Hangusnya Habitat Satwa Dilindungi

id hangusnya habitat satwa dilindungi

Hangusnya Habitat Satwa Dilindungi

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, adalah pepatah petitih yang mengajarkan manusia untuk meninggalkan "warisan" nama baik setelah tiada.

Pepatah Minangkabau itu kini tidak sebatas peringatan, namun telah menjadi nyata ketika tiga makhluk hidup itu saling "bertikai" memperebutkan habitat hingga banyak gajah benar-benar mati meninggalkan gading, harimau mati menyisakan belang.

Konflik dua satwa yang katanya dilindungi itu dengan manusia, nyata-nyata terjadi ketika kelompok-kelompok manusia membabat secara membabi-buta hutan alam yang menjadi habitat mereka.

Peristiwa itu terjadi di daratan Provinsi Riau akibat alih fungsi hutan alam menjadi kawasan hutan tanam industri dan perkebunan kelapa sawit. Parahanya, alih fungsi hutan kerap dilakukan sekelompok manusia dengan cara membakar, menghanguskan habitat satwa-satwa dilindungi.

Gajah menjadi sulit "menyembunyikan" gadingnya dari perburuan manusia, sementara harimau harus menampangkan belang setelah sumber makanannya terus menipis.

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan, perambahan hutan di Riau terjadi secara besar-besaran sejak lama dan kalkulasi di sepanjang tahun 2009-2012 menunjukkan hutan di wilayah itu makin sempit.

Menurut data Jikalahari, selama kurun waktu beberapa tahun itu 500 ribu hektare areal hutan telah beralih fungsi. "Kondisi demikian akan sangat membahayakan. Jika hutan terus tergerus, maka kerugian alam akan semakin besar," kata Koordinator Jikalahari Muslim Rasyid.

Dia bahkan mengklaim kerugian sumber daya alam atas penyempitan hutan Riau dikalkulasikan mencapai lebih dari Rp1.500 triliun karena penggarapan lahan hutan secara terus menerus mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup hingga kepunahan keanekaragaman hayati, termasuk ancaman kepunahan gajah dan harimau oleh konglomerat.

Membakar

Alih fungsi dan pembersihan lahan kerap dilakukan sebagian manusia dan konglomerat dengan cara membakar, hingga seketika, ratusan atau bahkan ribuan hektare hutan yang tadinya merupakan habitat satwa seperti gajah dan harimau mengalami kerusakan dahsyat.

Tahun ini saja, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), luas lahan terbakar sejumlah peristiwa di berbagai wilayah kabupaten/kota di Riau telah mencapai lebih 30 ribu hektare.

Organisasi World Wide Fund (WWF) menyatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara terus menerus dapat mengancam percepatan punahnya satwa-satwa dilindungi khususnya spesies gajah dan harimau.

"Salah satunya adalah menyempitnya habitat sehingga potensi konflik antara manusia dengan satwa dilindungi itu semakin tinggi," kata Humas WWF Riau Syamsidar.

Menurut dia, jika hal itu terjadi secara berkelanjutan, maka hewan yang memiliki daya jelajah jauh seperti gajah dan harimau akan memaksa keluar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal itu, menurut dia, karena kebanyakan habitat gajah dan harimau sebelumnya merupakan hutan alam, namun beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan hutan tanaman industri.

"Mereka masih menganggap kawasan HTI dan perkebunan yang telah digarap manusia itu merupakan kawasan jelajah mereka," katanya.

Tingginya konflik satwa dilindungi dengan manusia tahun ini juga dibuktikan dengan tingkat kematian gajah yang meningkat tajam seiring dengan maraknya peristiwa kebakaran hutan dan lahan.

WWF menyatakan sepanjang 2012 hingga 2014 telah ada 43 kasus pembunuhan gajah sumatera liar di Provinsi Riau, namun belum juga terungkap pelakunya, sehingga dikhawatirkan akan makin mempercepat laju berkurangnya populasi satwa dilindungi itu menuju kepunahan.

