Tergerusnya sebuah peradaban akibat silang sengkarut TNTN

id tergerusnya, sebuah, peradaban, akibat, silang sengkarut, TNTN Oleh Vera Lusiana

Tergerusnya sebuah peradaban akibat silang  sengkarut  TNTN

Perambahan Tesso Nilo Perkebunan kelapa sawit dan permukiman terlihat dari udara di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau. (ANTARA/FB Anggoro)

Pekanbaru (ANTARA) - Masih segar dalam ingatan kita dengan adanya aksi geruduk yang dilakukan oknum masyarakat pemilik lahan sawit ilegal di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)terhadap Kantor Seksi Pengelola Wilayah (SPW) 1 Balai TNTN) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan pada akhir September lalu.

Massa bahkan mengeluarkan ancaman tertulis di tembok kantor yang ditujukan langsung kepada Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro.

Walau tidak ada korban jiwa karena saat mereka datang kantor didapati dalam keadaan kosong, namun ancaman itu menjadi tantangan berarti bagi tim yang menjaga kawasan.

Apalagi massa yang datang saat itu berjumlah ratusan orang. Karena tidak menjumpai yang dituju, mereka hanya meninggalkan pesan bertuliskan” Kepala balai cabut laporanmu atau kepalamu kami cabut," seperti tertulis di dinding kantor itu yang ramai di grup percakapan.

Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro mengungkapkan amuk massa itusetelah Tim Balai TNTN menangkap sembilan perambah hutan lindung satu setengah bulan lalu.

Walau demikian,Heru mengakuakan terus berupaya mempertahankan hutan yang tersisa dari pelaku perusakankarena itu amanat undang-undang. Meski tak jarangmereka mendapat tekanan.

“Hutan ini kan mestinya kita rawat dan jaga, walau upaya kita sudah maksimal untuk mencegah pelaku perambahan, tetapi kadang kami masih mendapat tekanan-tekanan," kata Heru belum lama ini kepada awak media.

Itu hanya segelintir konflik dampak dari upaya pengawasan dan perlindungan yang dialami oleh tim dalam menjaga Kawasan TNTN dari perambah hutan. Meski demikian, masih ada saja oknum yang memperjualbelikan lahan bahkan mampu memberikan jaminan dengan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) bagi masyarakat yang hendak membeli lahan sawit.

Contoh dalam kasus penangkapan sembilan perambah hutan TNTN di atas, mereka mengaku mendapatkan lahan secara resmi dan ada suratnya. Masyarakat kadang dibutakan dengan harga lahan yang murah tampa menyelidiki keabsahan surat dan lokasi sebuah kawasan apakah hutan lindung atau tidak.

Heru berkisah alasan penangkapan sembilan perambah itu dilakukan saat tim patroli menemukan ada hutan yang dirambah di kawasan TNTN, namun sembilan orang itu akhirnya dilepas karena memperlihatkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Air Hitam.

“Mereka rakyat kecil yang kena tipu,” katanya.

Heru tak tinggal diam, ia dan tim mengusut keberadaan surat tersebut, lalu mengirimkan surat kepada Kepala Desa Air Hitam untuk menghentikan dan mencabut penerbitan SKT dalam kawasan hutan.

Heru mengatakan, tim Balai TNTN rutin melakukan patroli melakukan pencegahan perambah hutan. Petugas menginap di tengah hutan secara bergantian. Namun, masih ada saja orang yang curi-curi membabat hutan lindung untuk dijadikan lahan perkebunan.



Terus tergerus

Tesso Nilo telah ditetapkan sebagai taman nasional melalui perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas seluas 83.068 hektare oleh Kementerian Kehutanan. Penetapan dilakukan melalui dua tahapan. Pertama berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 ha. Tahap berikutnya berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas kurang lebih 44.492 hektare.

Walau batas dan aturan kawasan sudah jelas diatur pemerintah, namun hingga kini konflik silang sengkarut wilayah yang mencakup Kabupaten Pelalawan dan sebagian kecil Kabupaten Indragiri Huluitu masih seksi untuk jadi bahan perbincangan bahkan bahan rebutan pemilik modal.

