Jakarta (ANTARA) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 3 bulan pertama 2024 cukup menggembirakan, yakni tumbuh 5,11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) atau lebih tinggi dibanding periode sama 2023. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan itu yang tertinggi sejak 2015.
Kabar baik tersebut bisa menjadi fondasi bagi Pemerintah untuk menjaga atau bahkan menggenjot laju pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024. Di sisi lain, kekhawatiran pun muncul mengingat kinerja mesin-mesin utama pendongkrak pertumbuhan tampaknya akan kembali "normal" di kuartal kedua hingga akhir tahun.
Selama ini, konsumsi rumah tangga selalu menjadi kontributor utama produk domestik bruto (PDB) dari sisi pengeluaran, bahkan mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia. Konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi kuartal I 2024, yakni sebesar 2,62 persen.
Konsumsi rumah tangga pada periode ini tumbuh 4,91 persen, dari 4,47 persen pada kuartal IV tahun lalu. Pertumbuhan ini utamanya didorong oleh momen Ramadhan yang jatuh pada pertengahan Maret. Ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman (selain restoran) sebesar 4,32 persen, konsumsi transportasi dan komunikasi tumbuh positif sebesar 6,41 persen, serta konsumsi restoran dan hotel tumbuh 6,43 persen.
Namun konsumsi pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan hanya tumbuh 1,73 persen, lebih rendah jika dibandingkan kuartal IV 2023 yang tumbuh 3,49 persen. Penahanan konsumsi masyarakat terkait dengan durable goods kemungkinan karena faktor inflasi pangan yang meningkat sehingga masyarakat lebih mengutamakan alokasi belanja pangan.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ikut terdongkrak berkat momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sehingga konsumsi Pemerintah menjadi sumber pertumbuhan tertinggi ketiga setelah konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto, yaitu sebesar 1,06 persen.
Konsumsi Pemerintah tumbuh signifikan sebesar 19,90 persen, didorong oleh kenaikan realisasi belanja barang terutama pada kegiatan pelaksanaan dan pengawasan pemilu. Angka tersebut melonjak jika dibandingkan kuartal IV tahun lalu yang hanya tumbuh 2,81 persen.
Pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (PK-LNPRT) juga tercatat mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 24,29 persen pada kuartal I 2024 dari 18,11 persen pada kuartal IV 2023. Pertumbuhan ini dipicu oleh peningkatan aktivitas partai politik terkait dengan momen Pemilu 2024.
Menguatnya faktor musiman selama 3 bulan pertama 2024 juga tercermin dari pertumbuhan lapangan usaha administrasi pemerintahan yang tumbuh tinggi 18,88 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan belanja pegawai (THR dan kenaikan gaji).
Kemudian industri pengolahan (manufacturing), yang selama ini menjadi andalan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, tumbuh stabil sebesar 4,13 persen akibat permintaan domestik dan luar negeri yang masih kuat. Jika dirinci, industri makanan dan minuman tumbuh 5,87 persen yang didukung oleh peningkatan permintaan domestik untuk produk makanan dan minuman selama momen Ramadhan dan persiapan menjelang Idul Fitri 2024.
Adapun industri pengolahan sendiri menghadapi tantangan pada tahun ini di tengah kondisi ketidakpastian global. Industri-industri pengolahan yang berorientasi ekspor serta yang terkait dengan barang investasi cenderung tertahan di kuartal pertama 2024.
Industri mesin dan peralatan terkontraksi atau minus 1,34 persen, sementara peralatan transportasi minus 5,26 persen serta batubara dan produk minyak olahan minus 1,41 persen. Tertahannya kinerja beberapa industri tersebut disebabkan kondisi ekonomi global yang cenderung masih terganggu dan menurunkan permintaan dari beberapa negara tujuan ekspor utama.
