(Antarariau.com) - Malam yang indah, ketika bulan purnama menampang sempurna dilengkapi dengan fenomena banyangan bumi menutupi seluruh permukaan hingga membuat redup cahaya malam itu.
Gerhana bulan ketika itu tampak berbeda, bulan purnama bewarna merah seperti darah yang membanjiri seluruh permukaan satelit alami bumi itu.
Garis-garis putih di permukaan bulan terbesar kelima dalam Tata Surya itu terlihat seperti bekas sayatan. Cahaya bintang-bintang turut hilang terhalang polusi asap kebakaran hutan dan lahan.
Gerhana bulan langka itu terjadi pada Rabu (8/10). Fenomena ini termasuk salah satu dari gerhana bulan tetrad dengan seri gerhana yang terdiri atas empat peristiwa sama secara berturut-turut dan cuma terjadi 32 kali selama abad milenium.
Fenomena langka itu dapat dinikmati di hampir seluruh wilayah tanah air, termasuk Pekanbaru. Hanya saja di daerah ini purnama tampak "berdarah".
Astronom sekaligus narator Planetarium dan Observatorium Jakarta, Cecep Nurwendaya mengatakan, warna merah pada bulan yang sedang mengalami proses gerhana bisa menjadi indikator kualitas udara di suatu kota.
Menurut dia, semakin parah polusi di suatu daerah itu, maka semakin "indah" warna gerhana. Purnama akan semakin merah jika tingkat polusi suatu kota itu tinggi. "Jadi, jangan bangga (jika melihat gerhana bulan merah), seharusnya kita sedih," kata Cecep.
Warna merah menurut dia ditimbulkan karena polusi terdiri dari gas dan debu yang mempunyai sifat dan ciri khas memerahkan cahaya (reddening).
Cecep mengatakan, peristiwa tersebut serupa dengan ketika terbenamnya matahari dan ketika terjadi letusan gunung berapi. Abu dari gunung berapi itu menutup langit dan akan "memerahkan" matahari.
Setiap Purnama
Purnama "merah darah", sebenarnya telah menjadi fenomena yang biasa terlihat dari daratan Provinsi Riau. Gerhana bulan yang terjadi ketika itu, menjadi pusat perhatian karena dianggap sebagai hal yang langka.
Sebagian pengamat menganggap purnama yang terlihat merah akibat polusi udara di sebagian besar wilayah di Riau. Cemaran kabut asap dampak peristiwa kebakaran hutan dan lahan menjadi bayangan yang akhirnya mengaburkan cahayan bulan.
Peristiwa luar biasa itu telah menjadi hal yang biasa terjadi di daratan Provinsi Riau. Setiap tahun sejak 17 tahun terakhir, sejumlah wilayah kabupaten/kota termasuk Pekanbaru tidak pernah lepas dari belenggu bencana asap dampak dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan.
Menurut data Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejak 17 tahun terakhir telah ratusan ribu hektare hutan di Riau yang hangus terbakar.
Sebagian besar saat ini telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit dan bahkan hutan tanam industri. Dan kini peristiwa itu kembali datang, membelenggu ragam aktivitas berbagai kalangan.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyatakan kualitas udara di berbagai kabupaten/kota di wilayah itu dalam beberapa bulan terakhir memburuk akibat kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap di sejumlah provinsi di daratan Pulau Sumatera.
"Ini bukan merupakan hal yang pertama terjadi namun telah berulang kali, bahkan dalam satu tahun terakhir," kata Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P4L), Dinas Kesehatan Riau, Andra S.
Ia mengatakan dengan kondisi udara yang terus memburuk atau berada pada level tidak sehat, maka sebaiknya masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah atau gedung.
Dinkes Riau mengimbau masyarakat untuk mengantisipasinya dengan mengurangi aktivitas di luar rumah atau gedung. Kalau tidak terlalu penting, demikian Andra, sebaiknya tetap berada di dalam rumah atau kantor karena jika dipaksakan itu bisa membahayakan kesehatan.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau juga telah menyiapkan dana Rp10 miliar untuk tanggap darurat bencana kabut asap dan kebakaran lahan, serta hutan. "Sampai sekarang dana tersebut masih belum digunakan karena sejauh ini kebakaran lahan dan kabut asap belum begitu buruk," kata Sekretaris Daerah Riau, Zaini Ismail.