Tak ayal lagi tiap tahun deforestasi hutan menjadi kebun sawit terus terjadi, bisa dibayangkan luasan yang awalnya sekitar 81 hektare hanya dalam 18 tahun sudah dicomot masyarakat 68 ribu hektare lalu mengubahnya jadi kebun sawit, pemukiman dan sebagainya. Migrasi penduduk demi migrasi terjadi tiada batasan, hingga kini hanya menyisakan hutan tidak utuh sekitar belasan ribu hektare saja.

Andi Kusumo, Pengendali Ekosistem Muda Balai Taman Nasional Tesso Nilo saat diwawancarai akhir Oktober 2022 mengatakan, dari luasan Kawasan Konservasi TNTN dulunya 81.763 Ha, akibat dirambah dan dicaplok oknum yang tidak bertanggungjawab hanya menyisakan 13 ribuan hektare saja.

"Sedangkan 68 ribuan hektare lagi alami deforertasi dengan rincian bukaan sawit 40 ribuan hektare , sisanya 28 ribu itu semak belukar, kawasan terbuka, pemukiman," kata Andi.

Dia mengakui, hal ini bisa terjadi akibat selama ini terjadi permasalahan perambahan hutan di kawasan TNTN, lalu mengubahnya menjadi perkebunan sawit.

Hal ini merupakan permasalahan serius yang sampai saat ini terus dilakukan penanganannya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Entah siapa yang bermain namun pemerintah seperti tutup mata, meski tetap ada upaya karena belum ada sejauh ini siapa oknum yang bertanggungjawab untuk hilangnya tanah milik negara itu.

Luasan Kawasan Konservasi TNTN dulunya 81.763 Ha, akibat di rambah dan dicaplok oknum yang tidak bertanggungjawab hanya menyisakan 13 ribuan hektare (ANTARA/vera Lusiana)




Tertangkapnya perambah hutan TNTN akhir September lalu menggambarkan deforestasi masih berlangsung hingga kini di TNTN. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung walau ini dilakoni oknum perorangan terbukti dari pengakuan Kepala Desa Air Hitam kepada Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro, ia telah menerbitkan sebanyak 1.500 SKT dalam kawasan TNTN.

Jumlah yang fantastis andaikan saja rata-rata oknum mendapat 2 hektare per orang atau per surat sudah bisa dihitung ada 3.000 hektare hutan yang dilakukan perambahan menjadi kebun sawit. Belum lagi kalau itu yang dilakoni perusahaan bisa saja jumlahnya melebihi atau berlipat.

“Lewat kasus penangkapan sembilan orang kemarin Kepala Desa sempat mengaku sudah menerbitkan 1.500 SKT dalam kawasan Taman Nasional. Satu SKT itu luasnya ada yang 2 hektare mungkin juga ada yang lebih. Jadi, ini kan menyalahi aturan, makanya saya surati kepala desa untuk menghentikan dan mencabut kembali SKT yang ada di dalam kawasan TNTN," sebut Heru.

Senada seperti yang dikutip dari laman Mongabay selama pandemi COVID19, 2020 hingga 2021, pencaplokan masih terjadi di Tesso Nilo, data mencatat ada kehilangan ratusan hektare tutupan hutan.

Analisis peta oleh Greenpeace Indonesia menemukan ada 355 hektare tutupan hutan di Tesso Nilo hilang sepanjang 2020. Greenpeace juga menganalisis dengan gunakan data Nusantara Atlas memperlihatkan, ada peringatan GLAD sekitar 700 hektare pada 2021.

Peringatan GLAD adalah alat pantau berupa citra satelit yang dikembangkan University of Maryland dan Google untuk mengetahui perubahan tutupan hutan di suatu kawasan dalam skala paling terkecil dan waktu relatif singkat.

Data dari Nusantara Atlas menunjukkan ada sekitar 700 hektar peringatan GLAD selama 2021 di dalam hutan Tesso Nilo,” kata Sapta Ananda Proklamasi, peneliti pemetaan Greenpeace Indonesia akhir Februari lalu.



Berbagai Larangan

Andi Kusumo mengatakan, pemerintah terus berupaya menjaga TNTN dari sisa lahan 13 ribu hektare yang ada karena di dalamnya masih ada makhluk hidup yang tergantung keberlangsungannya. Untuk itu berdasarkan SK nomor SK. 72/Menlhk/Setjen/HPL.0/2/2018 tanggal 7 Februari 2022 tentang implementasi pengelolaan Ekosistem Tesso Nilo dengan pendekatan berbasis masyarakat, penyelesaian konflik dilakukan dengan fokus pengelolaan TNTN.

