KJFD Hubungan Internasional Unri sosialisasi pencegahan kekerasan pada anak di Siak

id unri,hubungan internasional,kekerasan anak

KJFD Hubungan Internasional Unri sosialisasi pencegahan kekerasan pada anak di Siak

Kegiatan penguatan kapasitas pemahaman tentang Konvensi Perlindungan Anak untuk remaja dan masyarakat di Desa Banjar Seminai, Kabupaten Siak, yang ditaja KJFD Jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau. (ANTARA/dok)

Siak (ANTARA) - Laporan kekerasan terhadap anak di Riau memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Ini seperti fenomena gunung es, dimana kasus yang tak tercatat memiliki jumlah lebih banyak lagi. Oleh karena itu, perlu penanganan serius dari semua kalangan untuk mencegah tindak kekerasan ini.

"Selain orangtua, anak juga termasuk pada kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan," kata dosen Hubungan Internasional Ahmad Jamaan di Siak belum lama ini.

Ia menjelaskan kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, emosional, seksual maupun kekerasan dalam bentuk penelantaran. Dampak yang dirasakan korban seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma. Korban dapat mengalami luka fisik, bahkan terkena infeksi penyakit menular. Selain itu, kekerasan terhadap anak seperti kekerasan seksual dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak.

"Sebagian besar korban yang paling menderita dari kekerasan-kekerasan ini adalah anak dan perempuan, dan tidak jarang penyelesaiannya hanya dilakukan secara kekeluargaan," katanya dalam kegiatan penguatan kapasitas pemahaman tentang Konvensi Perlindungan Anak untuk remaja dan masyarakat di Desa Banjar Seminai, Kabupaten Siak.

Helat yang ditaja Kelompok Jabatan Fungsional Dosen (KJFD) Jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau ini memberikan sosialisasi dan kampanye terkait perlindungan terhadap kekerasan pada anak kepada masyarakat. Kegiatan bertujuan meningkatkan kesadaran bagi siswa dan orangtua untuk mengetahui ancaman dan risiko kekerasan pada anak, terutama kekerasan seksual.

Dijelaskannya, biasanya pelaku adalah orang terdekat dengan korban. Selain karena sering berinteraksi, mudah menjangkau, pelaku memiliki hubungan relasi kekuasaan yang memudahkannya mencari korban. Pelaku terbanyak adalah orang terdekat korban, seperti anggota keluarganya sendiri, seperti pengasuh di rumah, guru atau orang lainnya di sekolah.

Selain kasus kekerasan, kata Ahmad, kasus lain yang korbannya adalah anak-anak dan perempuan adalah perdagangan orang atau human trafficking. "Kasus lainnya adalah penjualan organ anak-anak. Hal ini, bukan saja akan berdampak pada hilangnya anggota keluarga yang dapat berujung kepada gangguan psikis bahkan berujung pada kematian," jelasnya.

Ia menyampaikan Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional yakni Konvensi Perlindungan Anak. Adanya aturan yang diadopsi menjadi hukum nasional ini mewajibkan negara untuk membentuk komisi perlindungan anak agar penanganan kasusnya dapat diselesaikan.

"Namun, anggota keluargagenerasi muda serta orangtua juga harus memiliki kepedulian serta pengetahuan kepada anak terkait bahaya, ancaman dan dampak tindak kekerasan kepada anak ini. Keluarga harus menjadi sebagai benteng pertahanan awal untuk mencegah dan melindungi anak dari perundungan," ulasnya.

Menurutnya, selain kampanye secara menyeluruh dan berkelanjutan, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan koordinasi antarlembaga dan memberikan pemahaman kepada semua kalangan masyarakat.

Perlindungan anak di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan seperti kurangnya sumber daya terampil, kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak. Untuk mengatasi tantangan ini, katanya lagi, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan bahaya kekerasan terhadap anak di Indonesia.