Proyeksi dan tantangan
Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia diprediksi dapat tumbuh solid pada kisaran 5 persenan sepanjang tahun 2024. Ini selaras dengan yang diproyeksikan lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), serta Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Resiliensi ekonomi Indonesia bahkan diprediksi berlanjut hingga tahun berikutnya.
Namun, Indonesia tetap perlu mengantisipasi beberapa tantangan di sisa tahun 2024 ini. Head of Macroeconomic & Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung datar atau flat pada kuartal kedua tahun 2024 atau berada di angka 5,1 persen secara yoy.
Jika dibandingkan dengan kuartal II 2023 yang tumbuh 5,17 persen, angka pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan tersebut memang sedikit menurun. Tentu ini terkait dengan faktor high base pada tahun lalu, ketika Ramadhan dan Lebaran masuk dalam kuartal kedua. Sementara pada tahun ini, Ramadhan masuk ke kuartal pertama dan Lebaran masuk ke kuartal kedua.
Sisa momen Lebaran tetap diharapkan menjadi salah satu penyumbang sumber pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua ini. Sepanjang bulan Mei juga terdapat banyak libur nasional dan cuti bersama, yang sebetulnya dapat dimaksimalkan dari sisi pengeluaran konsumsi pada sektor-sektor tertentu seperti pariwisata dan aktivitas belanja yang bersifat kesenggangan waktu atau leisure.
Meski momen Pemilu 2024 telah berakhir, konsumsi atau belanja Pemerintah dapat digenjot pada kuartal kedua hingga selanjutnya melalui pembangunan proyek strategis nasional (PSN), termasuk juga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Adapun terkait PSN, kinerja positif juga sebetulnya telah terlihat dari capaian pembentukan modal tetap bruto (PMTB) di kuartal I 2024 terutama dari sisi bangunan dan konstruksi yang tumbuh 5,46 persen. Dapat dikatakan, penggerak PMTB pada periode ini didorong oleh investasi publik dan Pemerintah.
Kemudian, Pemerintah juga memperpanjang periode penyaluran bantuan sosial (bansos) hingga Juni 2024 sehingga diharapkan dapat meningkatkan atau menjaga level belanja Pemerintah yang tidak akan terlalu menyusut serta bisa menjaga daya beli masyarakat, terutama golongan masyarakat ke bawah.
Secara umum, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan akan masih di bawah normal pada tahun ini, yaitu masih di bawah 5 persen.
Meski begitu, Chief Economist PermataBank sekaligus Head of Permata Institute for Economic Research (PIER) Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan mulai tercatat 5 persen pada tahun 2025 dan tahun selanjutnya. Kemudian, pertumbuhan PMTB juga diperkirakan sedikit flat atau sedikit melambat dibandingkan tahun lalu namun masih di kisaran 4 persen.
Pertumbuhan sektor-sektor yang mengandalkan pasar domestik, yakni sektor tersier, diproyeksikan akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan sektor-sektor yang terkait dengan pasar ekspor, seiring dengan masih adanya ketidakpastian di pasar global.
Sektor informasi dan komunikasi diperkirakan tumbuh 8,52 persen serta sektor transportasi dan pergudangan tumbuh 7,67 sepanjang tahun ini. Proyeksi terhadap sektor-sektor ini lebih tinggi dibandingkan industri pengolahan yang diperkirakan tumbuh 4,90 persen.
Proyeksi industri pengolahan relatif tumbuh bagus, dengan catatan investasi sudah mulai kembali membaik serta ketidakpastian Pemilu 2024 sudah jauh berkurang sehingga investor sudah mulai berinvestasi lagi seiring dengan kepastian kebijakan pemerintahan baru.
Adapun pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan lebih baik setelah El Nino berkurang pada akhir semester pertama. Pada kuartal pertama, sektor ini termasuk bidang dengan pertumbuhan terendah, yakni minus 3,5 persen. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan dapat tumbuh 1,50 persen sepanjang 2024 dari 1,30 persen pada tahun lalu.