“Saat ini tugas tim TNTN adalah mempertahankan hutan primer seluas 13.000 hektare, melakukan kegiatan pemulihan ekosistem/rehabilitasi lahan pada areal terbuka/semak seluas 28.000 ha dan penanganan kebun sawit yang terbangun melalui UU Cipta Kerja seluas 40.000 hektare,” katanya.

Selain itu, Balai Taman Nasional Tesso Nilo juga menerbitkan larangan menanam sawit dalam kawasan Balai TNTN tertuang dalam Surat Edaran Kepala Balai TNTN Nomor: SE.006/T.29/TU/Tks/1/2022. Larangan itu berlaku bagi perorangan, kelompok, koperasi maupun perusahaan.

Heru Sutmantoro meminta kepada pihak yang mempunyai kebun sawit dalam kawasan TNTN, harus terbuka dalam memberikan informasi.

"Data dan informasi sangat penting untuk pengambilan keputusan dalam implementasi UU CK, tugas TNTN saat ini menyampaikan data yang akurat, guna disampaikan ke KLHK," kata Heru.

Heru mengatakan, Surat Edaran Kepala Balai TNTN Nomor: SE.006/T.29/TU/Tks/1/2022 memiliki maksud dan tujuan untuk memberikan pengetahuan dan himbauan kepada masyarakat tentang larangan menanam sawit dan aktivitas lainnya yang dapat merusak kawasan hutan TNTN.

Ia menjelaskan, dasar pembuatan surat edaran ini adalah yang pertama Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Kedua UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999. Ketiga Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Keempat Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, lalu kelima Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 tahun 2018 Tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

“Untuk sawit yang sudah ada di dalam kawasan TNTN akan dilakukan penanganan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.



Penegakan Hukum

Untuk penegakan hukum sendiri bagi oknum pencaplokkawasan TNTN pemerintah punya sanksi hukum. Sejak terbitnya SE tersebut awal tahun ini sudah ada beberapa kali upaya penegakan hukum, berkolaborasi dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Sumatera Wilayah II Pekanbaru dan Kepolisian Resor Pelalawan untuk memberi efek jera.

"Surat edaran tersebut merupakan salah satu ketegasan TNTN dalam pengendalian penanaman sawit dalam kawasan TNTN, dan menjadi warning bagi para warga yang tetap melakukan kegiatan penanaman, karena dapat dilakukan tindakan hukum," katanya.

Data TNTN mencatat penegakan hukum yang sudah dilakukan diantaranya, pada Agustus 2021 proses hukum tersangka perambahan inisial D, barang bukti berupa alat berat dan vonis 4 tahun 7 bulan. Desember 2021 penanganan dan penangkapan pelaku perambahan inisial BA dan kawan-kawan. dengan barang bukti berupa gergaji mesin.

Maret 2022 penangkapan satu tersangka perambahan inisial N, barang bukti berupa alat berat. April 2022 penanganan 1 orang tersangka perambahan inisial J. Agustus 2022 penanganan 3 orang tersangka perambahan inisial S, dan kawan-kawan barang bukti berupa chainsaw. September 2022, penanganan 2 orang pelaku pembakar hutan dalam proses penyidikan.

Selain tindakan hukum, upaya penyelesaian konflik terus dilakukan termasuk kegiatan rehabilitasi, untuk mengembalikan fungsi hutan saat ini juga jadi prioritas pemerintah dibantu NGO dan mitra lainnya agar kawasan hutan Tesso Nilo tetap terjaga dan konflik sosial tidak terjadi.

Selain itu,di sejumlah lokasi juga ditemukan areal Izin Kawasan Hutan yang dicabut memiliki tutupan Hutan Alam dalam kondisi baik dan berpotensi memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT), seperti di Provinsi Riau terdapat tutupan hutan alam pada gambut berkedalaman lebih dari 3 meter dan pada areal yang merupakan habitat gajah yang kurang dipedulikan oleh pemegang izin, maka pencabutan izin bisa menjadi langkah pemulihan ke ekosistem dan upaya mengurangi konflik manusia – satwa liar yang cenderung semakin tinggi di area yang peruntukan lahannya bermasalah.

