. Di akhir cerita diketahui bahwa dua makhluk itu merupakan diri mereka masing-masing.

Berikut kutipan terakhir pembicaraan yang mengisyaratkan penggodanya adalah mereka sendiri, diucapkan oleh istri Samin.

"Jangan saling menipu, Sayang. Kita sama-sama tahu kalau kecelakaan bus itu tidak terjadi kemarin, tapi dua ribu empat ratus tiga puluh satu tahun yang lalu. Kita juga sama-sama tahu kalau kita sudah saling mengenal sedari tadi, sedari dulu. Kau sudah meminangku lebih dari sepuluh ribu tahun yang lalu, kan? Hmm, apakah kita akan bercinta lagi di taman ini untuk kesekian kalinya?"

Pada Cerpen berjudul "Orang Inggris" diceritakan pengalaman Samin bersama seorang pemuda Inggris bernama Charles. Mereka bertemu saat Charles berangkat dari Banteng di Bengkulu menuju ke Jambi dan Samin dari Lubuk Linggau. Charles berencana berburu Burung Murai di Jambi, namun Samin menawarkan bahwa burung jenis itu juga banyak di sekitar aliran Sungai Musi yang jaraknya dekat daripada Jambi.

Ternyata kebersamaan Samin bersama Charles mengingatkannya tentang kedekatannya bersama orang Inggris lainnya yakni Morgan Mustee. Diceritakan Samin dan Morgan tanpa disangka adalah pasangan sejenis. Morgan meninggal ketika persetubuhan dengan Samin diketahui tentara Inggris yang menganggap itu terlarang. Morgan membiarkan Samin lari dan pasang badan hingga ahirnya terbunuh. Meskipun kompeni itu melarang homoseksual, namun Samin menceritakan ternyata banyak juga tentara yang menyodomi anak di bawah umur.

Dari cerpen "Orang Inggris" itu kita juga bisa melihat bahwa hal menyimpang tersebut juga terjadi di daerah dengan dibawa oleh pihak luar.

Lalu cerpen dengan judul "Pohon Tanjung itu Cuma Sebatan", masih bercerita tentang Samin. Pada bagian ini tentang surat menyurat dirinya dengan anaknya, Musral yang pergi meninggalkannya karena muak dengan prilaku Samin hobi beristri sepeninggalan ibunya. Samin rindu sekali dengan Mursal dan selalu berharap ada kiriman surat darinya. Namun, betapa terkejutnya ketika surat yang diterima adalah pemberitahuan kematian anaknya. Surat itu dikirimkan istri Mursal.

Kemudian, Benny melalui cerpennya "Muslihat Musim Panas" kembali memanjakan pembaca tentang kisah Samin. Kali ini diceritakan kematian dua anak Samin dari istri pertamanya Maisarah. Kedua anak itu meninggal pada saat hujan panas. Hal ini membuat Maisarah trauma terhadap hujan panas sehingga ajakan untuk mempunyai anak lagi dari Samin diributkan sampai akhirnya mereka berpisah tanpa cerai.

Setelah itu ada satu adegan Samin dan Maisarah bertemu kala hujan panas di bawah pohon. Maisarah tetap memberikan kesan tidak enak kepada Samin. Maisarah yang menolak melihat Samin dengan membelakangi pohon kemudian ketika hendak berbicara dengan Samin, ternyata menjumpai Mukhlisin, teman seumuran Samin namun tidak dianggap veteran.

Maisarah akhirnya meninggalkan pohon itu sambil menyadari dirinya ternyata masih menginginkan Samin. Itu terlihat pada kutipan "Ia mengingat-ingat, esok, Lebaran keberapakah yang ia lalui seorang diri."

Cerpen berlanjut tentang Mukhlisin berjudul "Bunga Kecubung Bedaun Susu". Disini diceritakan kesialan teman sejawat Samin yang hingga usia lebih 70 tahun masih perjaka selain kemalangan dia tidak dianggap veteran, padahal ikut berjuang. Mukhlisin hingga usia segitu hidup dengan berjualan kayu dan hasil alam lainnya yang dicarinya di rimba hutan.

Konflik cerita terjadi pada saat orang kampung menggunjingkan dirinya yang bersetubuh dengan Bunga Kecubung. Beberapa pemuda menurut gunjingan itu menemukan dirinya berpelukan tidur dengan Bunga Kecubung tanpa pakaian sambil menyebutkan nama Mayang, perempuan yang dilamar Samin dan ditolak. Meskipun demikian, Mukhlisin bersikukuh dia bersetubuh dengan perempuan yang sering datang pada mimpinya.

Perawan Tua

Enam cerpen lainnya dibuku ini seperti yang disebutkan banyak menceritakan Samin. Antara lain tentang kehidupan Samin dengan istrinya-istrinya setelah Maisarah yakni Salma yang meginjak-injak harga dirinya hingga hampir dibunuhnya dengan senapan saat dia perang dulu. Kemudian ada juga tentang Mayang, Wanita yang dilamar Samin tapi ditolak keluarganya. Mayang mengirim surat tapi tak disampaikan Ayah Samin yang isinya Mayang menunggu di simpang kabupaten. Tapi karena tidak diketahui Samin, Mayang tetap menunggu Samin hingga jadi perawan tua.

Selain itu, diceritakan juga tentang istri Samin lainnya, Rukiah yang cemburu pada istri muda Samin yakni Dewi. Dalam ceritanya ia melihat tiga tupai yang dianalogikannya sebagai dia, Samin, dan Dewi. Rukiah berpikir-pikir apakah akan meminta cerai dengan Samin atau tidak. Cerpen lainnya juga tentang Mayang, perempuan yang pertama dilamar Samin itu mengasuh seorang anak perempuan yang ditemukannya terbuang. Mayang merawat anak itu hingga besar dan melepasnya berkuliah setelah sarannya agar anak itu menikah sebelum kuliah ditolak. Anak perempuan itu pun menjadi pelacur dan tak pernah pulang.

Terdapat juga cerita berjudul "Batu Bujang" yang menceritakan keteguhan dua orang warga yang hidup dengan menggali Batu Bujang. Dua orang ini dimusuhi orang kampung yang ingin Batu Bujang tak dijadikan lagi bahan bangunan, tapi dengan batu bata atu pun "hollow brick". Dua orang ini ditentang juga oleh LSM dan pemerintah karena dinilai menyebabkan erosi bukit. Kaitannya dengan Samin adalah dalam cerita ini ada Mukhlisin. Kampung itu pun akhirnya longsor dan dua orang pencari Batu Bujang pun meninggal.

Cerita terakhir dari buku ini "Cahaya dari Barat". Di bagian inilah diceritakan versi kematian Samin karena kiamat kecil. Samin diceritakan kaya raya dengan rumah yang sangat panjang di tepi Danau Ranau. Dia hidup bahagia menjelang usia ke-90 tahun. Menjelang genapnya 90 tahun itu dia beribadah dengan penuh, namun pada hari itu matahari telah terbit di sebelah barat dan hancurlah semuanya.

Sebenarnya masih banyak hal yang bisa digali dari 12 kumpulan cerpen ini. Diantaranya seperti judul buku ini mengapa "Cinta tak pernah tua" dan judul-judul cerpennya.Tema lokalitas menjadi prioritas karena latar dan asal penulisnya Benny Arnas yang dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan yang dinilai ingin memperlihatkan suatu keberadaan yang memiliki cerita dan ciri khas tersendiri.