Menurut data WWF Riau, kasus pembunuhan gajah sumatera liar pada 2012 yang belum terungkap mencapai 15 kasus. Pada 2013, jumlahnya juga tinggi yakni mencapai 14 kasus dimana 13 kematian gajah terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Peristiwa kebakaran di kawasan itu juga telah menghanguskan ribuan hektare.

Sedangkan, pada 2014 jumlah kematian gajah semakin meningkat karena pada kurun Januari-Maret sudah ditemukan 14 kasus pembunuhan gajah.

Syamsidar mengatakan, populasi gajah berdasarkan estimasi tahun 2009 di Riau mencapai 150-200 ekor. Namun jumlah itu kemungkinan besar berkurang jauh karena tingginya kasus pembunuhan dalam tiga tahun terakhir.

Sebaliknya, sejumlah orang juga menjadi korban dari amukan gajah yang kehilangan habitat aslinya. Beberapa bahkan harus meregang nyawa setelah mendapat hantaman keras satwa bergading itu.

Peristiwa amukan gajah pernah terjadi pada awal tahun 2013, mengakibatkan dua warga tewas dan tiga lainnya terluka. Hewan bongsor tersebut mengamuk di sejumlah desa di Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.

Amukan gajah-gajah yang membentuk gerombolan itu bahkan terjadi selama sepekan tanpa henti, selain menewaskan warga, juga menghancurkan 300 hektare kebun penduduk di Desa Serambu, Rambah Timur, Surau Munai dan Desa Sungai Dua.

Perang terbuka berlansung sengit, ketika itu warga mencoba menghalau amukan hewan berbelalai tersebut menggunakan petasan dan meriam bambu, bahkan hingga mendatangkan para ahli (pawang).

Konflik terbuka gajah versus manusia di Riau ketika itu bukan yang pertama. Keduanya seakan saling balas hingga mendatangkan korban tewas baik dari pihak si bongsor maupun warga pemilik lahan perkebunan.

Sayangnya, bangkai-bangkai gajah kerap ditemukan tanpa gading diduga diambil pemburu dan dijual ke para konglomerat untuk berbagai kegunaan.

Sementara itu berkaitan dengan harimau sumatera, organisasi pecinta satwa WWF sejauh ini masih mengalami kesulitan dalam menghitung populasi hewan dilindungi itu.

WWF Indonesia mulai menghitung populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sejak tahun 2004 dan berdasarkan data kasar yang mereka peroleh dari tahun 1994, hewan belang pemangsa daging itu hanya tersisa sekitar 400 ekor.

Berdasarkan Tiger Summit tahun 2010 di St. Petersburg, Rusia, diperkirakan populasi harimau se dunia berjumlah kurang dari 3.200 ekor.

Harimau secara alami relatif berumur pendek dengan tingkat produktivitas tinggi sehingga ketika survei, WWF harus memastikan tidak ada kelahiran, kematian dan migrasi.

Konflik harimau versus manusia beberapa tahun lalu juga menjadi topik paling seru. Keduanya seakan saling balas, melukai bahkan saling bunuh.

Pada 2012, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyelidiki kematian seekor induk harimau sumatera usai terjerat di Kabupaten Rokan Hilir. Namun sampai saat ini belum ada hasil atas penyelidikan itu.

Peristiwa itu bukan yang pertama, sejumlah harimau yang menetap di sisa habitat hutan alam Riau telah banyak ditemukan mati, sebagian besar bahkan diindikasi hilang setelah menjadi korban perburuan manusia. Harimau itu mati tak lagi menyisakan belang.

Serentetan kasus kematian raja rimba itu diikuti "balas". Pada Maret 2013, terjadi konflik terbuka antara keduanya yang akhirnya menyebabkan korban tewas dari pihak manusia.

Agar konflik ini tidak terus berlanjut, pemerintah harus berupaya keras mengembalikan keutuhan hutan sebagai habitat satwa liar. Jika tidak, hal itu justru akan menambah daftar nama kepunahan hewan, termasuk korban di pihak manusia.