“Dan inilah peluang untuk mengurangi kerusakan hutan dengan upaya pemulihan dan pengembalian habitat satwa dilindungi, seperti halnya dengan perlindungan gambut dalam di sejumlah izin dicabut,” kata Nursamsu, Koordinator Eyes on the Forest.



Hilangnya sumber pencarian

Puluhan tahun lalu saat hutan TNTN masih perawan masyarakat asli Suku Melayu Kampar hidup tentram damai menyatu dengan alam dengan semua hunian hutannya. Bahkan jumlah mereka yang tidak seberapa cukup dihidupi dari hasil hutan yang tiada terbatas sebut saja madu, rotan, durian dan aneka buah lainnya, termasuk ikan hasil tangkapan sungai.

Proses panen lebah madu Sialang oleh masyarakat di Hutan TNTN (ANTARA/vera Lusiana)


Ketua Asosiasi Madu Sialang Tesso Nilo, Wazar mengatakan untuk madu Sialang yang merupakan hasil hutan TNTN dulunya sangat berlimpah. Saat musim panen mereka bisa menghasilkan 70 ton madu alam setahun, yang berasal dari pohon Sialang. Selain itu juga ada rotan, petai hutan dan tanaman obat lainnya seperti kantong semar, yang tersedia sebagai bahan pengobatan bagi masyarakat yang notabene jauh dari fasilitas layanan rumah sakit.

Ada juga sungai yang jadi sumber kehidupan bagi masyarakat lewat aneka ikan khas seperti baung, patin dan udang. Kini semua itu mulai tergerus bahkan nyaris hilang. Masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan ekonomi mereka dari hasil hutan, sehingga terikut-ikut untuk membuka hutan menanam sawit.

Diperparah mulai berdatangannya masyarakat pendatang lalu, perusahaan yang mencari keuntungan sehingga inilah titik naditerjadi pembalakan liar (illegal logging), banyak sekali tumbuhan bermanfaat yang hilang. Bahkan telah berdampak pada tergerusnya sebuah peradaban atau ritual memanen madu yang dikenal dengan istilah Menumbai.

Hasil unggulan hutan TNTN yang utama non kayu yaitu madu Sialang, sekarang sudah sangat sulit didapatkan. Hal itu disebabkan karena pembalakan liar yang dilanjutkan perubahan fungsi lahan dari kawasan konservasi dengan tutupan hutan yang rapat menjadi perkebunan sawit.

"Perubahan tersebut menghilangkan tumbuhan yang banyak bermanfaat secara ekonomi sosial masyarakat TNTN hilang seiring dengan berubahnya kawasan tutupan hutan menjadi perkebunan sawit. Masyarakat yang dulu setiap musim panen madu dengan adanya pembukaan lahan yang tak terkendali jadi susah lebah bersarang bahkan hampir tidak ada pohon sialang lagi yang bisa untuk lebah bersarang kembali," terangnya.

Selain pohon Sialang yang menjadi pohon bersarang nya lebah madu hilang karena perubahan tersebut, juga ada tanaman obat obatan yang digunakan masyarakat TNTN untuk mengobati sakit secara tradisional seperti pasak bumi, kayu manis, cempedak, kantong Semar, sarang semut, langsat, ketepeng dan lainnya.

Sungai juga tercemar yang dulunya dialiri air gunung kini harus abrasi akibat reboisasi dan ikan-ikan punah karena sumber air dan pakan berupa bunga dari pepohonan yang lenyap akibat berubahnya fungsi kawasan menjadi kebun sawit.



Punahnya makhluk hidup

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan hutan hujan tropika daratan rendah. Di Pulau Sumatera, Taman Nasional Tesso Nilo merupakan salah satu hutan dataran rendah yang masih tersisa. Di dalamnya terdapat banyak ekosistem. Fauna yang hidup di dalamnya antara lain harimau sumatera, gajah sumatera dan rusa.

Data World Wide Fund for Nature (WWF) tahun 2019, terdapat sedikitnya 360 jenis flora, 107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptildan 3 jenis primata. Ekosistemnya termasuk hutan hujan tropika yang menjadi kawasan perlindungan gajah berjumlah 60-80 ekor gajah di TNTN.