Dana tersebut kata dia akan digunakan jika lebih enam kabupaten/kota yang menyatakan siaga bencana kabut asap.
Hambatan
Kebakaran hutan dan polusi asap, sejak 17 tahun lalu hingga saat ini terbukti masih menjadi hambatan nyata pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perekonomian.
Bencana asap, kerap memaksa pihak sekolah untuk meliburkan aktivitas belajar-mengajar guna mengantisipasi para murid terkena berbagai penyakit. Sejumlah perusahaan dan kantor-kantor pemerintahan juga selalu mempersempit waktu kerja para karyawannya.
"Tanpa disadari, bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya tanpa henti hingga menyebabkan polusi asap telah merusak masa depan bangsa ini," kata pemerhati lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri.
Kebakaran lahan telah menghancurkan sumber daya alam dan itu menurut dia terbukti dilakukan dengan sengaja hanya untuk meningkatkan derajat ekonomi sekelompok orang.
Parahnya lagi, kata Ariful, Riau tidak pernah lepas dari bencana asap yang terjadi terus menerus setiap tahun. Bahkan, bencana asap juga telah "menjatuhkan" harkat dan martabat bangsa ini di tingkat masyarakat internasional, lebih spesifiknya lagi di Asia Pasific.
Karena menurut dia, asap hasil kebakaran hutan dan lahan ini terbukti telah sampai ke berbagai negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura.
"Ke depan semua pihak harus bersama-sama mengatasi persoalan bencana kebakaran lahan dan kabut asap ini dan harus dilakukan antisipasi cepat dan tepat," katanya.
Karena dengan kondisi kerusakan lingkungan yang sedemikian parah, pemerintah menurut dia membutuhkan dana besar dan waktu panjang untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, terlebih tanpa ketersediaan sumber daya alam yang memadai.
Bencana tahunan itu menurut Ariful tanpa disadari pula, telah mendatangkan kerugian yang dahsyat. Jika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) merilis kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp50 triliun, pemerhati justru menyatakan lebih dari itu, atau mungkin tak tergantikan sama sekali.
Kerugian lainnya yang lebih penting menurut Ariful adalah; runtuhnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap bangsa Indonesia. Terlebih, revitalisasi yang akan dilakukan ke depan, akan jauh lebih besar biayanya dibandingkan dengan keuntungan yang didapat melalui alihfungsi lahan yang selama ini dilakukan.
Eksploitasi sumber daya alam yang tidak memiliki pola termasuk pembakaran lahan untuk perkebunan dan hutan industri, hanya akan mendatangkan kesengsaraan secara massal. Maka hentikan!
"Bencana ini juga menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati yang tidak bisa digantikan oleh manusia, secanggih apapun cara berpikirnya, dan sejenius apapun pola pikirnya," kata dia.
Dengan demikian, kerugian yang telah merentang di depan mata ini, menurut dia memang harus dibayar mahal oleh bangsa ini untuk kembali bangkit dalam membenahi perekonomian masa depan.
Jika tidak segera diatasi, menurut dia hal itu justru akan memutuskan mata rantai pembangunan berkelanjutan. "Karena pembangunan tidak lepas dari faktor ekonomi, dan ekonomi berkelanjutan itu dapat dilakukan dengan cara bagaimana memanfaatkan SDA dengan tidak memusnahkannya untuk ketersediaan anak-cucu di masa yang akan datang."
Selama 17 tahun, ada jutaan jiwa terperangkap belenggu asap yang mengancam kehidupan, "merantai" keinginan balita dan mengurung keleluasaan aktivitas para orang tua dalam mencari nafkah.
Kalangan pekerja harus tetap mencari nafkah, ibu rumah tangga memaksa diri berbelanja, pelajar berusaha tetap pergi ke sekolah, dan sebagian yang tak mengerti masih menganggap purnama merah darah sebagai fenomena indah.
Bencana kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan terjadi di Riau setiap tahun sejak 17 tahun silam. Purnama "berdarah" agaknya menjadi petanda, peringatan Tuhan untuk kita segera memperbaiki alam yang Dia ciptakan.