Dengan kecenderungan faktor El Nino yang semakin mereda pada semester kedua, diharapkan komponen harga bergejolak akan semakin turun sehingga inflasi di tahun 2024 diperkirakan tetap terkendali pada kisaran 3 persen.
Ekonom memandang Indonesia akan menghadapi risiko twin deficit, di mana terjadi pelebaran defisit transaksi berjalan sekaligus potensi terjadinya pelebaran defisit APBN. Meski demikian, fundamental ekonomi Indonesia sejauh ini tetap dalam kondisi solid sehingga risiko twin deficit belum terlalu terlihat untuk jangka pendek. Walakin, Pemerintah tetap perlu mengantisipasinya untuk jangka menengah.
Dari sisi global, setidaknya terdapat tiga risiko global yang terus perlu diantisipasi oleh Indonesia, yakni suku bunga acuan Amerika Serikat yang belum akan turun di tahun ini, tensi geopolitik global, serta indikasi perlambatan ekonomi China.
Pada dasarnya, sumbangsih dari sisi konsumsi domestik bagi ekonomi Indonesia masih paling dominan sehingga rambatan risiko geopolitik global tidak langsung berpengaruh pada ekonomi nasional. Dengan struktur ekonomi Indonesia yang sampai saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, maka dampak tensi geopolitik global relatif kepada ekonomi riil relatif lebih terbatas.
"Akan tetapi, kita tetap perlu mengantisipasi dampaknya pada beberapa jalur, terutama jalur di pasar keuangan dan jalur perdagangan, karena hal ini akan sangat memengaruhi perkembangan dari harga komoditas global dan berkaitan juga dengan prospek dari ekonomi global itu sendiri," tutur Josua.
Adapun pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di bawah 5 persen dan berlanjut hingga tahun depan. Dampak dari perlambatan ekonomi China perlu diantisipasi, mengingat lebih dari 20 persen tujuan ekspor Indonesia ke China. Namun, perlambatan ekonomi China juga akan berpengaruh tidak hanya kepada Indonesia tetapi juga kepada seluruh negara di Asia.
Neraca perdagangan Indonesia surplus pada Maret 2024 meningkat menjadi 4,47 miliar dolar AS. Tren surplus berlanjut pada April 2024 sebesar 3,56 miliar dolar AS. Tidak bisa dimungkiri bahwa kinerja perdagangan Indonesia sangat dipengaruhi oleh komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit mentah terutama sebelum masa pandemi.
Namun, neraca perdagangan yang surplus terus berlanjut karena adanya faktor hilirisasi nikel. Diharapkan hilirisasi terus berlanjut, tidak hanya pada nikel tetapi juga komoditas-komoditas lain. Indonesia harus bisa menambah value added dengan cara memperpanjang rantai pasok (supply chain) melalui hilirisasi.
"Kami melihat bahwa upaya Pemerintah untuk mendorong diversifikasi dari sisi produk ekspor, ini juga menjadi salah satu langkah untuk bisa menjaga momentum kinerja surplus perdagangan kita ke depannya," kata Josua.
Diversifikasi negara tujuan ekspor juga menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk menjaga neraca perdagangan tetap surplus. Ini dapat dilakukan, misalnya, penambahan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan berbagai negara lain, baik regional maupun bilateral.
Dengan demikian, Indonesia bisa terhindar dari risiko pelambatan ekonomi di negara-negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor, seperti China, apabila melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor.
Meski upaya tersebut memerlukan komitmen jangka panjang, Indonesia saat ini dinilai berada di jalur yang tepat dengan melakukan hilirisasi dan mulai meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Ke depan, jika langkah-langkah ini berjalan lancar, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa terakselerasi di atas 5 persen.
Baca juga: Rupiah menguat ditopang data pertumbuhan ekonomi Indonesia
Baca juga: Indonesia targetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen-5,6 persen pada 2025