Flora yang ada di tumbuh di dalam Taman Nasional Tesso Nilo juga beragam ada 360 jenis yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Tanaman pohon ada 215 jenis dan tanaman anak pohon sebanyak 305 jenis. Di dalamnya juga ada 218 jenis tumbuhan vaskular di petak lahan seluas 200 m2. Vegetasi tumbuhan menutupi 90% dari luar kawasan.

Beberapa jenis tumbuhan sudah terancam punah dan masuk dalam data Uni Internasional untuk konservasi alam. Jenisnya antara lain kayu batu, kempas, jelutung, kulim, tembesu, gaharu, ramin, keranji, meranti, keruing, dan durian.

Seiring waktu sengkarutnya kawasan TNTN maka beberapa hewan jenis tertentu alami kematian dan migrasi, karena tutupan hutan juga sudah berubah menjadi kebun sawit. Gajah dan harimau juga alami penyusutan akibat perburuan oleh manusia untuk diambil gading dan kulitnya. Sementara beruang madu bermigrasi karena sumber pakannya madu mulai menyusut.

Ical warga Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui , Pelalawan berkisah dulu ia pernah ikut sebagai anggota tim surveipopulasi di TNTN mulai dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Ia dipekerjakan masuk hutan TNTN menapaki jejak harimau dan hewan lainnya di hutan, dan mengamati blok- blok tempat lokasi pemasangan kamera.

“Kami mendapati di dalam hutan jejak hewan, dan setiap 500 meter kita tulis, apakah ada tumbangan ini dilaporkan ke WWF dan ada tim memasang kamera pemantau lalu akan Kembali tiga bulan kemudian untuk melihat hasil rekamannya,” kata Ical berkisah.

Jalur yang dilalui Kampung Bukit Desa Kesumah keluar di Kuansing, Banthin Mekar, mereka ada 5 tim. Saat itu yang tampak hanya hutan belantara, dan buas tidak seperti saat ini yang tampak hanya kebun sawit.

“Saya mulai ikut survei tahun 2008 , 2009 sampai 2010. Terakhir surveiGajah tahun 2013 itu masih menentukan populasi. Setelah itu gak ikut surveilagi karena katanya kerjasama gak ada lagi dari WWF dengan kehutanan,” kata Ical.

Sunarto, Ekolog Satwa Liar WWF mengatakan, rentetan kematian gajah hamper setiap tahun meningkat. Pada tahun 2012 ada 28 gajah Sumatera mati. Setahun berikutnya tercatat 33. Pada tahun 2014 gajah mati melonjak menjadi 46 ekor. Tahun 2015 ada 40gajah mati, hingga 18 Februari2016 ada tiga gajah mati.

“Riau menjadi daerah paling rawan di Sumatera sejak tahun 2000, seiring pesatnya pertumbuhan bisnis sawit banyak gajah dibunuh karena dianggap sebagai hama,” kata Sunarto.

Menurut Rizki, tingginya angka kematian satwa dilindungi ini sebagian besar dilatarihilangnya habitat gajah. Baik akibat aktivitas penguasaan dan penebangan hutan yang terus terjadi, dan juga konversi hutan alam untuk perkebunan dalam skala besar. Sehingga batas-batas penggunaan ruang antara manusia dan gajah menjadi sulit dipisahkan.

"Angka kematian gajah di Aceh dan Riau tinggi bisa jadi karena kehilangan area berhutan dalam habitat gajah yang cukup besar. Dan kehilangan area berhutan menimbulkan kejadian konflik, racun dan perburuan jadi tinggi juga," katanya.

Rizki menguraikan, menurut The International Union for the Conservation of Nature (IUCN) gajah sumatera masuk ke dalam status “Critically Endangered”. Kondisi populasi gajah sumatera pada 2007 teridentifikasi sebanyak 2800-4800 individu, dan data terakhir pada 2021 populasi gajah sumatera tersisa sebanyak 924-1359 Individu

Populasi gajah Sumatera menyusut dari 1.300 ekor pada 2014 menjadi 693 ekor pada tahun lalu, turun hampir 50 persendalam tujuh tahun terakhir, menurut data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Indonesia.

Sementara itu, survei populasi TNTN tahun 2020 melaporkan jumlah gajah sumatera yang tersisa di TNTN hanya 64 ekor. Jumlah mamalia ada 31 jenis, seperti Harimau Sumatera, beruang madu, macan dahan, tapir, rusa dan kijang.

Ekspansi masif perkebunan kelapa sawit di Sumatera disebut mendorong konflik antara manusia dan hewan atas ruang dan sumber daya. Contoh terkini punahnya gajah terjadi 25 Mei 2022 lalu, gajah betina berusia 25 tahun ditemukan terbujur kaku di areal perkebunan tanaman industri PT Riau Abadi Lestari, di Kabupaten Bengkalis, Riau. Yang menyedihkan, gajah ini mati dalam kondisi bunting.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau memastikan gajah bunting itu mati karena diracun.

“Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan hasil nekropsi dan pemeriksaan laboratorium,” kata Kepala BBKSDA Riau, Genman S Hasibuan.

Ritual yang tergerus

Salah satu ritual yang sangat kental dilakukan oleh Suku Melayu di TNTN dalam menjalankan aktifitas ekonomi adalah Menumbai. Kini ritual ini sudah bisa dikatakan jarang ditemukan di kalangan masyarakt hutan, hal ini jelas terjadi akibat rusaknya alam yang jadi syarat pembentukan ritual tersebut.

Ketua Asosiasi Madu Sialang Tesso Nilo Wazar mengisahkan, cara memanen madu Sialang yang cukup terkenal adalah dilakukan secara tradisional melalui tradisi Menumbai. Tradisi ini dilakukan di malam hari oleh masyarakat tradisional di daerah Pelalawan. Menumbai biasanya pimpinan suku atau pemimpin kelompok panen madu yang diberi nama Juragan Tuo akan lebih dulu melakukan ritual untuk mengusir mambang (jin atau makhluk halus) maupun hewan pengganggu yang ada di dalam pohon.

“Masyarakat tradisional percaya bahwa kehadiran mambang yang ada di pohon dapat menghambat proses panen madu. Maka dilakukan lah upacara untuk meminta izin pada mambang yang mendiami pohon sialang,” kata Wazar.

Proses pengambilan ini tidak menggunakan alat pelindung khusus. Biasanya lebah diusir dengan menyalakan asap dari bara api dari Tunam yaitu obor yang terbuat dari kulit kayu yang dibawa ke atas oleh Tukang Panjat sehingga sebagian lebah bisa pingsan atau menghindar. Sebelum mengambil, dilakukan ritual untuk mengusir mambangmaupun hewan pengganggu yang ada di dalam pohon.

Saat memanjat pohon, para petani pemanen atau pengambil madu Sialang akan memanjat pohon dengan menggunakan Semangkat yaitu tangga yang telah disiapkan pada siang hari. Semangkat ini tidak menggunakan paku tetapi tali plastik, rotan maupun akar pohon.

Semangkat ini sangat berguna ketika pohon sialangnya tegak lurus, atau apalagi pada saat kondisi hujan, pohon akan menjadi licin sehingga resiko terjatuh akan lebih besar.

“Ritual Menumbai setelah tangga siap maka saat malam sekitar jam 8, mereka mulai bernyanyi dan membaca mantra dengan membawa obor, sembari mengitari pohon lalu memanjat sambal bernyanyi. Kalau sarangnya banyak pada sebatang pohon Sialang maka, bisa turun sampai jam 4 subuh. Satu pohon ada 2 tim minimal, jaga di bawah ada tiga bahkan sampai 7 tergantung banyak lebahnya di pohon,” imbuh dia.

Di musim panen masyarakat melakukannya tiap malam bergiliran satu pohon ke pohon lain, rata-rata akan memakan waktu sepekan baru semua pohon Sialang selesai di panen demikian setiap tahun dilakukan, hingga ini menjadi warisan budaya tak benda Provinsi Riau. Tradisi ini dinilai memiliki keunikan karena merupakan ritual yang dilakukan oleh suku-suku yang ada di daerah Riau yang harus tetap dilindungi.

Kini ritual itu sudah jarang berlangsung seiring punahnya sarang lebah di puncak Sialang, seiring hilangnya beberapa pohon penghasil bunga akibat perambahan. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pohon Sialang, karena pakan lebah di sekitar hutan sudah punah.

“Kalaupun masih ada lebah kini hanya mampu menghasilkan panen 7 ton per tahun, kami pun para kelompok yang dulunya dibentuk sudah tidak aktif lagi dan mencoba mencari pekerjaan baru untuk bisa hidup bertahan menjadi buruh kebun sawit,” pungkasnya.